Tinjauan Buku Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq, Mahrusillah, Mohamad (2025), STISNU Nusantara Tangerang.
Oleh Abdul Hakim, Penulis Tasawuf Hadhari
Surah al-‘Alaq, sebagai wahyu pertama dalam tradisi Islam, menempati posisi sentral tidak hanya dalam konteks historis-teologis, tetapi juga dalam diskursus epistemologis dan spiritual. Surah ini tidak sekadar menginisiasi turunnya al-Qur’an, melainkan juga meletakkan fondasi paradigmatik tentang relasi antara manusia, ilmu, dan Sang Pencipta. Dalam kerangka inilah karya Mahrusillah, Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq (2025), hadir sebagai upaya untuk mengeksplorasi dimensi-dimensi terdalam dari surah ini melalui pendekatan multidisiplin yang mengintegrasikan tafsir klasik, hermeneutika kontemporer, dan refleksi filosofis-spiritual.
Review ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis kontribusi Mahrusillah dalam membuka horizon pemahaman baru atas Surah al-‘Alaq, khususnya pada tiga aspek utama: pertama, rekonstruksi makna simbolik huruf bā’ dalam bismillāh sebagai pintu masuk epistemologi sufistik; kedua, interpretasi ontologis tentang penciptaan manusia dari ‘alaqah dalam dialog dengan sains modern dan kosmologi Islam; serta ketiga, kritik terhadap kesombongan epistemik (istighnā’) dan implikasinya dalam struktur kekuasaan. Pendekatan Mahrusillah yang menjembatani tradisi tafsir klasik (seperti karya al-Zamakhsyari dan Ibn Kathir) dengan perspektif progresif (termasuk teori kritis dan neurosains) menawarkan lensa yang unik untuk membaca ulang wahyu pertama ini sebagai teks yang hidup dan relevan dengan tantangan zaman.
Melalui metode analisis teks dan komparasi konseptual, review ini akan mengelaborasi bagaimana Mahrusillah membangun sintesis antara warisan keilmuan Islam dan paradigma modern. Signifikansi karya ini tidak hanya terletak pada pembacaan ulang teks suci, tetapi juga pada upayanya untuk merespons problem kontemporer seperti krisis ekologis, reduksionisme sains, dan alienasi spiritual. Dengan demikian, artikel ini tidak sekadar menjadi tinjauan buku, melainkan juga sebuah refleksi akademik tentang potensi integrasi keilmuan Islam klasik dengan wacana-wacana mutakhir dalam studi agama dan filsafat.
Struktur review akan dibagi ke dalam tiga bagian utama: (1) Analisis hermeneutis terhadap konsep iqra’ dan dasar-dasar epistemologi dalam Surah al-‘Alaq; (2) Dialog antara tafsir ‘alaqah dengan embriologi modern dan kosmologi Islam; serta (3) Kritik sosial-spiritual terhadap istighnā’ dan relevansinya dengan dekonstruksi kekuasaan. Dengan kerangka ini, diharapkan pembaca dapat melihat bagaimana Mahrusillah menawarkan sebuah model pembacaan al-Qur’an yang bersifat holistik dan transformatif.
Surah al-‘Alaq memuat fondasi teologis, epistemologis, dan spiritual yang sangat penting dalam Islam. Ayat-ayat awal surah ini tidak hanya menegaskan urgensi membaca sebagai pintu masuk menuju ilmu, tetapi juga membuka cakrawala pemahaman tentang asal-usul penciptaan manusia, dinamika kesadaran, dan hubungan eksistensial antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Di bagian pertama, tulisan ini berupaya mengelaborasi halaman 9 hingga 21 dari buah pena Mohamad Mahrusillah di dalam Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq dengan menggunakan pendekatan tafsir klasik yang berpijak pada tradisi keilmuan Islam serta epistemologi progresif modern yang membuka kemungkinan pembacaan kontekstual dan reflektif.
