• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Kamis, November 13, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

Penggunaan Sistem DPA (“Deferred Prosecution Agreement”) dalam Penyelesaian Kasus Kerugian Negara terhadap Perseorangan dan  Korporasi Besar

by Redaksi
Oktober 16, 2025
in OPINI
0
Penggunaan Sistem DPA (“Deferred Prosecution Agreement”) dalam Penyelesaian Kasus Kerugian Negara terhadap Perseorangan dan  Korporasi Besar
0
SHARES
22
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

Oleh  Agus Widjajanto

 

 

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia masih didominasi oleh  pendekatan retributif yang menitikberatkan pada pemidanaan terhadap pelaku, tanpa mempertimbangkan pemulihan korban dan keseimbangan sosial di masyarakat.  Pendekatan ini menyebabkan berbagai permasalahan termasuk Overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan (LP), serta tingginya angka residivisme di Indonesia. Disisi lain ada pendekatan yang lebih elegan dalam penyelesaian secara kekeluargaan lewat Restorative Justice yang menawarkan penyelesaian lebih humanis dengan menitikberatkan pada rekonsiliasi, antara pelaku dan korban; sesuatu yang sejatinya memiliki akar yang kokoh melalui sistem hukum adat di berbagai wilayah Nusantara dengan mengedepankan pemulihan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai lewat pengenaan sanksi adat.

Demikian juga dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan baik perseorangan maupun korporasi (perusahaan berbadan hukum di Indonesia) dalam penyelesaian pengembalian kerugian negara, di Indonesia juga masih menggunakan pendekatan yang sama berbasis pendekatan retributif yang bersifat menghukum di satu sisi dan harus mengembalikan kerugian negara di sisi lain sebagai politik hukum pidana yang bertujuan memberi efek jera dalam perspektif filosofi pemidanaan klasik. Hal ini kerap menimbulkan permasalahan baru dimana tujuan dari pengembalian kerugian negara justru tidak tercapai, sehingga yang terjadi justru pembalasan dendam (ius talionis) berupa hukuman yang diperberat yang berakibat negara juga harus menanggung hidup terpidana selama ia menjalani proses hukum sampai tuntas di Lembaga Pemasyaratan.

Belajar dari pengalaman kasus BLBI (Batuan Likuiditas Bank Indonesia) yang telah diputus dan diproses oleh pengadilan dalam beberapa kasus baik perseorangan maupun korporasi badan hukum, alangkah baiknya untuk dipikirkan pengembalian kerugian negara melalui pendekatan kekeluargaan (family model) bukan retributif dalam hukum pidana klasik yang masih banyak diterapkan di Indonesia.

Negara maju baik Amerika Serikat, Inggris, Perancis, bahkan Singapur telah menerapkan Perjanjian Penundaan Penuntutan (Deferred Prosecution Agreement/DPA), yang belum secara eksplisit diatur dalam hukum Indonesia. Konsep serupa telah diterapkan dalam beberapa kasus. Berikut beberapa contoh:

 

– Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI): Dalam kasus ini, pemerintah menerapkan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) atau Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) serta Akta Pengakuan Utang (APU). Meskipun bukan DPA secara langsung, konsep ini mirip dengan penundaan penuntutan.

– Pengaturan DPA di Luar Negeri: DPA telah diterapkan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris, dengan perbedaan signifikan dalam tindak pidana dan keterlibatan pengadilan.

– Usulan Pengaturan DPA di Indonesia: Beberapa ahli berpendapat bahwa DPA dapat diatur di Indonesia jika sesuai dengan sistematika peraturan perundang-undangan di Indonesia. DPA harus diatur di level undang-undang dan perlu dilengkapi dengan pedoman untuk memastikan konsistensi penggunaannya.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah berupaya untuk mengembangkan konsep DPA sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana korporasi. Namun perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk memastikan implementasi DPA yang efektif dan sesuai dengan hukum Indonesia.

Perjanjian Penundaan Penuntutan (Deferred Prosecution Agreement/DPA) adalah mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan melalui penghentian penuntutan yang didasarkan pada negosiasi antara jaksa dan korporasi. DPA berfokus pada pemulihan dan mempertahankan eksistensi korporasi.

 

Kelebihan DPA:

 

– Menghindari Dampak Negatif Pemidanaan: DPA dapat menghindari dampak negatif pemidanaan bagi korporasi, seperti kebangkrutan atau kehilangan reputasi.

– Pemulihan Kerugian: DPA memungkinkan korporasi untuk memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana.

– Meningkatkan Kepatuhan: DPA dapat meningkatkan kepatuhan korporasi terhadap peraturan perundang-undangan.

 

Penerapan DPA di Indonesia:

 

– Perlu Payung Hukum: Penerapan DPA di Indonesia memerlukan payung hukum yang jelas melalui revisi KUHAP.

– Pengawasan Hakim: Penerapan DPA akan diawasi oleh hakim untuk memastikan keadilan dan transparansi.

– Pengalaman Negara Lain: DPA telah diterapkan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris, dengan hasil yang positif.

 

Tujuan DPA:

 

– Menyelesaikan Tindak Pidana Korporasi: DPA bertujuan untuk menyelesaikan tindak pidana korporasi dengan efektif dan efisien.

