• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Selasa, September 16, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

“Bayi-bayi di Pinggir Negeri”: Kesaksian Sunyi Perempuan di Pusat Negeri

by Redaksi
September 10, 2025
in OPINI
0
“Bayi-bayi di Pinggir Negeri”: Kesaksian Sunyi Perempuan di Pusat Negeri

Foto diambil dari pinterest.com

0
SHARES
86
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

Oleh JB Kleden

 

SOSIOLOG dan kritikus sastra, Ignas Kleden, dalam bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan beranggapan bahwa sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakatnya. Tentu ini bukan sekadar anggapan biasa. Sastra telah lama menjadi ruang di mana masyarakat berbicara tentang situasi manusia dan masyarakatnya. Tentang luka-luka yang tersembunyi, harapan yang nyaris padam, dan suara-suara yang tidak terdengar dalam wacana resmi.

Tentang cerpen sabagai bentuk sastra, Ignas punya pandangan yang khas dan mendalam. Dalam Simbolisme Cerita Pendek: Sebuah Polemik Kritik Sastra, Ignas Keleden menekankan bahwa cerpen bukan sekadar narasi singkat, melainkan sebuah bentuk ekspresi sastra yang padat dan simbolik. Dengan perkataan lain, cerpen adalah bentuk sastra yang menyampaikan makna melalui kepadatan simbol dan intensitas pengalaman.

Sebuah cerpen dengan demikian, tidak dinilai dari panjang pendeknya, tetapi dari kemampuannya menyampaikan pengalaman manusia yang kompleks dalam ruang yang terbatas. Cerpen adalah medium yang memungkinkan eksplorasi makna secara mendalam melalui pilihan kata, struktur naratif, dan simbolisme yang kuat. Dengan kata lain cerpen sebagai bentuk sastra yang ringkas dan padat memiliki kekuatan untuk menangkap denyut sosial secara tajam dan intim.

Cerpen Helena Lose Beraf  “Bayi-bayi di Pinggir Negeri” adalah salah satu contoh yang menggugah: ia menyuarakan kesaksian perempuan-perempuan yang melahirkan dalam sunyi, kendati berada di pusat negeri, jauh dari perhatian siapapun. Cerpen “Bayi-bayi di Pinggir Negeri” dengan demikian merupakan representasi sastra yang menggambarkan keterpinggiran perempuan dalam lanskap sosial yang timpang.

 

*

SASTRA, tidak hanya mencerminkan kenyataan sosial, tetapi juga menyimpan jejak-jejak pengalaman yang tidak tercatat dalam sejarah resmi. Dalam “Bayi-bayi di Pinggir Negeri”, Helena mencatat pengalaman yang terekam dalam sunyi itu melalui teknik flash back.

“Anggia,  nama perempuan yang akhirnya aku ketahui. Ia adalah pasien pertamaku hari ini. Ia tengah hamil anak ke lima, dengan riwayat abortus tiga kali. Aku membolakbalikan buku catatan medisnya. Martha, nama asli perempuan yang pernah kutemui itu. Tak ada keterangan tentang suaminya di buku medis, hanya riwayat kehamilan yang lalu, dan daftar obat-obatan yang pernah diminumnya. Anggia, perempuan bermata sembab itu, adalah benar-benar ia yang pernah kutemui di tempat hiburan malam. Aku tak percaya. Kini ia ada, terbaring  pasrah di depanku.  Matanya seperti sedang menjelaskan jiwa yang kerontang. Garis kecantikan masih melekat pada wajahnya walaupun dengan tampilan acak- acakan.”

Melalui narasi seorang bidan, cerpen ini mengangkat kisah tragis seorang perempuan pelacur yang mengalami lima kali kehamilan, tiga kali aborsi, dan akhirnya ditangkap saat melahirkan anak kelima. Cerpen ini bukan hanya potret penderitaan individu. Ia menjadi ruang kesaksian tentang perempuan-perempuan yang tak pernah diundang ke pusat negeri, namun menyambung hidup dalam sunyi, dalam luka. Sekaligus ia memainkan fungsi sebagai kritik terhadap sistem yang gagal melindungi perempuan marginal di pusat negeri

Dalam cerpen ini Helena Lose Beraf menghadirkan suara yang lirih, tidak tajam, tidak berteriak, tetapi mampu mengguncang nurani.

“Seperti biasa pada proses menanti kelahiran, Ibu selalu ditemani oleh suami, ibu, ayah, atau mungkin sanak saudara. Tetapi berbeda dengannya. Ia seorang diri meringis kesakitan. Kadang menatap kosong dengan mata diam, kadang bersungguh- sungguh seperti sedang memintal harap entah apa. Kamar bersalin memang sering menjelma sebagai ruang tunggu yg begitu pekat, cemas dan menegangkan.”

Kutipan ini menggambarkan suasana kelahiran atau penangkapan penulis. Tapi penangkapan itu menjadi intens karena dibingkai dengan pengalaman. Rose Helena menulisnya dari sudut pandang seorang bidan, yang pernah bertemu sang ibu dua tahun sebelumnya dalam kegiatan edukasi kesehatan di lingkungan pelacuran.

Sudut pandang ini menciptakan jarak yang reflektif. Bidan bukan hanya saksi, tetapi juga bagian dari sistem yang mencoba menyentuh, tetapi tak mampu merangkul.

Ignas Kleden,  menegaskan bahwa sastra Indonesia memiliki kekuatan sebagai ruang kritik dan kesaksian sosial. Ia bukan hanya tempat bermain kata, tetapi tempat menyuarakan yang tak terdengar. Dalam masyarakat yang sering kali menyingkirkan suara-suara marginal, sastra menjadi ruang alternatif untuk berbicara.

Cerpen ini mengangkat tema keterasingan sosial, kekerasan terhadap perempuan, dan kegagalan sistem dalam melindungi individu yang rentan. Tokoh utama, seorang perempuan pelacur, menjadi simbol dari mereka yang tidak diundang ke pusat kota dan terpinggirkan secara sosial dan moral. Lima kali hamil, dua kali aborsi, dua kali membunuh bayi, dan akhirnya ditangkap saat melahirkan bayi kelima—ini bukan sekadar kisah tragis, tapi potret sistemik tentang bagaimana masyarakat gagal hadir sebagai pelindung.

 

**

MEMBACA judul cerpen ini bayangan  pertama saya kepada anak-anak miskin, terlantar dan terabaikan di pelosok-pelosok negeri. Mungkin di pedalaman Lembata tanah yang daripadanya sang penulis telah pergi jauh. Tapi setelah membaca, cerpen ini sama sekali tak berbicara tentang bayi secara nyata.

Judul cerpen ini, “Bayi-bayi di Pinggir Negeri”, dengan demikian menyimpan ironi yang dalam. Bayi-bayi itu tidak menjadi tokoh, tetapi jejak. Mereka adalah metafora dari kehidupan yang gagal dimulai. Mereka adalah warga negara yang tak pernah benar-benar diakui.

Dalam tradisi kritik sosial, ini adalah bentuk “metafora eksistensial”—bahwa yang lahir pun belum tentu hidup, dan yang hidup pun belum tentu diakui. Mereka adalah simbol dari kehidupan yang gagal dimulai. Judul ini bisa dibaca sebagai ironi: negeri ini tidak pernah benar-benar menerima mereka.

Cerpen ini menggunakan gaya naratif yang realis dan dokumenter. Tidak ada metafora berlebihan atau romantisasi penderitaan. Justru, gaya ini memperkuat kesan bahwa cerita ini bisa terjadi di sekitar kita—di pinggir negeri, di sudut kota, di ruang bersalin yang sunyi. Juga di pusat ngeri.

Narasi dari sudut pandang bidan menciptakan jarak emosional sekaligus membuka ruang refleksi sosial. Bidan bukan hanya saksi, tapi juga simbol dari sistem medis yang sering kali terjebak dalam prosedur dan moral, tanpa mampu menyentuh akar persoalan.

