
Oleh Rofinus Pati
Hujan air mata mengguyur dari langit dusun Likotuden meskipun sepanjang hari itu cuaca panas membara. Gunung Lewotobi yang sesekali masih meletup dan kawasan gunung Watotika, pantai Geraki One, Pasir Panjang Blawi, Tanjung Semadi dan lain-lain di Kabupaten Flores Timur, terasa lesuh dan mengheningkan cipta, ditimpa dukacita mendalam atas kematian seorang ibu generasi. Tergores peristiwa itu pada Minggu, 28 September 2025 yang lalu.
Mama Fransiska Iwa Tukan, seorang warga dusun Likotuden, pergi dari sejarah dan sesama untuk selamanya. Dia pergi dari orang-orang yang sangat mencintai dan dicintainya. Sang maut menjemput dan membawanya pergi ke tempat di mana tidak seorangpun dapat memanggilnya kembali secara fisik.
Mama Iwa, demikian biasa disapa, telah menghabiskan 85 tahun di bumi dengan jasa tidak sedikit. Banyak orang mengenangnya. Istri dari Bapak Yosep Kopong Hera ini adalah dukun bersalin bertangan dingin di era bidan desa belum ada dalam program pemerintah. Zaman itu memang tidak enak, sebab Puskesmas berjarak sekitar 40 kilometer dengan akses jalan dan transportasi amat minim.
Ibu-ibu yang melahirkan dibantu dengan penuh cinta kasih. Ketika kelahiran tampak sulit, mama Iwa selalu berhenti sejenak dan melabuhkan harapan dalam doa agar Tuhan bertindak dan kelahiran yang dibantunya pun akhirnya berhasil.
Di akhir hidupnya yang tenang, mama Iwa masih bertahan sampai menerima pengurapan dari tangan imam sebagai kekuatan dan bekal perjalanannya ke dunia seberang. Perantauannya di bumi telah usai dan dia kembali ke alam baka melewati pintu kematian, sebab baginya, kematian merupakan satu tanda keadilan Allah bagi semua orang, apapun latar belakangnya.
Pemikiran Martin Heidegger tentang Kematian
Martin Heidegger (1889-1976), seorang pemikir kelahiran Jerman sudah memikirkan dan membagikan permenungannya tentang kematian. Sedikit percikan pemikirannya akan dipaparkan di bawah ini dan kita dapat mengadaptasikannya dengan situasi kita sebagai orang Lamaholot.
Di dalam bukunya: Sein und Zeit (1927, paragraf 46, halaman 236), Heidegger menyebut hidup sebagai sorge yakni sebuah gerakan atau dinamika, sebuah penyingkapan terus-menerus. Kehadiran atau adanya manusia di bumi ini, tidak hanya sekedar “ada” atau Dasein, melainkan lebih dipahami sebagai “menjadi” atau werden. Jadi, keberadaan manusia adalah sebuah proses dan terus berproses. Menurut Heidegger, kehadiran manusia adalah sebuah “ada” yang sedang “menjadi”, sedang berproses menuju kematian (Sein zum Tode).
Kematian itu tidak hanya melekat dan akan terjadi pada semua orang, tetapi sifatnya sangat pribadi, mengental dalam diri, menyatu dengan pribadi setiap orang. Bahkan, ketika terjadi bunuh diri massal, misalnya. Banyak orang meninggal beramai-ramai, namun beramai-ramai itu hanyalah momennya, tapi peristiwa kematian dihadapi, diterima dan dialami sendiri-sendiri.
Lahir Berarti Mulai Mati dan Mati Berarti Habislah Hidup?
Ketika Heidegger menegaskan bahwa hidup atau “ada”-nya manusia adalah sebuah proses yang terus berproses, maka kapankah proses itu selesai? Proses itu baru selesai, baru mencapai kepenuhannya di saat kematian (Tod).
Heidegger mengatakan: “Begitu manusia lahir, ia sudah terlalu tua untuk mati”. Artinya, segera setelah seorang bayi dilahirkan, dia sudah langsung menyandang status “calon mayat”. Status yang tidak disebabkan oleh apa dan siapapun, selain kelahirannya. Tak seorang pun memilih untuk dilahirkan, namun setelah dilahirkan, dia langsung menyadari dirinya bahwa hidupnya hanyalah menunda kekalahan pada kematian.
Selanjutnya, Heidegger menulis, “Dimengerti secara eksistensial, kelahiran tidak dan tak pernah merupakan hal yang telah lewat, dalam arti tidak ada lagi, begitu juga kematian bukanlah hal yang belum ada…”.
