Oleh Rofinus Pati
Kita baru merayakan Hari Pendidikan Nasional 2025 dengan beragam busana tradisional dan lintasan seremoni rutin dari kota sampai ke pelosok. Namun, masih segar dalam ingatan kita pada sebuah tragedi yang menimpa seorang ibu bersahaja asal Kabupaten Flores Timur di tanah Yakuhimo, Papua.
Ibu guru Rosalia Rerek Sogen telah direnggut nyawanya dari medan bakti dengan cara amat barbar. Kecurigaan akan perannya sebagai mata-mata TNI hanya karena pernah memakai baju kaos loreng merupakan generalisasi yang sulit dicerna akal sehat.
Bagaimana mungkin bahwa Rosalia, seorang perempuan kampung, yang rela meninggalkan tanah kelahirannya, pergi menerobos ke pedalaman Papua, hanya untuk menjadi mata-mata? Ini terlalu riskan bagi seorang perempuan kampung. Dia bukan TNI, melainkan seorang guru yang mendidik anak-anak Papua untuk kelak menjadi bintang-bintang dari timur Indonesia.
Nasi sudah menjadi bubur untuk riwayat pahlawan tanpa tanda jasa. Kecurigaan, penyesalan karena salah membunuh ibu Rosalia, siapapun tidak sanggup memanggil almarhumah untuk kembali ke bumi ini secara fisik, bahkan oleh manusia level dewa. Barangkali, hanya alam semesta yang menyimpan narasi tersendiri tentang tragedi ini.
Air Mata Penuh Daya
Hati yang ikut merasakan akan miris, ketika menyaksikan tayangan video di media sosial. Anak-anak Sekolah Dasar dan warga di kampung itu menangisi kepergian ibu Rosalia dan para pendidik lainnya di saat hendak dijemput pesawat evakuasi ke tempat aman. Dengan ‘likers’ mencapai lebih dari tiga ribu orang, beberapa waktu lalu dan belum tahu sekarang, menunjukkan bahwa tragedi ini sudah menjadi berita nasional, bahkan dunia karena sudah sampai di PBB.
Pengurus PGRI kabupaten asal almarhumah yakni Kabupaten Flores Timur tidak ragu-ragu memberikan gelar Pahlawan Pendidikan bagi ibu Rosalia Rerek Sogen. Sebuah langkah berani yang patut diapresiasi karena harkat dan penghormatan terhadap citra guru menjadi prioritas. Tanpa guru, tak seorang pun cucu Presiden maupun Presiden bisa membaca, menulis dan pergi ke luar angkasa.
Keprihatinan muncul dalam hati setiap orang yang menyaksikan tayangan video beberapa waktu lalu itu. Bupati Yakuhimo mengutuk para pelaku dengan kata-kata amat vulgar. Banyak orang merasa prihatin bahwa peristiwa memalukan ini terjadi di negara yang mendekati 100 tahun merdeka, sekaligus tetap dijajah oleh amarah dan dendam kesumat .
Air mata anak-anak Papua ibarat sungai kecemasan yang menyapu kecerahan masa depannya di saat ini. Ibu guru yang memanusiakan manusia, yang mengantar anak-anak keluar dari ketidaktahuan dan mulai mengenal huruf A, I, U, O, E, kini telah pulang menjadi jenazah, tanpa pamit dan lambaian pisah. Apakah ini yang namanya pahlawan tanpa tanda jasa dalam jasat ibu Rosalia?
Air mata anak-anak Papua adalah tangisan atas masa depan yang kelabu dan protes masa kini atas ketidakberdayaan dan tragedi yang tidak mereka pahami. Tapi, air matanya memiliki kekuatan. Tangisan anak-anak itu barangkali banyak mengandung ‘garam’ yang akan mengawetkan nostalgia, sekaligus membuka pelbagai kemungkinan baru di masa depan, terkhusus dalam ranah pendidikan di bumi cendrawasih.
Pahlawan tanpa Tanda Jasa?
Hari Pendidikan Nasional selalu dirayakan setiap tahun dengan segala ornamen dan gaungnya di dunia nyata maupun maya. Dari kota sampai ke pelosok, nasionalisme terasa semakin kental untuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sudah mendekati satu abad ini, tidak ada orang yang menyangkal bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Manusia tidak mampu menciptakan robot, orang tidak sanggup ke planet di luar bumi, kalau tidak ada guru.
Tapi, seorang guru selayaknya lebih dari figur pahlawan tanpa tanda jasa! Sejatinya, seorang guru adalah pahlawan dengan jasa tak terhingga.
Bukan karena tidak ada deretan bintang di dada dan bahu, sehingga seorang guru dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa, melainkan dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa karena tidak cukup deretan bintang di dada maupun di bahu, jika guru disematkan bintang. Guru adalah pahlawan dengan jasa tak terhingga, sebab yang memiliki taburan bintang di dada dan bahu, bisa mendapatkan bintang karena guru.
Karena itulah, sering teramat menyayat hati, ketika kita mengenang guru sebagai pahlawan dengan jasa tak terhingga, lalu segera lenyap dalam kesunyian lembaran-lembaran sejarah.
Itulah sosok seorang guru Rosalia Rerek Sogen almarhumah. Dia berjasa memanusiakan manusia di Papua, lalu segera meninggal sebelum menua. Ibu Rosalia pantas menjadi pahlawan pendidikan, pahlawan dengan jasa tak terhingga.
——————–
*Rofinus Pati, Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara