• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Minggu, November 9, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home TEROPONG

Jalan Memperpanjang Ingatan

by Redaksi
Juni 19, 2025
in TEROPONG
0
Jalan Memperpanjang Ingatan

Foto Oscar Motulah - sumbrr foto dari google

0
SHARES
15
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

Oleh Herlambang Jaluardi dan Mohammad Hilmi Faiq

 

Ungkapan “selembar foto melebihi 1.000 kata” dihayati fotografer Oscar Motuloh (64) melebihi apa pun. Dalam setiap lembar foto terkandung citra, kata, bahkan irama yang memperkaya cerita dalam foto tersebut. Pemahaman dan laku ini memberinya gelar Empu Ageng – setara doktor honoris causa bidang Fotografi Jurnalistik dari kampus ISI Yogyakarta.

 

Dua pekan berlalu sejak Indonesia memilih presiden kedelapan. Obrolan tentang iklim demokrasi pascapemilu masih hangat. Belum lama pula seorang fotografer senior berkomentar miring tentang Aksi Kamisan yang rutin digelar di depan Istana Presiden sejak 2007 menuntut penuntasan kasus kejahatan berat HAM.

Oscar tak mengikuti ributribut di jagat maya itu. Dia memang menjaga jarak dengan perangkat ponsel dan segala rupa media sosial. Melalui kawan-kawan di sekitarnya, keriuhan itu sampai juga di telinganya, yang terselip di antara helai-helai rambut panjangnya. Keriuhan itu, kata Oscar, buntut dari ingatan pendek yang menjangkiti orang-orang sekarang ini.

“Semua (informasi) yang dibutuhkan hadir secara instan di sini (mengangkat ponselnya). Karena mudah didapat, informasi itu tidak (benar-benar) menempel di memori. Dampaknya, kejadian besar cepat dilupakan. Reformasi itu, kan, baru terjadi sekitar 25 tahun lalu,” kata Oscar, Rabu (28/2/2024), di ruang perpustakaan Yayasan Matawaktu, Jakarta Selatan.

Ruangan itu dipenuhi sekitar 4.000 judul buku aneka topik, mulai dari biografi, sejarah, musik, hingga komik. Terpampang tulisan besar-besar kutipan dari Proklamator Mohammad Hatta, “Dengan buku aku bebas”.

Obrolan iklim politik Indonesia tahu-tahu berbelok ke cerita masa silam di Chile tahun 1973. Saat itu, terjadi kudeta berdarah yang dilakukan rezim militer Augusto Pinochet pada Pemerintahan Salvador Allende. Oscar menuturkan, kudeta itu bernama operasi “The Jakarta Method”. Penamaan itu, katanya, merujuk pada metode perebutan kekuasaan yang berlumur darah di Indonesia pada periode 1965-1966.

Oscar mempelajari kisah itu dari buku berjudul The Jakarta Method Wushington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World (2020). Buku tebal rmuansa merah yang disusun mantan koresponden The Washington Post di Indonesia, Vincent Bevins, itu tergeletak di hadapannya ketika dia bercerita. Kopi hitam menghangatkan obrolan.

Oscar juga memutar lagu “They Dance Alone” dari Sting yang bercerita tentang para ibu di Chile yang kehilangan suami dan anak dalam masa pergolakan itu. Kisah lagu itu dekat dengan Aksi Kamisan yang  digerakkan Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa yang tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi 1998.

”Wartawan foto ada di garis depan saat peristiwa-peristiwa besar itu terjadi. Mereka ibarat tiang dekat gawang. Kepekaan para jurnalis foto memengaruhi cerita yang mereka laporkan dari garis depan. Cerita pada foto jadi pemantik yang mengingatkan pada peristiwa tertentu,” kata Oscar.

Kembali ke buku

Buku adalah salah satu sumber untuk mempertajam kepekaan jurnalis foto, dan tentu saja, jurnalis pada umumnya. Ketika dia masih menjadi penanggung jawab dan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara, Oscar menyediakan buku referensi. Pembukaan pameran pun diiringi pertunjukan musik, yang menurut Oscar perlu untuk memperkaya horizon pewarta foto. |

Dalam dua tahun terakhir, ketika purnatugas, Oscar melanjutkan pola itu pada Yayasan Matawaktu, yang dia dirikan dan jalankan bersama sejumlah temannya. Yayasan ini adalah organisasi nirlaba yang mengemban misi pengarsipan, penelitian dan publikasi terkait seni visual khusunya fotografi.

Ketika didatangi di ujung Februari itu, Matawaktu sedang menggelar pameran buku-buku foto bertajuk Pentas Buku Foto. Kuratornya empat perempuan fotografer. Sebagian buku yang dipajang dicetak mandiri.