Salah satu tema awal yang dikaji adalah makna huruf “bāʼ” dalam lafaz bismillah. Dalam tradisi nahwu dan balaghah klasik, huruf ini tidak dipahami secara tunggal, melainkan mengandung berbagai makna gramatikal dan spiritual. Di antara maknanya adalah isti‘ānah (permohonan pertolongan), ta‘diyah (menunjukkan keterhubungan tindakan), ta‘wīḍ (pengganti), ilsāq (pertemuan), muṣāḥabah (kebersamaan), min (asal atau sumber), dan ‘an’ (penunjukan makna ḥikāyah). Para mufasir seperti Imam Sibawaih, Ibn Malik, dan al-Zamakhsyari secara khusus menaruh perhatian pada kompleksitas struktur huruf ini, mengungkapkan bahwa setiap huruf dalam Al-Qur’an memiliki bobot semantik dan spiritual yang mendalam. Tafsir mereka tidak hanya berhenti pada aspek linguistik, tetapi merambah pada makna simbolik dan mistik yang menjadi ciri khas pendekatan isyari dan tasawuf dalam memahami wahyu.
Dalam perspektif hermeneutika kontemporer, khususnya yang dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologis seperti Heidegger, huruf bā dalam bismillah tidak hanya dimaknai secara linguistik, melainkan merepresentasikan pelbagai lapisan pengalaman eksistensial manusia dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Huruf ini memuat nuansa permohonan pertolongan, kedekatan, kebersamaan, hingga peleburan diri dalam kehadiran Ilahi (fanā’). Membaca bismillah dengan demikian bukan sekadar tindakan verbal atau tekstual, tetapi sebuah gerak spiritual yang menghubungkan manusia dengan dimensi ketuhanan yang melampaui dunia empiris. Dalam kerangka ini, aktivitas membaca—sebagaimana ditegaskan oleh ayat pertama Surah al-‘Alaq—dipahami sebagai tindakan eksistensial yang menyatukan makna, pengalaman, dan kesadaran spiritual dalam satu gerak menuju kehadiran Ilahi yang mutlak.
Dalam khazanah tafsir klasik, kata ‘alaq dipahami sebagai referensi kepada substansi awal penciptaan manusia, yang umumnya dimaknai sebagai lintah atau segumpal darah yang melekat dan bergantung. Pemaknaan ini muncul dalam karya-karya tafsir otoritatif seperti Tafsir Ibn Katsir, al-Tha‘labi, dan al-Razi, yang menekankan bahwa penciptaan manusia berasal dari sesuatu yang tampak sederhana dan rendah secara fisik. Namun justru dari asal-usul biologis yang tampaknya hina inilah, Islam menegaskan kemuliaan eksistensial manusia sebagai makhluk yang dipilih untuk menerima amanah, akal, dan potensi spiritual. Tafsir klasik dalam hal ini tidak sekadar mengungkapkan asal-muasal material manusia, tetapi juga mengandung isyarat teologis tentang kebesaran penciptaan dan keagungan Ilahi yang mampu menciptakan makhluk mulia dari unsur yang paling sederhana.
Dalam pendekatan ilmiah modern, tahap ‘alaqah dalam proses penciptaan dipahami sejalan dengan tahap embrionik awal dalam embriologi manusia. Para ilmuwan seperti Maurice Bucaille dan Keith Moore menyoroti bahwa deskripsi ini memiliki kesesuaian yang menarik dengan pengetahuan sains kontemporer. Lebih jauh lagi, dari perspektif post-positivis, penciptaan ini dilihat bukan hanya sebagai fenomena biologis, tetapi juga sebagai simbol dari keterhubungan antara dimensi biologis dan spiritual manusia. Pendekatan ini menekankan kompleksitas eksistensi manusia, yang dipahami sebagai sistem yang tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga mencakup dimensi kosmik dan transenden.
Dengan demikian, pemahaman tentang penciptaan melalui ‘alaqah membuka ruang untuk melihat manusia sebagai entitas yang terjalin erat antara dimensi material dan spiritual, menghubungkan dunia fisik dengan keberadaan yang lebih tinggi.
Dalam kosmologi Islam klasik, manusia digambarkan sebagai al-‘ālam al-ṣaghīr, atau mikrokosmos, yang mencerminkan al-‘ālam al-kabīr, makrokosmos. Ibn ‘Arabi dan al-Ghazali menekankan bahwa manusia adalah cerminan dari asma’ Allah, dan penciptaannya mengandung hikmah ilahiyah yang mendalam. Dalam pandangan ini, potensi manusia sebagai khalifah bersumber dari kesadaran dan ruh Ilahi yang diamanahkan kepadanya, menegaskan peran manusia sebagai pemimpin yang memelihara dan mengelola alam semesta.
Di sisi lain, pendekatan progresif yang berkembang dalam ekofilosofi dan neuroteologi memandang manusia sebagai sistem integral yang terhubung dengan alam semesta melalui energi dan kesadaran. Gagasan tentang “harmoni dengan semesta” ini sejalan dengan konsep systems thinking dan kesadaran ekologis, di mana manusia dilihat sebagai simpul dalam jaringan kosmik yang lebih luas, mengingatkan kita akan kompleksitas hubungan manusia dengan dunia yang lebih besar, baik secara biologis, ekologis, maupun spiritual.
Pengulangan kata “iqra’” dalam konteks ayat Al-Qur’an menandakan urgensi dan kontinuitas dalam pencarian ilmu, mengajak umat manusia untuk tidak berhenti dalam usaha menuntut pengetahuan. Dalam pandangan klasik, gelar Allah sebagai al-Akram mencerminkan bahwa ilmu adalah anugerah Ilahi yang diberikan kepada umat manusia, bukan semata-mata hasil usaha atau jerih payah individu. Tafsir spiritual lebih lanjut menegaskan bahwa ilmu yang sejati dan bermanfaat berasal dari karamah Ilahiyyah, suatu pemberian yang tak terjangkau oleh upaya manusia semata.
Di sisi lain, pendekatan progresif dalam epistemologi kritis melihat pengulangan sebagai bentuk pedagogi yang membebaskan, sebagaimana dikemukakan oleh Paulo Freire, yang menyatakan bahwa “menamai dunia berulang kali” adalah cara untuk membebaskan pikiran dan memperluas pemahaman. Dalam konteks ini, Tuhan sebagai al-Akram dipahami bukan hanya sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga sebagai sumber kebebasan spiritual dan intelektual yang memandu manusia menuju transformasi makna dan nilai, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan alam semesta.
Selanjutnya, Mahrusillah pada halaman 9–21 membuka ruang tafsir yang sangat luas, menawarkan pemahaman yang mendalam baik dari perspektif klasik maupun progresif. Tafsir klasik, dengan pendekatan filologis dan sufi, memberikan fondasi linguistik dan spiritual yang menghubungkan teks dengan dimensi internal dan eksternal pengalaman manusia.
Di sisi lain, epistemologi progresif modern mengajak kita untuk menafsirkan Surah ini dalam konteks kesadaran kontemporer, ilmu pengetahuan, dan spiritualitas reflektif, yang memungkinkan pembaca untuk melihatnya sebagai panduan hidup yang relevan dengan tantangan zaman ini. Gabungan kedua pendekatan tersebut memperlihatkan bahwa Surah al-‘Alaq bukan sekadar wahyu pertama yang diturunkan, tetapi juga sebuah panduan integral yang mengarahkan kita untuk memahami hubungan multidimensional antara manusia, ilmu, dan Tuhan, serta kompleksitas eksistensi yang melibatkan dimensi material dan spiritual secara bersamaan.
Surah al-‘Alaq, sebagai wahyu pertama dalam Islam, menyimpan dasar epistemologis dan spiritual yang mendalam. Pada halaman 22–28 dalam Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq, gagasan mengenai ilmu, kesadaran, dan tantangan etis terhadap kekuasaan diuraikan dengan cermat. Dalam tafsir klasik, frasa “’Allama al-insāna mā lam yaʿlam” (mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya) dipahami sebagai pengingat bahwa pengetahuan sejati bersumber dari Allah, yang bisa diperoleh baik melalui proses kognitif maupun intuisi ilahiyah, yang dikenal sebagai ilmu laduni. Al-Ghazali, sebagai salah satu tokoh utama dalam pemikiran Islam klasik, menjelaskan bahwa ilmu laduni adalah pengetahuan yang langsung ditanamkan oleh Allah dalam hati mereka yang menyucikan diri.
Pandangan ini sejalan dengan epistemologi modern, yang mengakui adanya pengetahuan intuitif atau transpersonal yang melampaui rasionalitas biasa. Temuan dalam neurosains kontemplatif, seperti konsep “mirror neurons” dan proses reflektif dalam keheningan, mendukung gagasan ini, yang menunjukkan bahwa kesadaran intuitif bukan hanya fenomena spiritual, tetapi juga bagian integral dari proses neurologis yang lebih dalam.
Ayat “A-ra’ayta in kadhdhaba wa tawallā” menggambarkan figur manusia yang tidak hanya menolak kebenaran, tetapi juga berpaling darinya, menunjukkan sikap yang lebih dari sekadar penolakan, melainkan suatu pengingkaran aktif terhadap hidayah. Dalam tafsir klasik, seperti yang dijelaskan oleh Ibn Kathir, ayat ini dipahami sebagai bentuk kekufuran aktif yang menolak petunjuk Ilahi.
Di sisi lain, dalam pendekatan progresif, penolakan ini sering dibaca sebagai peringatan terhadap kelompok elit atau penguasa yang menolak etika wahyu demi mempertahankan kekuasaan. Perspektif epistemologi kritis lebih jauh mengartikan penolakan terhadap kebenaran ini sebagai pembentukan “falsified epistemology,” yakni sistem pengetahuan yang secara sengaja atau tidak memproduksi kesesatan kolektif, memperkenalkan pandangan dunia yang menyimpang dari kebenaran yang sejati, dan menghalangi kemajuan pemahaman yang lebih baik dalam masyarakat.
Ayat “La-nasfaʿan bi al-nāṣiyati nāṣiyatin kādhibatin khāṭiʾah” dalam tafsir klasik dipahami sebagai ancaman terhadap pemimpin yang memimpin dengan kebohongan, dengan nasiyah (ubun-ubun) yang dimaknai sebagai simbol kehendak dan pusat kendali manusia. Para mufassir klasik menekankan bahwa ayat ini merujuk pada pemimpin yang mendustai kebenaran dan menyesatkan umat. Dalam kerangka progresif dan modern, ayat ini dapat dilihat sebagai kritik struktural terhadap otoritarianisme dan penindasan.
“La-nasfaʿan” dipahami sebagai representasi tindakan ilahi yang akan meruntuhkan sistem represif, menggambarkan bahwa kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan dan ketidakadilan tidak akan bertahan lama. Pemikiran ini sejalan dengan teori-teori kritik sosial yang menyatakan bahwa kekuasaan yang tidak berlandaskan etika transendental dan keadilan akan tumbang oleh kesadaran kolektif spiritual yang akhirnya menyadarkan masyarakat akan pentingnya nilai-nilai moral dan keadilan yang sejati.
Tafsir sufi klasik menekankan pentingnya tahapan spiritual seperti mujāhadah, murāqabah, hingga fanā’ sebagai jalan menuju pencerahan ruhani. Proses ini mengantarkan individu pada maqam makrifat, di mana seseorang mengalami penglihatan batin (baśirah) yang membuka wawasan spiritual yang lebih dalam. Dalam kerangka epistemologi kontemporer, tahapan-tahapan ini dapat dipahami sebagai pergeseran dari “ego-centered consciousness” menuju “unitive awareness” (kesadaran yang padu).
