Oleh Mario F. Lawi
Dalam karya monumentalnya, Imagined Communities, Benedict Anderson merefleksikan pemikirannya tentang nasionalisme dengan menyandarkan gagasannya pada waktu mesianik, yang dipinjamnya dari Illuminations karya Walter Benjamin. Waktu mesianik adalah masa lalu yang simultan dengan masa depan, dalam masa kini yang instan, sebuah “homogeneous, empty time”, waktu yang homogen dan hampa. Dalam pandangan tentang waktu semacam ini, melalui situs-situs sejarah, sensus, peta, dan museum, sebagaimana melalui bahasa, masyarakat membentuk gramatikanya masing-masing untuk mengucapkan dan menghadirkan nasionalisme.
Melanjutkan gagasan nasionalismenya, Anderson menunjukkan dalam esai kedua bagian berjudul “The Long Arc of Nationalism” dalam buku The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World bahwa situs-situs bersejarah adalah juga bagian penting dari pengalaman nasionalisme. Esai berjudul “Replica, Aura, and Late Nationalist Imaginings” adalah esai yang mengemukakan kemungkinan situs-situs sejarah, monumen-monumen peringatan, tempat-tempat pemakaman serta senotaf dapat memancarkan daya yang menggerakkan manusia-manusia yang masih hidup, para warga negara yang menjadi contoh dalam tulisan tersebut, untuk menempatkan pembayangan atas tokoh-tokoh pahlawan mereka sebagai bagian dari pengalaman akan konteks yang lebih luas bernama nasionalisme.
Anderson menunjukkan bagaimana nasionalisme, dalam konteks esai tersebut adalah nasionalisme resmi (official nationalism), terus digulirkan di dalam proses signifikasi dalam pemahaman tentang waktu sebagai “homogeneous empty, time”. Sebagian besar esai tersebut merujuk kepada situs-situs sejarah di Amerika Serikat dan Filipina, terutama monumen Jose Rizal di Luneta Park, tempat Rizal dieksekusi oleh regu tembak yang berasal dari bangsanya sendiri, dan Lincoln Memorial di Washington. Kedua situs tersebut memperlihatkan situasi yang bertolak belakang. Di Luneta, para rizalistas begitu khusyuk bernyanyi, berlutut, mendoakan Rizal, yang mereka anggap sebagai Kristus yang disalibkan untuk kedua kali, dan akan kembali menyelamatkan mereka yang menderita; sementara Lincoln Memorial, meski dibangun dengan desain arsitektural gedung keagamaan (baik yang referensinya diambil dari kuil pagan Yunani, maupun gereja Abad Pertengahan), tempat son et lumière—suara dan cahaya tertentu, dapat berkeredap masuk ketika hari beranjak gelap dan menghasilkan sensasi cahaya sebagaimana tampak dalam lukisan Las Meninas karya Diego Velázquez, tak ada ritual yang dilakukan orang-orang di tempat itu seperti yang dilakukan para rizalistas di Luneta. Jika para rizalistas menempatkan diri sebagai peziarah di Luneta Park, orang-orang yang berkunjung ke Lincoln Memorial menempatkan diri mereka sebagai turis, dan dengan demikian tempat tersebut kehilangan auranya.
Ada beberapa contoh lain yang ditampilkan Anderson dalam esai tersebut, antara lain, pemakaman orang-orang Inggris di Prancis dan Belgia, pemakaman para pahlawan Filipina, makam bagi para pahlawan tanpa nama, dan senotaf. Dengan menampilkan contoh-contoh tersebut, nasionalisme tidak hanya dialami melalui sensus, museum, dan peta, dan “homogeneous, empty time” tidak hanya dipahami melalui media massa dan novel, tetapi juga melalui politik tubuh dan monumentalisasi tubuh dalam situs-situs sejarah.
Anderson menutup esai tersebut dengan kembali kepada Imagined Communities. kesadaran terhadap ruang, dalam hal ini diwakili oleh tubuh-tubuh yang dihadirkan kembali dalam situs-situs sejarah, dan mekanisme yang ditunjukkan oleh nasionalisme dalam “homogeneous, empty time” juga ikut menghadirkan amnesia dan keterasingan. Kedua hal tersebut adalah juga bagian dari gramatika tentang nasionalisme, meski tak terartikulasikan.
Dua momen berdekatan membuat saya mengingat kembali karya-karya Anderson tersebut. Momen pertama, ketika mengunjungi Larantuka Oktober 2024 lalu. Di persimpangan katedral, ada Taman Herman Fernandez, dengan patung Herman Fernandez membopong sahabatnya, Alex Rumambi, yang terkena tembakan. Momen kedua, ketika menghadiri diskusi tentang Herman Fernandez pada 13 November 2024 lalu. Pada saat itu, saya mendapat tugas dari kantor untuk menghadiri seminar nasional dengan tema “Ketokohan dan Kepahlawanan Herman Yoseph Fernandez, Cahaya dari Timur untuk Indonesia”, di lantai 4 Rektorat Universitas Katolik Widya Mandira. Seminar itu diisi oleh para narasumber yang merupakan tim penulis kajian akademik untuk pengusulan Herman Yoseph Fernandez sebagai Pahlawan Nasional. Tim penulis diketuai oleh Yoseph Yapi Taum, dengan anggota antara lain Kiki Syahnakri, Gregorius Neonbasu, Bondan Kanumoyoso, dan Marianus Kleden. Sebagian besar informasi penting tentang Herman Yoseph Fernandez dan kiprah kepahlawanannya yang disampaikan dalam seminar tersebut bisa juga dibaca dalam buku Herman Yoseph Fernandez – Kusuma Bangsa Pembela Tanah Air Layak Jadi Pahlawan Nasional yang ditulis Thomas B. Ataladjar (Penerbit Ikan Paus, 2024). Informasi-informasi penting tentang Herman Yoseph Fernandez dalam tulisan ini saya sarikan dari buku tersebut.
Herman Yoseph Fernandez lahir di Ndona, Ende, pada 3 Juni 1925. Ia merupakan anak keempat dari 12 bersaudara, dari pasangan guru Marcus Suban Fernandez dan Fransisca T.P. Carvalho Kolin. Pada 1936, Herman Fernandez masuk Schakelschool di Ndao, dan tamat pada 1941. Pada Agustus 1941, bersama Frans Seda, Silvester Fernandez dan Willem Wowor, Herman Fernandez pergi ke Surabaya menumpang kapal hewan Waikelo, untuk melanjutkan perjalanan pendidikan ke Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) Muntilan. Belum genap setahun bersekolah di Muntilan, pada Maret 1942, Jepang mulai menduduki Indonesia. HIK Muntilan ditutup, Herman Fernandez dan kawan-kawan diangkut ke Seminari Mertoyudan yang telah lebih dahulu diduduki Jepang. Menolak menjadi seinendan dan keibodan, mereka diam-diam menumpang kereta api ke Yogyakarta. Mereka kemudian berpencar. Frans Seda kembali ke Magelang, sedangkan Herman Fernandez dan Alex Rumambi terpaksa bekerja sebagai romusa di tambak batu bara Bayah di Banten Selatan. Di sana, keduanya bertemu Tan Malaka yang menggunakan nama Ilyas Husein.
Hasil kerja keduanya dikirimkan untuk membantu kehidupan dan studi teman-teman mereka di Yogyakarta. Uang kiriman pertama dipergunakan untuk membuat rumah sederhana di Pingit, dengan bahan-bahan seadanya. Kesetiakawanan semacam itu, terutama di dalam situasi sukar, masih bisa kita jumpai di banyak daerah di Nusa Tenggara Timur. Orang-orang di perantauan menjadi “keluarga” karena senasib sepenanggungan.
Ketika revolusi pecah, Alex dan Herman meninggalkan Bayah, kembali ke Yogyakarta, bergabung bersama kawan-kawannya. Awalnya, mereka bergabung dengan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), sebelum masuk GRISK (Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil). GRISK diketuai oleh Herman Johannes, dengan Frans Seda menjadi sekretaris II merangkap bendahara. GRISK memiliki sayap militan bernama Laskar Sunda Kecil/Batalyon Paradja. Batalyon tersebut dikenal juga sebagai Batalyon TImor, karena berhimpun banyak pelajar dari NTT, seperti Herman Johannes, Yos Kodiowa, Daud Kellah, Amos Pah, Is Tibuludji, Benyamin Pandie, El Tari, Frans Seda, Willem Wowor, Silvester Fernandez, Dion Lamury, Laurens Say, Paulus Wangge, dan Herman Fernandez. Kelompok tersebut tinggal bersama di Jalan Djetis Nomor 20, Yogyakarta.
Pada 2 September 1947, Herman Fernandez ikut berperang di Sidobunder, sebagai bagan dari Tentara Pelajar Sulawesi. Karena bertubuh besar, dan sempat mengikuti latihan militer sebelumnya, Herman dipercaya untuk memegang senapan mesin (juki). Dalam kemelut pertempuran tersebut, La Sinrang, sahabat Herman Fernandez, menembak mati Kapten Nex, salah satu perwira Belanda, yang saat itu sedang dalam posisi siap menembak Herman Fernandez. Setelah La Sinrang ditangkap dan dibawa ke markas Belanda, Herman Fernandez yang kembali ke markas PERPRIS ditugaskan komandannya, Maulwi Saelan, untuk mencari Alex Rumambi. Alex berhasil ditemukan dalam kondisi sekarat, dan diselamatkan oleh Herman Fernandez. Dalam usaha penyelamatan itulah, kaki Herman Fernandez ditembak oleh Belanda, ditangkap, dan dibawa ke Gombong. Alex ditinggalkan karena dianggap telah meninggal. Alex Rumambi kemudian diselamatkan oleh petani Kramasentana dan diobati. Herman kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Polisi Militer Belanda atas tuduhan menembak mati Kapten Nex. Menurut catatan resmi negara, berdasarkan nisan salib di TMP Kusumanegara, Yogyakarta, Herman Fernandez gugur pada 31 Desember 1948.
Kiki Syahnakri menekankan pentingnya peran Herman Yoseph Fernandez dan Pertempuran Sidobunder dalam esai berjudul “Peran Palagan Sidobunder dan Hikmat Keterwakilan bagi Persatuan Indonesia” yang disampaikan saat seminar di Unwira. Menurutnya, ditembaknya Kapten Nex dapat menimbulkan pengaruh besar bagi pasukan Belanda, antara lain menurunkan semangat tempur pasukan. Karena itu, sangat mungkin Palagan Sidobunder dan matinya Kapten Nex menjadi faktor penghambat gerak maju pasukan Belanda dari arah barat Yogyakarta. Bagi Syahnakri, itulah peran penting yang dimainkan Herman Yoseph Fernandez dan para Tentara Pelajar dalam Pertempuran Sidobunder dalam rangka mempertahankan Yogyakarta sebagai ibukota negara, sekaligus mempertahankan eksistensi kemerdekaan Indonesia yang baru berusia dua tahun.
Menimbang kiprahnya pada masa revolusi, masyarakat Nusa Tenggara Timur tentu saja berharap, dalam segala dinamikanya, Herman Yoseph Fernandez dinobatkan menjadi salah satu pahlawan nasional. Mari kita tunggu.