• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Kamis, November 13, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home SASTRA

Teratai di Kubangan Mimpi

by Redaksi
Oktober 24, 2025
in SASTRA
0
Teratai di Kubangan Mimpi
0
SHARES
968
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan

 

 

Desau angin pagi seringkali membawa serta aroma tak sedap yang menyengat dari gundukan sampah besar di sudut pekarangan, sekitar dua km dari sekolah. Di tengah hiruk pikuk kehidupan yang keras dan penuh keterbatasan itu, hiduplah seorang gadis bernama Dyah Pertiwi Sukma.

Ia ibarat perumpamaan klasik bunga teratai. Walau akarnya terbenam jauh di dalam lumpur keruh, lumpur kehidupan yang seolah tak memilih-milih tempatnya tumbuh, Dyah memiliki tekad membaja untuk menghasilkan kelopak yang paling indah, bersih, dan bermanfaat. Lingkungan yang keras tak sedikitpun melunturkan mimpinya yang tinggi.

Setiap pagi, jauh sebelum sinar matahari benar-benar naik dan menghangatkan bumi, Dyah sudah harus terseok-seok berjalan kaki dari lorong sempit tempat tinggalnya menuju sekolah yang amat sederhana. Jalanan yang ia lalui seringkali berlumpur dan becek, membuat rok seragamnya yang sudah memudar warnanya itu seringkali ternoda sisa tanah atau percikan lumpur.

Ayahnya adalah seorang pemulung, seorang pahlawan sunyi yang setiap hari harus berjuang keras di antara tumpukan sampah untuk sekadar mendapatkan sesuap nasi dan memastikan Dyah bisa bersekolah.

“Dyah, jangan pernah merasa minder atau malu dengan keadaan kita. Kita memang hidup dari lumpur yang kotor, tapi ingatlah selalu pada belut,” ujar Bapak suatu malam, sambil membersihkan tangannya yang kasar dari  debu dan kotoran hari itu. Bapak selalu mencoba menanamkan filosofi kehidupan yang mendalam pada Dyah melalui hal-hal sederhana di sekitar mereka.

Bapak melanjutkan perkataannya, “Belut memang hidup di lumpur, di tempat yang dianggap kotor dan menjijikkan oleh banyak orang. Tetapi, lihatlah hasilnya. Belut menghasilkan daging yang berisi, yang sangat bergizi, bahkan orang-orang di kota besar menyebutnya memiliki kandungan protein tinggi. Belut itu justru lebih berharga dan dicari daripada sebagian ikan-ikan yang berenang bebas di air yang jernih sekalipun.”

Kata-kata bijak dari Bapak itu, yang selalu diulang-ulang, seolah menjadi mantra yang tertanam kuat di benak dan jiwa Dyah. Ia mengidentifikasi dirinya sebagai belut itu. Ia mungkin tumbuh dan besar di lingkungan yang keras, kotor, dan penuh tantangan, tetapi di dalam dirinya, Dyah Pertiwi Sukma memendam ‘protein tinggi’ berupa cita-cita, semangat yang tak pernah padam, dan kecerdasan yang tak ternilai harganya.

Di sekolah, Dyah bukanlah seorang primadona yang dikelilingi banyak teman populer. Ia seringkali harus menjadi sasaran bisikan pelan, bahkan kadang-kadang berupa ejekan halus dari beberapa temannya yang kurang peka. Namun, Dyah memilih untuk tidak pernah menyambutnya dengan kemarahan atau kesedihan yang berlarut-larut. Ia mengalihkan seluruh energi dan fokusnya ke buku-buku tebal yang berbau apak dan lembaran-lembaran tugas.

Setiap aksara yang ia baca, setiap rumus matematika yang berhasil dipecahkan, terasa seperti air jernih yang membasuh lumpur dan debu yang menempel di kaki dan jiwanya.

Jauh di dalam hatinya, cita-cita Dyah Pertiwi Sukma terpatri setinggi langit, bukan sekadar impian biasa. Ia bercita-cita untuk menjadi seorang insinyur pertanian yang ahli, yang memiliki kemampuan untuk mengubah tanah-tanah gersang dan lahan-lahan yang penuh polusi menjadi kebun-kebun yang subur dan hijau. Sebuah cita-cita besar yang terasa nyaris mustahil untuk dicapai oleh seorang anak perempuan dari keluarga pemulung.

