• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Rabu, November 19, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

Komusikasi: Konser Jiwa yang Bergema di Langit Kota

by Redaksi
Juni 25, 2025
in OPINI
0
Komusikasi: Konser Jiwa yang Bergema di Langit Kota
0
SHARES
51
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

Oleh  JB Kleden

 

Dimana kata-kata gagal, musik berbicara (Hans Chritian Andersen).

 

Siapa sangka di tengah gemerlap pusat perbelanjaan dan notifikasi yang tak henti berdenting, warga kota diam-diam menyimpan rindu. Rindu panggung, juga rindu akan euforia bersama, di mana tepuk tangan lebih riuh dari story di platform media sosial.

 

KAMIS, 19 Juni 2025,  atrium Lippo Plasa Kupang sepenggal adzan magrib. Atmosfir lantai dasar ditata laiknya sebuah konser. Minimalis namun berseni. Panggung menyala dengan jilatan lampu-lampu sorot. Di panggung itulah Fakultas Seni Keagamaan Kristen (FSKK), Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang, menorehkan jejak kecil dalam langkah senyap yang nyaring. Menghadirkan para mahasiswa tugas akhir dalam sebuah konser bertajuk “Komusikasi: Music Soul’s Language.”

Saat senja menepi dan lampu-lampu bernuansa estetik menyala “nyeni” bagai bintang jatuh, talenta muda menghentak panggung. Suasana mendadak meriah, hebring! Layar LCD berukuran besar berpendar membingkai, seolah merekalah juru bicara dimensi lain. Denting piano, petikan gitar, lengking vokal, band, fibrasi Sasando, irama gong tradisional dan hentakan kaki, semuanya terasa bagaikan untaian kalimat dari bahasa yang tak tertulis namun menggetarkan jiwa.

Keberanian para mahasiswa menghadirkan gebrakan baru yang memadukan hiburan, interaksi, dan inovasi dalam satu panggung spektakuler membuat konser ujian akhir semester ala mahasiswa seni ini menjelma menjadi suguhan magis, merangkul jiwa yang lama merindu hiburan yang menyentuh sukma. Nada, ritme, lirik dan interaksi selalu terasa lebih hidup saat dinikmati secara langsung.

“Without music, life would be a mistake,” kata filosof Jerman, Friedrich Nietzsche.  Maka watching a concert is not a mistake. Saat panggung menyihir dan menyatukan penonton dalam euforia bersama, musik bukan lagi performa, ia menjadi media penghubung. Inisiasi gen z yang lahir dalam pelukan internet dan algoritma, menjadikan musik sebagai ekspresi diri yang cair, lintas genre dan sangat personal mengubah malam menjadi panggung pengisi ruang rindu.

Kota ini sedang menyaksikan bukan sekadar konser, melainkan sebuah percakapan jiwa. Dan “Komusikasi: Music Soul’s Language” bukan sekadar tema, melainkan undangan kepada setiap insan untuk mendegar, bukan hanya telinga tetapi hati.  Kehidupan rupanya terlalu besar hanya untuk dijadikan obyek penelitian dan terlalu agung untuk tidak dirayakan. Dan musik merayakan keragaman itu.  I want this way.

 

Saya melirik wakil Walikota Kupang, Serena Cosgrova Franscies, wanita cantik menawan yang duduk di sisi kanan satu deret depan saya. Ada bening yang mengkristal di pelupuk matanya yang indah saat anak-anak melantukan “Let It Be” dalam nada yang jernih, polos tanpa beban tapi penuh daya, menjelmakan lagu itu seperti untaian doa yang lembut dan penuh harap.

“When I find myself in times of trouble, Mother Mary comes to me, speaking word of wisdom, le it be, let it be, let it be…”

Tidak ada yang menerjemahkan, tak perlu. Semua mengerti. Di tengah dunia yang penuh luka, lagu Paul Mc Cartney yang diaransir Listiani Kapitan, dalam format Paduan Suara Anak, terasa menohok. Ia menjadi mantra kolektif penuh kehangatan.  Benar kata Pablo Casals, “music is the divine way to tell beautiful, poetic thing to the heart.” Musik adalah cara ilahi untuk menyampaikan hal-hal yang indah dan puitis ke dalam hati.

Pada genre yang disukai, ia meningkatkan suasana hati dan melepaskan hormon dopamin yang membuat senang. Sementara pada generasi lawas, musik membawa kita pada memori tertentu di masa lalu dan menimbulkan koneksi emosi.