“Dengan nafas terengah, ia bertahan sampai tiba di rumah sakit. Namun sial, bayi dalam kandungannya tidak tertolong. Bayi dengan berat badan sangat kurang itu dipastikan sudah meninggal sejak  anjan dua jam sebelum ibunya tiba di rumah sakit. Tubuhnya menghitam seperti terbakar. Kelaminnya belum terbentuk sempurna. Tangan dan kakinya sangat kecil seperti kaki dan tangan kucing. Aku menghela nafas  anjang, tak percaya atas apa yang kulihat. Mungkinkah ibu membunuh anaknya sendiri, bahkan sebelum  dilahirkan?”

Cerpen ini beresonansi kuat dengan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi. Firdaus, tokoh utama dalam novel tersebut, adalah perempuan pelacur yang mengalami kekerasan sejak kecil, hingga akhirnya membunuh seorang lelaki dan dijatuhi hukuman mati.

Dalam satu kutipan yang mengguncang, Firdaus berkata: “Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja; untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka.”

Firdaus melawan dengan kemarahan. Tokoh Perempuan dalam cerpen Helena tidak melawan, ia menyerah dalam sunyi. Namun keduanya adalah potret dari perempuan yang hidup di luar sistem, dan akhirnya dihukum oleh sistem yang tak pernah benar-benar melindungi.

“Tubuh yang malang,  tak dapat berteriak dan melawan ketika ditindih kekuasaan dan kenikmatan, tubuh yang juga hanyut dalam kesenangan; berpesta dan tenggelam dalam uang. Tubuh yang tak dikontrol jiwa yang merdeka, lepas bebas dari tipu daya dan nafsu sesat. Jiwa yang seharusnya penuh kasih merawat tubuh dengan segala yang diberikan sang pencipta sejak saat anak manusia dilahirkan ke bumi.”

 

***

SASTRA bukan hanya soal estetika, tetapi juga soal etika. Ia mengundang pembaca untuk tidak hanya memahami, tetapi juga mengambil sikap. Helena menuangkan pandangannya untuk dinilai pembaca dan mungkin dengan itu diharapkan bisa mengambil sikap.

Cerpen ini sangat cocok dibaca melalui lensa feminis. Elaine Showlater, seorang pelopor dalam bidang kritik sastra feminis, menyatakan bahwa sastra sering sekali mereproduksi stuktur patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai obyek pendertitaan. Perempuan dalam cerpen ini tidak hanya mengalami eksploitasi seksual, tetapi juga penghakiman, dan kekerasan sistemik. Kritik feminis akan mempertanyakan, di mana peran negara dalam melindungi perempuan marginal? Apakah edukasi semata cukup tanpa perubahan struktural?

Seperti dalam kajian kritik sosial cerpen ini juga bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap ketimpangan sosial. Terry Eagleton seorang kritikus sastra, filsuf, dan intelektual publik asal Inggris yang sangat berpengaruh dalam dunia teori sastra dan budaya menekankan bahwa sastra bukan sekadar karya estetis, melainkan produk ideologi yang mencerminkan dan membentuk struktur sosial. Sastra dapat digunakan untuk mengungkap ketimpangan social.

Cerpen ini menunjukkan bagaimana negara dan institusi medis hadir secara prosedural, tetapi gagal secara empatik dan struktural. Tokoh ibu bukan hanya korban, tapi juga simbol dari masyarakat yang tak pernah benar-benar peduli.

Dari sisi psikologis, cerpen ini menyentuh trauma, rasa bersalah, dan kehampaan. Tindakan sang ibu bukan semata kejahatan, tapi bisa dibaca sebagai bentuk putus asa ekstrem dari seseorang yang kehilangan makna hidup.