Gue mengampanyekan kembali ke buku. Seniman visual, khususnya fotografi, itu merekam waktu, peristiwa dari detik ke detik. Peristiwa ini jadi pengetahuan, yang nanti akan menjadi sejarah. Rangkuman cerita melalui foto akan menjadi catatan sejarah,”kata Oscar yang sore itu berkaus The Godfather, film yang diangkat dari novel karya Mario Puzo.

Kantor yayasan itu juga menjadi ruang diskusi topik-topik terkini yang berhubungan dengan fotografi. Di akhir pekan sebelumnya, Matawaktu membedah perspektif fotografi dari pelaku yang berada di setiap pasangan kandidat presiden. Cerita-cerita dibalik “punggung” kandidat bergulir tanpa penghakiman instan—berkebalikan dengan kolom komentar di media sosial.

Kantor Matawaktu yang mengontrak unit ruko di ITC Fatmawati itu, kata Oscar, tak hanya mewadahi disiplin fotografi saja. Beberapa waktu silam, mereka pernah memamerkan karya ilustrasi. April mendatang, bulan yang dikaitkan dengan perayaan Record Store Day di seluruh dunia, mereka juga berencana memajang karya-karya penting ranah musik Indonesia.

 
Landasan musik

Selain fotografi, musik adalah unsur penting dalam hidup Oscar. Dia mewarisi banyak koleksi piringan hitam dari ayahnya, yang mantan karyawan PT Pos Indonesia. Bukan sekadar mengumpulkan, Oscar juga menyusunnya dalam kategori spesifik. Penyimpanannya tak cuma dipisahkan berdasarkan genre, tetapi juga tahun perilisan dan asal musisinya. Dengan begitu, Oscar jadi tahu konteks peristiwa dan tempat apa dari sebuah album.

Album-album musik itu tersumpan dj lantai tiga bangunan itu. ruangan yang tak dibuka untuk umum. Jumlahnya tak terkira. Ada yang disimpan di rak, ada yang ditumpuk dilantai. Ada pula rak kaca yang menyimpan patung-patung kecil musisi kawakan, seperti Slash dan Michael Jackson. Logo Rolling Stones dan Pink Floyd ada di beberapa tempat, termasuk di klosetnya.

”Zaman gue SD, bokap mengajak kami (Oscar dan saudara-saudaranya) mendengar lagu dari piringan hitam. Kami selalu punya ruang mendengar musik. Gue juga sempat lihat, tuh, bokap ngajak yokap dansa diiringi irama waltz,” kata Oscar yang semasa hidup berpindah-pindah karena mengikuti penempatan dinas sang ayah.

Jalan hidupnya tak pernah lepas dari music. Catatan pengantar album (liner notes) di sampul piringan  hitam biasa jadi referensi baginya ketika menulis artikel. Ketika menjadi wartawan, pemutar musik dan album tak pernah ketinggalan setiap bepergian. Ingatan pada lagu memberinya imajinasi ketika memotret.

“Kalau memotret pasar yang riuh, misalnya, gue ingat lagu-lagu karya Pat Metheny Trio,” kata Oscar yang juga bisa main gitar ini. Beberapa perjalanan panjang yang pernah ia lakoni lekat memorinya dengan referensi musik. Pat Metheny Trio itu, khususnya album Bright Size Life, misalnya, adalah salah satu yang mengiringinya ke Oslo, Norwegia, pada 2002.

Saat meliput tragedi di Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 1991, Oscar diiringi Sting album The Dream of the Blue Turtles dan Nothing Like the Sun, Rolling Stones (Sticky Fingers), serta Santana (Abraxas dan Caravanserai).

Sementara perjalanan ke tanah spiritual Golan, Jerusalem, pada 2000 ditemani album Brain Salad Surgery dari Emerson, Lake & Palmer: Ravi Shankar dan Philip Glass (Passages), The Beatles (Revolver dan Abbey Road): serta Metallica dan Michael Kamen (S & M).

Foto-foto dari perjalanan itu seperti punya dimensi lain: tak sekadar gambar dua dimensi. Setiap foto seperti punya nada, ada kesan puitis yang menjadikannya lebih dari laporan jurnalistik. Kebiasaan itu masih dilakukan sampai sekarang. Oscar membawa pemutar CD jinjing, atau pelantang Bluetooth. Album yang nyaris selalu diangkut, misalnya, Kind of Blue dari Miles Davis, Dark Side of the Moon dari Pink Floyd, dan Nothing Like the Sun dari Sting. Di atas semua itu, Bob Marley wajib ada.  Ketika mengasuh Galeri Foto Jurnalistik Antara, Oscar sering mengundang band untuk tampil di pameran. “Selain berjejaring, gue mau jurnalis foto menjadikan musik sebagai referensi untuk merangsang imajinasi,”ujarnya.