Dalam kalimat lain, dapat dikatakan bahwa akhir itu sudah ada sejak awal atau permulaan. Kematian sudah menjemput dan menyertai manusia sejak seorang manusia dilahirkan, sehingga kelahiran, bagi Heidegger adalah keterlemparan ke dalam dunia dari rahim ibu, sekaligus ke dalam ‘dunia’ kecemasan bahwa dia sebenarnya adalah sosok mayat yang belum tiba saatnya.
Artinya, kematian menyambut manusia sejak dilahirkan, sekaligus menyertai manusia setiap saat dalam keseharian dan rutinitas hidup. Sebaliknya, hidup juga tidak selesai setelah seseorang dilahirkan, melainkan terus hidup dan mengalami “kehidupan baru” menuju kematian.
Ada satu pemikiran sederhana yang dapat melampaui Martin Heidegger. Pendapat Heidegger bahwa kehidupan bukanlah sesuatu yang sudah lewat atau tidak akan ada lagi. Ini berarti bahwa kehidupan ini tidak hanya mengalami proses sampai pada kematian di bumi ini dan dikuburkan, hilang secara fisik dari sesama, melainkan lebih dari itu. Kehidupan saat ini akan berproses menuju kehidupan baru setelah kematian. Sama seperti rerumputan kering yang mati dan segera menghilang di musim kemarau, namun bertumbuh, hijau kembali bila musim hujan tiba.
Budaya Lamaholot dan Budaya Manapun
Dalam budaya Lamaholot di kawasan Flores Timur dan sekitarnya, para orangtua juga mempunyai ungkapan khusus bahwa kematian itu selalu menyatu dengan diri kita. Orang Kedang, Kabupaten Lembata menyebutnya: Uben kapung oroq laleng, loyo dongoq obi loloq (kematian itu malam dipeluk di dada dan siang dipikul di pundak). Ungkapan dengan isi serupa dalam bahasa Lamaholot juga tentu ada dan dalam budaya lain, di daerah-daerah lain manapun.
Ini juga sejalan dengan pemikiran Jurgen Moltmann, seorang pemikir Jerman lainnya (kelahiran 1926 dan baru merayakan ulang tahun ke-96 kelahirannya, pada 8 April 2022 yang lalu). Moltmann mengatakan bahwa kematian, bukanlah kenyataan yang hanya menimpa manusia di akhir hidupnya, melainkan selalu ada dalam keseharian hidup manusia. Suasana “kematian” seringkali dialami oleh manusia, baik secara pribadi maupun bersama dengan orang lain.
Betapa tidak! Seorang pemuda yang putus cinta, merasakan dunia seperti jadi gelap-gulita dan berpikir hidupnya seakan hanya tinggal sejengkal saja lagi. Pemuda ini sedang mengalami situasi ‘kematian’. Seorang istri yang mengetahui suaminya selingkuh, memendam rasa kecewa dan sakit hati yang mendalam, bahkan mendorongnya segera berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya.
Selain itu, orang-orang yang berselisih paham, yang tidak saling tegur-sapa dalam hidup bersama setiap hari, mereka berada juga dalam situasi ‘kematian’. Dan masih terdapat banyak contoh sederhana lainnya.
Situasi-situasi ‘kematian’ seperti yang dimaksudkan Moltmann di atas, sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Heidegger bahwa kematian bukanlah hal yang belum ada. Artinya, kematian sudah ada sejak awal seorang anak manusia dilahirkan, sepanjang hidup pun kematian selalu menyertai manusia. Di akhir kehidupan, kematian menyambut setiap orang dengan caranya sendiri.
Di sisi lain, pemikiran Heidegger (yang cukup selaras dengan Moltmann) bahwa kelahiran tidak pernah merupakan hal yang sudah lewat atau sudah tidak ada lagi. Ini berarti bahwa suasana ‘kelahiran’, ‘kehidupan’ atau pembaharuan selalu dialami manusia selama hayat masih dikandung badan.
Sebagai misal. Sepasang suami istri yang rujuk kembali setelah terancam perceraian, merasakan suasana ‘kelahiran’ baru dalam rumah tangga mereka. Orang-orang yang saling dendam bisa saling memaafkan dan berangkulan mesra satu sama lain, sungguh mengalami suatu ‘kelahiran’ baru dalam kehidupan.
Seorang umat Katolik yang kembali dari ruang pengakuan dosa, merasakan hidupnya menjadi baru, ‘lahir’ kembali dan boleh meneruskan hidupnya dengan penuh sukacita. Dan masih banyak pengalaman lain dalam konteks ini yang dapat direnungkan dan ditemukan sendiri.