Pergeseran ini sejalan dengan konsep-konsep yang dikemukakan dalam pendekatan integral, seperti yang dijelaskan oleh Ken Wilber, serta dalam psikologi transpersonal, yang menekankan pengalaman kesadaran yang lebih tinggi dan keterhubungan dengan dimensi spiritual yang melampaui ego dan identitas pribadi. Dengan demikian, baik dalam tradisi sufi maupun dalam teori-teori modern, transformasi spiritual ini menggambarkan perjalanan menuju kesadaran yang lebih luas dan mendalam, yang mengarah pada pemahaman yang lebih utuh tentang diri dan alam semesta.
Mahrusillah juga di dalam Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq (hal.22-28) menyajikan pembacaan yang multidimensional tentang manusia, ilmu, dan kekuasaan. Tafsir klasik memperdalam makna spiritual melalui struktur bahasa dan simbolisme wahyu, menawarkan pemahaman yang kuat tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Sementara itu, epistemologi progresif mengontekstualisasikan ayat-ayat tersebut dalam dinamika kesadaran kontemporer dan tantangan sosial-politik, menghubungkan teks suci dengan realitas dunia modern yang penuh dengan kompleksitas.
Kedua pendekatan ini saling melengkapi, menciptakan suatu pemahaman yang tidak hanya mengarahkan pada pencerahan batin, tetapi juga menekankan pentingnya tanggung jawab etis dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
Surah al-‘Alaq, dalam khazanah tafsir Islam, tidak hanya dikenang sebagai wahyu pertama, tetapi juga sebagai titik tolak yang menegaskan pentingnya ilmu, penciptaan, dan kesadaran spiritual. Di dalam Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq (hal. 29-38) mengarahkan pembahasan pada dimensi kontemplatif manusia sebagai makhluk epistemik, spiritual, dan kosmik. Melalui pendekatan tafsir klasik yang mendalam dan epistemologi progresif modern, bagian ini berusaha menjembatani antara tradisi keilmuan Islam yang kaya dengan refleksi kontemporer mengenai spiritualitas, makna hidup, dan pembangunan pengetahuan yang integral.
Dengan demikian, Surah al-‘Alaq tidak hanya dilihat sebagai wahyu yang memberikan petunjuk tentang penciptaan dan ilmu, tetapi juga sebagai dasar bagi pemahaman yang lebih luas tentang hubungan manusia dengan diri sendiri, Tuhan, dan alam semesta.
Dalam tradisi salaf dan khususnya dalam tafsir sufistik, konsep fitrah dipahami sebagai keadaan asal manusia yang suci, jernih, dan siap menerima kebenaran. Para ulama seperti al-Ghazali menegaskan bahwa fitrah merupakan kesiapan batin yang inheren untuk mengenali kebenaran ilahiyah, sebagaimana air yang siap mengikuti bentuk bejana yang menampungnya. Oleh karena itu, wahyu dalam Islam tidak datang kepada tabula rasa, melainkan kepada kesadaran yang telah memiliki kesiapan untuk disentuh oleh cahaya ilahi. Mengikuti warisan pemikiran ini, Mahrusillah mengusulkan konsep manhaj al-qirā’ah al-fithriyyah, yaitu suatu metodologi membaca yang berbasis intuisi dan kesadaran batin yang telah tertanam sejak penciptaan.
Dalam kerangka epistemologi modern, pendekatan ini sejalan dengan gagasan embodied cognition, yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga lahir dari pengalaman tubuh, emosi, dan intuisi. Dengan demikian, pembacaan spiritual terhadap wahyu bukan sekadar proses kognitif, melainkan suatu transformasi kesadaran yang melibatkan keseluruhan dimensi diri manusia.