Adakah Serena tertaut emosi? Entahlah. Tapi itulah kemewahan malam itu. Suara anak mampu menciptakan keadaan emosional dengan cara yang halus.  Seperti sederetan mantra, lantunan mereka menyihir jiwa mengaduk emosi.

Maka bukan mengherankan, ketika chorus di akhir lagu,  “… let it be, let it be, let it be, let it be…whisper word of wisdom, let it be…” menghilang secara perlahan lalu senyap, bukan tepuk tangan yang paling keras terdengar, melainkan kesenyapan yang menggugah. Hening karena hati para penonton yang terhenti saat mendengarkan lantunan lagu itu, tengah sibuk berkata-kata dalam diam.

Listiani Kapitan mampu membawa anak-anak menciptakan ruang tenang di tengah kegaduhan Lippo Plasa. Tepuk tangan baru terdengar ketika mereka meninggalkan panggung. Anak-anak itu memang tidak sekadar bernyanyi, mereka mewartakan cinta dalam koor kebersamaan dan karena itu sukses menyulam rasa.

 

 ***

 

KOMUSIKASI dibuka dengan Ensembles Brass. Seperti gong pembuka langit, lagu PKJ nomor 46 ‘Dari Kungkungan Duka Kelam’ yang diaransemen Novi Marliyani Nafi  sebagai tugas akhir Program Muger ini, terdengar seperti detak jantung pertama yang menghidupkan semesta. Penonton terdiam sesaat, bukan karena tidak tahu harus berbuat apa, melainkan karena jiwa mereka telah dijemput.

Opening song ini tidak datang sebagai hiburan malam. Ia datang sebagai badai dari dalam diri. Tiap iramanya adalah dentuman takdir, seperti menyuarakan jeritan masa lalu yang tak pernah terucap. Bagaikan nabi di altar bunyi, menyampaikan sabda emosi yang tak bisa ditolak. Tidak ada keadaan yang terlalu gelap sehingga Tuhan tidak sanggup membawa terang-Nya.

Seorang rekan tersenyum, bukan karena bahagia, tetapi karena musik akhirnya memberinya kata-kata yang selama ini tak mampu ia ucapkan.  Ini bukan konser. Ini adalah ruang pertarungan antara bisu dan bunyi. Antara logika dan rasa. Komusikasi adalah hasrat untuk bersuara melalui musik. Karena “suara  manusia,” seperti dikatakan Sir George Grove, “adalah instrumen yang pertama dan paling alami” yang diterima telinga manusia saat keluar dari rahim ibu.

 

***

 

 SECARA keseluruhan, konser Komusikasi terbagi menjadi tiga sesi. Setiap nomor memiliki jiwa. Ada yang lembut seperti sinar putih kuning senja di tasik yang tenang, ada yang bergemuruh seperti semangat muda yang tak sabar mengubah dunia. Genre bertemu tanpa sekat, etnik berdansa dengan elektronik,  nada lama dililitkan dalam arasansemen baru tanpa kehilangan akar. Penonton terdiam, lalu bersorak seolah-olah mereka mendengar ulang jati dirinya sendiri. Setiap jeda sesi guest stars Aris Bulio Quartet memahat malam dengan improisasi instrument gitar yang hangat dan kontemplatif.

Para mahasiswa yang berkonser adalah mahasiswa dari Fakultas Seni Keagamaan Kristen. Maka wajar kalau sebagian besar nomor yang disuguhkan adalah hasil olahan dari lagu dan musik gerejawi yang diambil dari kidung-kidung jemaat. Kidung-kidung umat merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari uangkapan-ungkapan seni lainnya. ”A song is a prayer.” Pujian rohani selalu menjadi doa yang menenangkan jiwa.

Siapa yang bisa menampik bahwa lebih dari ribuan kotbah dan ajakan yang berpanjang-panjang, lagu “Anak-Anak Mari Nyanyi” (Kidung Jemaat No. 11) yang diaransir Maria Magdalena Nakmofa dalam format PS Anak,  mengingatkan betapa berharganya memuji Tuhan dengan sukacita dan hati yang tulus.