Jalan hidup Dyah penuh dengan liku dan perjuangan yang berat. Kadang, ia harus mengorbankan waktu bermain atau belajarnya untuk ikut membantu Bapak mencari barang rongsokan sepulang sekolah. Seringkali tugas sekolahnya terpaksa dikerjakan di malam hari, di bawah penerangan lampu rembulan atau lampu minyak yang redup, ditemani oleh bau menyengat yang keluar dari gerobak ayahnya.

Bahkan pernah, seragamnya robek lebar karena tersangkut paku berkarat saat ia membantu Bapak. Namun, setiap kesusahan yang datang, ia anggap sebagai pupuk yang justru menguatkan akar dan tekadnya.

Waktu terus berjalan tanpa terasa. Dengan kegigihan dan ketekunan yang luar biasa, Dyah Pertiwi Sukma selalu berhasil menjadi siswa terbaik di sekolahnya, mengungguli teman-temannya yang memiliki fasilitas lebih baik. Ia dengan tegas menolak untuk menyerah pada takdir yang seolah ingin menenggelamkannya dalam kesulitan.

Prestasinya membuka jalan, ia berhasil mendapatkan beasiswa demi beasiswa, yang mengantarkannya ke jenjang pendidikan tinggi.

Tiba saatnya Dyah berdiri tegak di podium kelulusan universitas. Ia mengenakan toga berwarna hitam yang terasa sedikit kebesaran di tubuhnya. Matanya nanar mencari sosok Bapak di antara kerumunan.

Bapaknya berdiri di sudut ruangan, mengenakan kemeja lusuh terbaiknya. Pipi Bapak yang keras dan penuh kerutan kini dibasahi oleh air mata kebanggaan yang tulus, menyaksikan putrinya telah mencapai puncak mimpi pertamanya.

Bertahun-tahun kemudian, Dyah Pertiwi Sukma, yang kini telah resmi bergelar insinyur dengan reputasi baik, memutuskan untuk kembali ke desanya. Ia tidak sedikit pun melupakan lumpur dan kubangan yang telah membesarkannya. Ia membawa kembali ilmu dan pengalamannya untuk tanah kelahirannya.

Dyah segera memulai proyek besarnya. Dengan segala ilmu yang ia miliki, ia mengolah lahan bekas tempat pembuangan sampah yang dulunya kumuh.

Ia mengubah hamparan tanah tak bernilai itu menjadi kebun percobaan yang hijau, subur, dan modern, menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan.

Lebih dari itu, ia mempekerjakan warga sekitar, termasuk komunitas para pemulung, memberikan mereka kehidupan yang lebih layak.

Dyah, sang teratai, telah mekar sempurna, memberikan manfaat besar. Ia adalah Dyah Pertiwi Sukma, bukti bahwa tempat asal tak pernah menentukan tempat tujuan, sebuah janji bahwa walau hidup berawal dari lumpur, hasilnya bisa menjadi penopang kehidupan yang tinggi dan mulia.

***********************

 

 

ShareTweetSend
Next Post
Soeharto Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional: Fondasi Pembangunan Bangsa Ini Masih Bisa Kita Nikmati

Soeharto Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional: Fondasi Pembangunan Bangsa Ini Masih Bisa Kita Nikmati

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Minat Literasi Dimulai dari Keluarga demi Memperkuat Pengaruh Era Digital

5 tahun ago
“Process Due Of Law”, dalam Praktek Peradilan dalam Kaitan Sistem Peradilan Pidana

“Process Due Of Law”, dalam Praktek Peradilan dalam Kaitan Sistem Peradilan Pidana

2 tahun ago

Popular News

    Newsletter

    Beranda Negeri

    Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
    SUBSCRIBE

    Category

    • BERITA
    • BIOGRAFI
    • BUMI MANUSIA
    • Featured
    • JADWAL
    • JELAJAH
    • KOLOM KHUSUS
    • LENSA
    • OPINI
    • PAPALELE ONLINE
    • PUISI
    • PUSTAKA
    • SASTRA
    • TEROPONG
    • UMUM

    Site Links

    • Masuk
    • Feed entri
    • Feed komentar
    • WordPress.org

    About Us

    Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

    • Redaksi & Kontak
    • Tentang Kami
    • Privacy Policy

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    No Result
    View All Result
    • HOME
    • BERITA
    • JELAJAH
    • BUMI MANUSIA
    • BIOGRAFI
    • OPINI
    • KOLOM
    • SASTRA
    • Lainnya
      • TEROPONG
      • PUSTAKA
      • PAPALELE ONLINE
      • LENSA
      • JADWAL

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In