Salah satu konsep kunci dalam kosmologi Islam klasik adalah pandangan bahwa manusia adalah mikrokosmos (al-‘ālam aṣ-ṣaghīr) yang merepresentasikan makrokosmos (al-‘ālam al-kabīr). Dalam kerangka ini, manusia dipahami sebagai refleksi sifat-sifat Tuhan, yang mewujud dalam bentuk akal, ruh, dan fitrah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi. Dengan demikian, untuk memahami manusia, kita harus menelusuri jejak-jejak ketuhanan yang ada dalam ciptaan. Ayat seperti “Sanurīhim āyātinā fī al-āfāqi wa fī anfusihim…” (Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di cakrawala dan pada diri mereka sendiri) menggarisbawahi keterkaitan erat antara diri manusia dan jagat raya.
Dalam konteks epistemologi modern dan pendekatan ekopsikologi, hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah pusat kesadaran ekologis yang beresonansi dengan tatanan alam semesta. Pendekatan integral, seperti yang dikembangkan oleh Ken Wilber, juga menggarisbawahi bahwa kesadaran manusia bergerak dalam spektrum yang menyatukan dimensi spiritualitas, alam, dan transendensi, menggambarkan hubungan yang kompleks dan saling terkait antara manusia, alam, dan Tuhan.
Kata qalam (pena) dalam ayat “‘Allama bi al-qalam” telah lama dipahami oleh para mufassir, seperti al-Razi, sebagai simbol dari proses pewahyuan dan pencatatan ilmu. Pena tidak hanya berfungsi sebagai alat tulis, tetapi juga sebagai representasi struktur keteraturan dan kehendak Ilahi dalam menyampaikan ilmu kepada manusia. Dalam pengertian ini, ilmu bukan sekadar informasi, melainkan suatu bentuk pengaturan makna dalam tatanan semesta yang lebih besar.
Mahrusillah kemudian mengelaborasi empat model epistemologi Islam: tajribī (empiris-eksperimental), bayānī (tekstual-normatif), burhānī (rasional-deduktif), dan ‘irfānī (spiritual-intuitif). Pendekatan ini menggambarkan sintesis antara metode empiris dan dimensi transenden dalam pencarian ilmu. Dalam filsafat sains Islam kontemporer, integrasi ini sangat penting, terutama untuk menjawab tantangan reduksionisme ilmu modern yang sering kali mengabaikan aspek transendensi dan makna, serta menggali dimensi yang lebih dalam dari realitas yang ada.
Ayat “Kallā inna al-insāna la-yaṭghā, an ra’āhu staghna” menggambarkan kondisi eksistensial manusia yang diliputi rasa cukup (istighnā’) yang menyesatkan. Dalam tafsir klasik, kondisi ini dipahami sebagai akar kesombongan yang menjauhkan manusia dari rasa ketergantungan kepada Tuhan. Kesombongan ini tidak hanya bersifat moral, tetapi juga epistemik—manusia merasa telah mengetahui segalanya dan tidak lagi membutuhkan petunjuk.
Dalam kerangka tafsir progresif dan epistemologi kritis, kondisi ini diinterpretasikan sebagai false autonomy—ilusi bahwa manusia dapat berdiri sepenuhnya sendiri, bebas dari keterikatan spiritual dan sosial. Konsekuensi dari kesadaran yang terputus ini adalah munculnya sistem dominasi dan eksploitasi atas sesama manusia serta alam. Dengan demikian, istighnā’ bukan sekadar masalah personal, tetapi juga masalah struktural yang berakar dalam paradigma modernitas yang menolak nilai transendensi, menciptakan suatu tatanan yang merusak hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Melalui penelaahan terhadap makna fitrah, relasi kosmik manusia, qalam sebagai simbol ilmu, serta bahaya istighnā’, pembacaan Surah al-‘Alaq ini membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam bahwa wahyu sejatinya adalah suatu dialog antara kesadaran Ilahi dan kesadaran manusia. Tafsir klasik mempersembahkan warisan spiritual dan simbolik yang mendalam, sedangkan epistemologi modern progresif menawarkan perspektif pemaknaan yang relevan dalam konteks kontemporer. Dengan mengintegrasikan keduanya, kita tidak hanya memahami wahyu sebagai teks sakral, tetapi juga sebagai suatu medan transformasi diri yang mengarah pada makrifat serta pemahaman yang lebih luas tentang kebermaknaan semesta.