Nada dan liriknya mencerminkan semangat pujian yang polos dan murni. Namun dibalik kesederhanya, ia menyampaikan pesan teologis yang mendalam bahwa kasih Tuhan yang melimpah layak disyukuri dengan rendah hati. Sekaligus ia menciptakan gambaran liturgis yang indah, bahwa pujian anak-anak bukanlah sekadar hiburan, melainkan bagian dari simfoni surgawi yang agung.

Sebagai diseminasi tugas akhir mahasiswa seni keagamaan, memperkenalkan hasil kreasi musik gereja kepada publik sebagai kontribusi nyata terhadap pelayanan dan pengembangan musik gereja di masa depan adalah kewajiban. Namun agama bukanlah sebuah hipostase yang ada di langit plato yang suci murni dan dari sana mengantarai manusia. Agama selalu menjadi agama manusi yang berdaging dan berdarah.

Komusikasi adalah sebuah pendekatan artistik yang menggabungkan seni bermusik dengan komunikasi lintas batas. Maka ia juga menjadi ruang temu yang sakral dan yang profan. Seperti yang sakral, yang profan pun jadi kebutuhan dasar setiap manusia. Kisah cinta romantis dan tarian tradisional yang riuhpun naik ke atas panggung.

Solo piano Vira Banunaek menghadirkan “Secret Time Trevel Theme” dalam melodi yang lembut tapi penuh emosi seakan membawa penonton menembus ruang dan waktu ke suasana film The Secret tanpa harus beranjak dari tempatnya.  Dan tarian Bharatanatyam dari India yang dibawakan Grace Nope, membawa imagi penonton kepada “Dream Girl” Bollywood Hema Malini atau Aishwarya Rai Bachchan.

Tarian tradisional Ma’ekat Suku Dawan yang dipentaskan Kelas Musik Etni PMG membumi dalam langkah-langkah cepat penuh ketangkasan.  Ibarat para Ksatria Timor yang menang dalam peperangan mereka menghentak menghalau malam yang dingin. Tapi tarian ini bukan sekadar kisah peperangan, ia mencerminkan religiusitas masyarakat adat bahwa irama bukan hanya dari nada tetapi juga dari tanah dan akar yang tak pernah putus.

 

Dan segalanya seperti mencampai puncak, ketika Joanda Sarlice Sesfao membawakan Ansambel Sasando Biola melantunkan “Janji Yang Manis” dari Kidung Baru Nomor 143. Dalam petikan dawai Sasando teologi pengharapan yang hidup dalam syair lagu ini terdengar seperti doa yang dinyanyikan angin. Dentingan Sasando mengalun dalam harmoni yang dirajut oleh seluruh ensambel, mengubah Komusikasi menjadi rumah bersama: bagi kenangan, bagi harapan, bagi jiwa-jiwa yang rindu pulang. Karena Sasando bukan hanya alat musik, ia adalah suara anak tanah berseru pada dunia: Lihatlah kami, dengan warisan, dengan impian kami.

Semua itu karena kasih setia Tuhan. I will not forget Thee. Setia kasihMu, kekal Tuhanku.

 

***

 

 Wolfgang Amadeus Mozart, komponis paling jenius dan produktif dalam sejarah musik klasik Barat mengatakan “The music is not in the notes, but in the silence between.” Musik bukan hanya soal nada yang terdengar, tetapi juga tentang ruang, jeda, dan ekspresi yang muncul di antaranya.

Di antara nada, ruang jeda dan ekspresi saya menyaksikan pangggung yang bercahaya itu dengan jiwa yang mengembara. Konser ini bukan sekadar suguhan ujian akhir. Ia menjadi ruang temu antara ekspresi dan penonton yang rindu, antara generasi yang tumbuh dalam nada dan generasi yang baru menjadikannya bahasa jiwa.

 

Dari atas panggung, para mahasiswa memberi lebih dari sekadar pertunjukan. Mereka menghadirkan sebuah peristiwa: tentang keberanian bermusik, keberanian menjadi diri sendiri, dan menyentuh hati orang lain tanpa kata. Mereka mewartakan kidung pujian mengisi ruang hati dengan harmoni yang menghentikan waktu, seolah tiap nada adalah doa yang tak terucap. Dan tarian? Bukan sekadar gerakan, ia adalah aksara tubuh yang menari di atas cumbuan sabana puisi bumi Flobamorata.

Malam itu, nada menjadi cahaya dan gemuruh menjadi bahasa. Nyanyian menjadi puisi dan panggung konser menjadi altar emosi. Saat melodi sendu,  semua ikut sendu tanpa menjadi mellow.  Saat lagu mewartakan dengan irama sukacita, semua berdiri, menjadi fajar.

