
I
Langkah yang Tak Bisa Dihentikan
Kami bukan bayang-bayang di balik layar,
Kami adalah suara yang tak bisa dibungkam.
Ketika janji tinggal kata,
Kami hadir sebagai gema yang mengguncang.
Tak perlu senjata, cukup keberanian,
Tak perlu panggung, cukup jalanan.
Kami tak datang untuk bertanya,
Kami datang untuk menyatakan:
Langit boleh gelap,
Tapi tekad kami lebih pekat.
Jika mereka tutup telinga,
Kami akan bicara dengan langkah.
Tak ada aba-aba,
Hanya kesadaran yang menyala.
Dan ketika kaki kami menyatu,
Tak satu pun tembok mampu berdiri tegak.
Kami bukan sekadar marah,
Kami adalah arah.
II
Gong yang Membuka Mata
Kami bukan bayang di balik batu lulik,
Kami adalah gema dari gong yang dibunyikan leluhur.
Tanah ini bukan sekadar ladang dan bukit,
Ia adalah darah kami, tempat kami berdiri tegak.
Tais tak hanya membalut tubuh,
Ia membalut sejarah yang tak boleh dilupakan.
Jika suara kami tak didengar di rumah adat,
Kami akan bicara di jalan, dengan langkah yang berani.
Kami anak-anak Timor,
Tahu bahwa natoni bukan sekadar ucapan,
Ia adalah sumpah,
Bahwa kami tak akan diam saat keadilan dilupakan.
Tak perlu tombak,
Cukup warisan keberanian dari amaf dan inaf.
Tak perlu teriakan,
Cukup nyanyian dari hati yang tak bisa dibungkam.
Kami bukan sekadar marah,
Kami adalah suara dari batu, dari tanah, dari langit Timor.
Dan ketika kami melangkah bersama,
Bahkan angin dari gunung Mutis pun akan bertanya:
“Siapa yang membangunkan roh tanah ini?”
III
Kami Bukan Batu yang Bisa Digeser
Di tanah ini,
Pemimpin bukan raja,
Ia pelayan adat,
Ia penjaga lulik, bukan perusak martabat.
Tapi kini,
Ia duduk di kursi tinggi,
Melihat kami seperti boneka-boneka,
Yang bisa dimainkan tanpa rasa, tanpa tanya.
Oh betapa luruhnya hati kita di sini
Dalam ruang duduk terpaku
Menunggu pengumuman nasib sendiri.
Apakah di sini bisa berlega lega
Menyambut pagi dan melepas senja?
Kami bukan batu yang bisa digeser sesuka hati,
Kami adalah akar dari pohon tua,
Yang tahu kapan angin datang membawa dusta,
Dan kapan gong harus dibunyikan untuk membangunkan jiwa.
Ia lupa bahwa jabatan bukan warisan,
Ia lupa bahwa kekuasaan bukan hak mutlak.
Ia lupa bahwa kami punya suara,
Yang bisa menggema dari rumah bulat sampai ke kantor megah.
Kami anak-anak Timor,
Yang tahu bahwa tais bukan hanya kain,
Ia adalah simbol harga diri,
Dan kami tak akan biarkan ia diinjak oleh kesombongan.
Jika Pemimpin tak tahu malu,
Maka kami akan bicara dengan langkah,
Dengan nyanyian dari tanah,
Dengan tatapan yang tak bisa dibeli.
Kami bukan sekadar marah,
Kami adalah peringatan,
Bahwa kekuasaan tanpa hati,
Akan runtuh seperti rumah tanpa tiang.
Dan ketika kami berdiri,
Bukan untuk membalas,
Tapi untuk mengingatkan:
Bahwa pemimpin yang lupa asalnya,
Akan hilang arah di tengah badai.
Meski menggenggam erat singgasana
Kekuasaannya tak memiliki sauh batiniah!
IV
Epilog
Dari batu lulik sampai puncak Mutis,
Dari tais yang ditenun hingga suara yang ditanam,
Kami bukan bayang-bayang di bawah kuasa,
Kami cahaya dari tanah yang tak bisa dibungkam.
Gong telah dibunyikan,
Langkah telah disatukan,
Suara telah digemakan –
M E R D E K A



Mantap 👍👍👍