Sebagai wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW, Surah al-‘Alaq tidak hanya memiliki signifikansi historis, tetapi juga menawarkan kerangka epistemologis dan spiritual yang mendalam untuk memahami relasi antara manusia, ilmu, dan Sang Pencipta. Melalui karya Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq, Mahrusillah berhasil menghadirkan pembacaan yang segar dan multidisipliner terhadap surah ini, dengan menggabungkan pendekatan tafsir klasik, analisis filosofis, dan perspektif kontemporer.
Beberapa temuan kunci yang dapat disarikan dari telaah ini menunjukkan adanya integrasi yang signifikan antara pendekatan hermeneutika klasik dan modern. Mahrusillah secara cermat menggambarkan bagaimana tafsir tradisional—seperti pendekatan linguistik terhadap al-Qur’an dan tafsir sufistik—dapat berdialog secara produktif dengan teori-teori kontemporer, termasuk neurosains, ekofilosofi, dan kritik sosial. Pendekatan ini mengarah pada pengembangan epistemologi holistik, di mana Surah al-‘Alaq tidak hanya menekankan urgensi ilmu pengetahuan, tetapi juga menawarkan model epistemologis yang menyatukan dimensi empiris, rasional, dan intuitif (‘irfānī). Tafsir atas konsep-konsep kunci seperti ‘alaqah, istighnā’, dan iqra’ juga membuka ruang refleksi yang luas terhadap berbagai tantangan modern, termasuk krisis ekologi, kesenjangan sosial, dan kecenderungan reduksionisme dalam ilmu pengetahuan kontemporer.
Namun, beberapa pertanyaan kritis masih dapat diajukan, misalnya: Bagaimana konsep fitrah dalam surah ini dapat dibaca dalam konteks pluralisme agama? Apakah pendekatan integratif Mahrusillah dapat diterapkan secara konsisten pada surah-surah lain dalam al-Qur’an? Pertanyaan-pertanyaan ini membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut.
Secara keseluruhan, Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq layak diapresiasi sebagai upaya serius untuk menjembatani tradisi keilmuan Islam dengan wacana kontemporer. Karya ini tidak hanya memperkaya khazanah tafsir al-Qur’an, tetapi juga menginspirasi pembaca untuk melihat wahyu sebagai sumber pengetahuan yang dinamis dan relevan dengan kompleksitas zaman. Dengan demikian, Mahrusillah telah memberikan kontribusi berharga bagi studi al-Qur’an yang integratif dan transformatif.
——————————————
Bibliography
Sumber Primer
Mahrusillah, Mohamad. Ta’ammulāt fī Sūrah al-‘Alaq. Tangerang: STISNU Nusantara Press, 2025.
Sumber Sekunder
Bucaille, Maurice. The Bible, the Qur’an and Science: The Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge. Translated by Alastair D. Pannell. Riyadh: Dar al-Islam, 2003.
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. Translated by Myra Bergman Ramos. New York: Continuum, 1970.
al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. 4 vols. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001.
Ibn Kathīr, Ismā‘īl ibn ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Edited by Sāmī al-Salāmah. 8 vols. Riyadh: Dār Ṭaybah, 1999.
Moore, Keith L., and T.V.N. Persaud. The Developing Human: Clinically Oriented Embryology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier, 2015.
al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. al-Tafsīr al-Kabīr (Mafātīḥ al-Ghayb). 32 vols. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1999.
Wilber, Ken. Integral Spirituality: A Startling New Role for Religion in the Modern and Postmodern World. Boston: Integral Books, 2006.
al-Zamakhsharī, Maḥmūd ibn ‘Umar. al-Kashshāf ‘an Ḥaqā’iq al-Tanzīl. 4 vols. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1987.