Komusikasi seakan berubah menjadi sebuah perjalanan. Setiap lagu adalah pintu, setiap jeda adalah ruang meditasi. Kita tidak datang untuk mendegar, tapi untuk dikenali oleh melodi yang seolah tahu luka kita, tahu tawa kita, tahu kegembiraan dan harapan kita, merasakan duka dan kecemasan kita, tanpa kita harus berkata. Dan diakhir kisah malam itu, melodi-melodi itu telah menemukan jalannya pulang  ke hati-hati yang merindu.

“Konser ini menyentuh dengan cara yang tak bisa dijelaskan oleh lensa kamera atau mikrofon panggung. Melihat karya mahasiswa malam ini membuktikan bahwa kampus IAKN tidak hanya berbicara tentang agama, tapi juga keindahan,” ujar mama Barbara yang mengaku datang untuk shoping, namun Komusikasi membuatnya tak bisa beranjak dari panggung konser hingga pementasan selesai.

 

“Komusikasi: Music Soul’s Language”  telah menjadi penanda penting bahwa seni masih punya ruang dan daya. Ia bukan hanya hiburan,  ia adalah peristiwa, tempat nilai dan bakat bertemu.  Fakultas Seni Keagamaan IAKN Kupang telah membuktikan bahwa pendidikan musik tidak hanya mencetak penghafal notasi, tapi pencipta resonansi: resonansi kultural, emosional, bahkan spiritual.

“Bagi kami, konser ini bukan cuma ujian. Ini adalah cara kami menyampaikan siapa kami, dari mana kami berasal, dan ke mana kami ingin membawa seni musik di Nusa Tenggara Timur,” ungkap Dekan Fakultas Seni Keagamaan IAKN Kupang, Reli Yosi Huka, M.Sn.

Di tengah dunia yang bergerak cepat, konser ini mengajak kita untuk hadir secara utuh, mendengar dengan hati, melihat dengan jiwa, dan merasa bersama. Ketika semua bunyi akhirnya meredup dan lampu panggung kembali tenang, satu pesan tersisah, namun bergema kuat: Kupang tidak pernah kehabisan suara. Dan Fakultas Seni Keagamaan IAKN Kupang adalah salah satu sumber gema yang membuat kota ini terus bernyanyi. Karena ia menyimpan kidung pada puncak menaranya.

 

(JB Kleden – Dosen Prodi Kepemimpinan IAKN – Kupang)
ShareTweetSend
Next Post
Rasa Kemanusiaan Itu Sendiri adalah Sifat Ketuhanan

Kejadian Alam Semesta dalam Konsep Wahdatul Wujud Pujangga Ronggo Warsito

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Dinamika Sosial – Politik Masyarakat Sipil di Indonesia (Telaah Kajian Sosiologi Kekuasaan)

Dinamika Sosial – Politik Masyarakat Sipil di Indonesia (Telaah Kajian Sosiologi Kekuasaan)

2 bulan ago
Peliharalah Harapan dalam Keluarga! (Refleksi pada HUT ke-60 Uskup Agung Ende Mgr Paul Budi Kleden SVD)

Peliharalah Harapan dalam Keluarga! (Refleksi pada HUT ke-60 Uskup Agung Ende Mgr Paul Budi Kleden SVD)

2 hari ago

Popular News

    Newsletter

    Beranda Negeri

    Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
    SUBSCRIBE

    Category

    • BERITA
    • BIOGRAFI
    • BUMI MANUSIA
    • Featured
    • JADWAL
    • JELAJAH
    • KOLOM KHUSUS
    • LENSA
    • OPINI
    • PAPALELE ONLINE
    • PUISI
    • PUSTAKA
    • SASTRA
    • TEROPONG
    • UMUM

    Site Links

    • Masuk
    • Feed entri
    • Feed komentar
    • WordPress.org

    About Us

    Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

    • Redaksi & Kontak
    • Tentang Kami
    • Privacy Policy

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    No Result
    View All Result
    • HOME
    • BERITA
    • JELAJAH
    • BUMI MANUSIA
    • BIOGRAFI
    • OPINI
    • KOLOM
    • SASTRA
    • Lainnya
      • TEROPONG
      • PUSTAKA
      • PAPALELE ONLINE
      • LENSA
      • JADWAL

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In