– Mencegah Tindak Pidana: DPA juga bertujuan untuk mencegah tindak pidana korporasi dengan meningkatkan kepatuhan dan kesadaran hukum

Untuk itu harus dilakukan revisi dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memasukkan sistem penyelesaian DPA tersebut, melalui aturan hukum sebagai payung hukum dalam penyelesaian diluar perkara.

Namun kadang kala intitusi penegak hukum di Indonesia melupakan bahwa Hukum Pidana bersifat Ultimum Remedium (bersifat terakhir setelah berbagai pendekatan dilakukan yang merupakan jalan terahir dalam penegakan hukum), yang ada adalah melalui pendekatan retributif tadi. Padahal jikalau ada keberanian penyelesaian secara mekanisme melalui Restorative Justice bagi kasus perseorangan dan DPA (Deferred Prosecution Agreement) bisa menghemat waktu dan biaya negara, dan mengurangi beban pada lembaga pemasyarakatan agar tidak over kapasitas narapidana.

Berbicara soal negara hukum seperti yang termaktub dalam konstitusi kita dalam UUD Negara RI Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, dalam kenyataannya banyak aturan hukum yang dibuat oleh pembuat undang-undang, justru terkesan tidak konsisten dan saling bertabrakan, contoh paling aktual terbaru adalah soal Undang-Undang BUMN dimana beberapa bulan yang lalu telah disahkan sesusi Undang-Undang nomor 2 Tahun 2025, yang mengatur bahwa direksi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) bukan penyelenggara negara dan tidak dikualifikasikan sebagai kerugian negara apabila terjadi kerugian dalam usaha, yang harus tunduk pada Undang-Undang Perseroan terbatas, karena dibentuk berdasarkan akte notaris dalam akte usaha perusahaan.

Namun beberapa waktu yang lalu dilakukan revisi ulang soal Undang-Undang BUMN yang telah disahkan DPR menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025, yang mengatur bahwa Direksi BUMN adalah pejabat/penyelenggara negara, namun apabila terjadi kerugian badan usaha bukan merupakan kerugian negara, disini terjadi kontraproduktif dimana disatu sisi sebagai pejabat negara/penyelenggara negara yang harus tunduk pada aturan pejabat negara di sisi lain jika terjadi kerugian negara bukan merupakan kerugian negara. Ini akan menimbulkan dilema dari Aparat Penegak Hukum dalam memproses dalam kasus kerugian perusahaan.

Apabila maksudnya adalah untuk lebih mempertegas bahwa suatu kebijakan dari pejabat negara dan atau penyelenggara negara tidak bisa dipidana, maka lebih tepat justru harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Tipikor termasuk pasal-pasal yang selalu menimbukan masalah di tataran APH utamanya pada tingkat penuntutan dan proses hukum selanjutnya, salah satunya adalah pasal 4 Undang-Undang Tipikor.

Apabila negara – dalam hal ini pemerintah – akan menegakkan hukum sebagai panglima dalam negara hukum, maka mental para penegak hukum harus dibenahi mulai dari bawah dan revisi peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan masalah baru, termasuk mempertimbangkan diterapkannya DPA (Deferred Prosecution Agreement) dalam melakukan proses hukum bagi korporasi di Indonesia dalam kasus-kasus yang menyangkut kerugian negara.

 

*********************

Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta, Pemerhati Sosial Budaya, Hukum, Politik dan Sejarah Bangsanya

ShareTweetSend
Next Post
Refleksi Peringatan Sumpah Pemuda, untuk Mencapai Kedaulatan Bangsa menuju Indonesia Merdeka Seutuhnya

Refleksi Peringatan Sumpah Pemuda, untuk Mencapai Kedaulatan Bangsa menuju Indonesia Merdeka Seutuhnya

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Martha Nussbaum: Merawat Imajinasi dan Pendidikan Karakter

5 tahun ago
Peringatan 10 Tahun Wafatnya Ernesto Laclau: Berpikir Secara Politis Bersamanya

Peringatan 10 Tahun Wafatnya Ernesto Laclau: Berpikir Secara Politis Bersamanya

8 bulan ago

Popular News

    Newsletter

    Beranda Negeri

    Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
    SUBSCRIBE

    Category

    • BERITA
    • BIOGRAFI
    • BUMI MANUSIA
    • Featured
    • JADWAL
    • JELAJAH
    • KOLOM KHUSUS
    • LENSA
    • OPINI
    • PAPALELE ONLINE
    • PUISI
    • PUSTAKA
    • SASTRA
    • TEROPONG
    • UMUM

    Site Links

    • Masuk
    • Feed entri
    • Feed komentar
    • WordPress.org

    About Us

    Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

    • Redaksi & Kontak
    • Tentang Kami
    • Privacy Policy

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    No Result
    View All Result
    • HOME
    • BERITA
    • JELAJAH
    • BUMI MANUSIA
    • BIOGRAFI
    • OPINI
    • KOLOM
    • SASTRA
    • Lainnya
      • TEROPONG
      • PUSTAKA
      • PAPALELE ONLINE
      • LENSA
      • JADWAL

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In