Kematian adalah Akhir Hidup dan Selesai?
Heidegger berpendapat bahwa manusia pada dasarnya dibayangi oleh ketakutan akan kematian (Angst vor dem Tode) dimana kematian sudah menjemput dan menghantui manusia sejak dilahirkan sampai merebut jiwa di kala manusia lalai atau tidak berdaya lagi. Kematian selalu terbentang sepanjang jalan hidup manusia. Ketika berdiri di hadapan peti jenazah, seseorang segera merunduk dan merenungkan bahwa giliran kematiannya, hanyalah menunggu waktu saja.
Lalu, apakah seorang yang sudah tidak memiliki nafas lagi masih perlu dihargai? Kita tahu bahwa manusia adalah orang yang memiliki badan dan jiwa. Jika demikian, ketika tidak memiliki jiwa lagi, apakah jenazah masih disebut manusia?
Heidegger berpendapat bahwa jenazah “lebih” dari sekedar mayat, dia bermartabat. Jenazah, menurut Heidegger, lebih dari sekedar Vorhandenes (mayat yang tidak dipakai) atau Zuhandenes (sekedar seonggok daging untuk diotopsi), melainkan berharga, bernilai, bermartabat.
Oleh karena itu, di Indonesia, khususnya di tempat-tempat kita, juga di banyak daerah lain, jenazah sangat dihargai. Diisi dalam peti yang layak, dipakaikan pakaian bagus, didoakan atau diberkati oleh imam, disembayangkan, dikuburkan melalui upacara yang tertib dan teratur.
Faktor apakah yang menyebabkan jenazah masih dianggap bermartabat, dianggap lebih dari sekedar mayat atau seonggok daging tanpa nyawa lagi dan menghilang secara fisik untuk selamanya? Heidegger menjawab bahwa faktornya adalah memori atau kenangan bersama dalam komunitas, dalam kebersamaan (Mitwelt) antara orang-orang hidup dengan dia yang meninggal itu masih membekas di hati, sekaligus lestari dalam rentangan waktu.
Sayonara Mama Iwa
Memang, hidup itu singkat, tapi kenangan itu abadi (vita brevis, memoria longa). Hidup mama Iwa di atas planet ini adalah bonus dan dia sudah hidup secara sungguh-sungguh, hidup sebaik-baiknya. Hidupnya berkualitas, bermakna sampai akhir kepergiannya dalam ketenangan dan kedamaian.
Mama Iwa tidak harus seperti Heidegger yang dibalut kecemasan akan situasi dimana semua manusia dilahirkan, terlempar ke dalam dunia dari rahim ibu dan segera menyadari dirinya sebagai calon mayat dan tidak sanggup untuk berlari atau menghindar. Bagi Heidegger, takdir kematian mungkin tidak seindah mimpi-mimpinya, sehingga kecemasan selalu membayangi hidupnya.
Tapi, mama Iwa pasti yakin selama hidup, saat masih kuat ke gereja dan mendengar kotbah dari mimbar, bahwa Tuhan kita sudah lebih dahulu wafat dan bangkit. Dia sudah hidup sebagai yang sulung. Kita akan mengikuti jejak-Nya, ya, meninggal dan dibangkitkan oleh Dia yang telah lebih dahulu mengalaminya untuk kita.
Kami percaya, mama Iwa kini hidup di alam seberang, entah bagaimana modelnya, selain hidup di dalam hati kami semua. Kami semua yang sedang menunggu giliran, pun akan melewati pintu kematian dan menemukan diri kami dalam tangan Tuhan, yang akan segera merangkul kami untuk hidup lagi.
Mama Iwa…engkau sungguh telah tiada. Terlalu cepat rasanya. Kami masih ingin tinggal bersamamu lebih lama lagi. Tapi, kematian bukanlah akhir hidup, meskipun kelahiran sudah selalu disertai takdir kematian secara fisik.
Mama Iwa…kita masih bertemu dan bertukar cerita lewat bahasa alam, selain bernostalgia dalam angan tentang musim bahagia di saat kita makan daging rusa di malam bulan purnama. Juga di masa sulit di mana kita harus berjalan kaki untuk barter ikan dengan singkong dari penduduk di dataran tinggi.
Kami masih merasakan kehadiranmu lewat debur ombak di pantai Likotuden, lewat angin sepoi yang melambai dedaunan, lewat suara jangkrik di tengah malam sunyi atau lewat rintik-rintik hujan di atas atap. Sayonara mama Iwa, sampai jumpa lagi.
****************