“Hampir sepekan Anggia dirawat, sebelum akhirnya polisi meringkusnya dengan dugaan pembunuhan atas bayinya sendiri beberapa tahun lalu. Polisi sudah memburunya sejak lama, atas laporan warga mengenai penemuan mayat bayi tanpa identitas di sebuah perumahan kota ini.  Anggia berjalan didampingi beberapa Polisi menyusuri lorong-lorong rumah sakit, dengan wajah kusut dan penuh penyesalan. Ia tertunduk saat beberapa pasang mata memandangnya dengan sesekali mengeluarkan umpatan.  Kali ini ia tak bisa lari lagi.”

Kutipan ini menunjukkan bahwa ketidakadilan terhadap perempuan bukan hanya terjadi di jalanan, tetapi dimulai dari rumah. Cerpen Helena menunjukkan bahwa bahkan ketika perempuan melahirkan, ia tidak otomatis menjadi ibu yang dilindungi. Ia tetap menjadi tubuh yang dicurigai, jiwa yang diadili.

Namun cerpen ini tidak berhenti pada luka. Ia membuka ruang bagi harapan. Dalam narasi bidan, kita melihat bahwa edukasi semata tidak cukup. Dibutuhkan empati struktural—pendekatan yang tidak hanya mengajarkan, tetapi juga mendampingi. Mengapa tubuh begitu murah? Benarkah nilai tubuh begitu rendah, hingga tak pantas dihargai, dijaga dan dirawat?

 

****

DALAM konteks kemerdekaan Indonesia, cerpen ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga soal bebas dari keterpinggiran, kekerasan, dan penghakiman sosial. Bayi-bayi yang tak sempat hidup dan perempuan-perempuan yang tak sempat bermimpi adalah cermin dari negeri yang belum sepenuhnya merdeka.

Kemerdekaan sejati adalah ketika perempuan seperti tokoh dalam cerpen ini tidak lagi melahirkan dalam ketakutan, tidak lagi melakukan aborsi karena kemiskinan, dan tidak lagi hidup di pinggir negeri. Ia menjadi bentuk perlawanan yang paling halus, tetapi juga paling dalam.

Cerpen Bayi-bayi di Pinggir Negeri ini bukan hanya kisah tentang perempuan dan bayi-bayi yang tak sempat hidup. Ia adalah kesaksian sunyi yang mengguncang, sebuah dokumen sosial yang merekam realitas yang sering kali luput dari perhatian negara dan masyarakat. Saya melihat cerpen ini tidak berdiri sendiri sebagai karya sastra, tetapi berfungsi sebagai sistem tanda yang hidup dalam masyarakat. Ia mengundang pembaca untuk menjadi saksi, untuk terlibat secara emosional dan etis dalam realitas yang dihadirkan.

“Sastra Indonesia tidak hanya menjadi tempat bermain kata, tetapi juga tempat di mana masyarakat bisa berbicara tentang dirinya dengan jujur dan berani.” (Ignas Kleden).

———————–

 

*) JB Kleden, Dosen Fakultas Sosial Keagamaan IAKN Kupang, Penikmat Sastra. Artikel ini ditulis menggunakan pendekatan Ignas Kleden dalam bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-Esai Sastra dan Budaya, Jakarta: Freedom Institute dan Pustaka Utama Grafiti, 2004

.

ShareTweetSend

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Ngalor-Ngidul Tipis-tipis: Bermula dari “Priangan Si Jelita”

Ngalor-Ngidul Tipis-tipis: Bermula dari “Priangan Si Jelita”

8 bulan ago
Pemikiran-pemikiran Klasik, Masikah Relevan ?

Pemikiran-pemikiran Klasik, Masikah Relevan ?

6 tahun ago

Popular News

  • Membedah “Hidup Itu Anugerah” – Merawat Puisi

    Membedah “Hidup Itu Anugerah” – Merawat Puisi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Beranda Negeri

Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
SUBSCRIBE

Category

  • BERITA
  • BIOGRAFI
  • BUMI MANUSIA
  • Featured
  • JADWAL
  • JELAJAH
  • KOLOM KHUSUS
  • LENSA
  • OPINI
  • PAPALELE ONLINE
  • PUISI
  • PUSTAKA
  • SASTRA
  • TEROPONG
  • UMUM

Site Links

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

About Us

Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

  • Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In