 

Gaya jurnalistik

Karier Oscar di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara bermula dari 1988. Setelah mengikuti pendidikan jurnalistik selama setahun, Oscar diterima jadi pekerja magang sebagai wartawan tulis. Pada 1990, atasannya meminta dia menjadi fotografer meski dia mengaku tak punya dasar foto- grafi. ”Asal tunjuk aja itu,” katanya terkekeh.

Teknik fotografi ia pelajari sembari menjalani tugas barunya. Namun, kepekaan pada karya visual telah dipupuk sejak kecil dari banyak menonton film. Saat menonton di bioskop, Oscar mencatat adegan menarik, juga istilah-istilah perfilman. Dia mempelajari ciri khas gambar dan cara bertutur sutradara ternama, seperti Francis Ford Coppola, Martin Scorsese, atau Steven Spielberg.

Selain dari bioskop, referensi tontonan dia dapat dari koleksi perpustakaan Kedutaan Besar Amerika Serikat karena dia menjadi anggota di situ semasa kuliah di Akademi Hubungan Internasional, Jakarta, Buku dan komik juga dia lahap. Khazanah teks dan visualnya jadi lengkap. Musik memperkuatnya.

Maka, ketika bertugas sebagai fotografer Antara, Oscar memberi warna baru. Foto-foto yang dihasilkan tak melulu dokumentasi seremonial. Dia membubuhkan cita rasa seni. Foto jurnalistik jadi bersemiotika. Gaya ini dia kembangkan dan ia jadikan sebagai kurikulum di program pendidikan foto jurnalistik Antara mulai 1993.

“Sejak itu, calon fotografer Antara harus ikut dua brevet pendidikan sebelum diangkat. Mereka wajib ikut pelatihan jadi wartawan tulis, baru belajar jadi wartawan foto,” katanya. Sejak jadi divisi sendiri bernama Antara Foto pada 2005, karya foto esai banyak dihasilkan pewarta foto Antara.

Kiprah puluhan tahun Oscar di foto jurnalistik mendapat pengakuan akademis dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada September 2019, menjelang masa purnatugasnya di Antara.

Pengetahuan, pengalaman, dan keakraban yang tercurah selama bekerja di Antara diteruskan di Yayasan Matawaktu. Penikmat fotografi, tak terbatas pada jurnalis saja, berinteraksi di sana. Jangan mencari Oscar di Instagram apalagi Tiktok. “Gue realitas person. Gue bukan insan dunia maya,” katanya.

Mampir saja ke Matawaktu. BO, alias Bang Oscar—panggilan dari para yuniornya—akan menyambut dengan senyum dan jabat erat sebelum ”air kata-kata” mengalir sambil memutarkan lagu yang asyik-asyik.

 

OSCAR   MOTULOH

 

Lahir:  Surabaya, 17 Agustus 1959

Beberapa pameran tunggal:

-Voice of Angkor (1995)

– Art of Dying (1997)

– Soulscape Road (2007)

Beberapa penghargaan:

– Empu Ageng Foto Jumalistik dari ISI Yogyakarta (2019)

– Lifetime Achievement Anugerah Pewarta Foto Indonesia (2018J

– Pelopor Fotografi Jumalistik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015)

– 30 Most Influential Photographers in Asia dari Asia Invisible Photographer Asia (2014)

————————————–

Sumber Tulisan: Kompas, Minggu, 24 Maret 2024 

ShareTweetSend
Next Post
H A V E L

H A V E L

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

S a s t r a  di Mata  Ignas Kleden:  Mengulas “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan”

S a s t r a  di Mata  Ignas Kleden: Mengulas “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan”

3 tahun ago

“Yang Tertawan” – Murka Angin” – “Bab Terakhir” – “Syair Para Pecinta” – “Aku Sang Penipu”, Sajak-sajak Abdul Ghofar

4 tahun ago

Popular News

    Newsletter

    Beranda Negeri

    Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
    SUBSCRIBE

    Category

    • BERITA
    • BIOGRAFI
    • BUMI MANUSIA
    • Featured
    • JADWAL
    • JELAJAH
    • KOLOM KHUSUS
    • LENSA
    • OPINI
    • PAPALELE ONLINE
    • PUISI
    • PUSTAKA
    • SASTRA
    • TEROPONG
    • UMUM

    Site Links

    • Masuk
    • Feed entri
    • Feed komentar
    • WordPress.org

    About Us

    Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

    • Redaksi & Kontak
    • Tentang Kami
    • Privacy Policy

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    No Result
    View All Result
    • HOME
    • BERITA
    • JELAJAH
    • BUMI MANUSIA
    • BIOGRAFI
    • OPINI
    • KOLOM
    • SASTRA
    • Lainnya
      • TEROPONG
      • PUSTAKA
      • PAPALELE ONLINE
      • LENSA
      • JADWAL

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In