NAMANYA Yohanes Kletor Domaking. Kami, murid-muridnya di SMA Kawula Karya Lewoleba, menyapa guru kami ini dengan Pak John atau Pak John Domaking. Ia mengajar kami mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Tahun 1987, saya tercatat sebagai siswa baru semester dua pindahan dari Sekolah Pendidikan Guru Kemasyarakatan (SPGK) Lewoleba, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Di SMA Kawula Karya, saya bergabung dengan rekan-rekan lintas jurusan. Baik jurusan IPA (A-2), IPS (A-3), dan Bahasa (A-4). SMA ini meminjam gedung SD Inpres Lewoleba di kawasan Nusa Tadon, tak jauh dari kantor Polisi maupun kantor Pembantu Bupati Wilayah Lembata. Tahun 1990-1994, pak guru John Domaking dipercaya sebagai kepala SMA Kawula Karya setelah jabatan ini berturut-turut diemban guru Bernardus Bae Wator dan Martinus Penana.
Di jurusan A-4 seangkatan tahun 1987, saya bertemu rekan-rekan baik yang berasal dari Lembata maupun Pulau Adonara. Sekadar menyebut beberapa di jurusan seperti John Uring Botoor, Yohanes Mosa Making, Yasinthus Beda Kobun, Awaludin Amir, Fransiskus Kamilus Wuri Ujan, Hamdan Mangu Laga, Regina Palang Making, Baharudin Pata Duli, dll.
Baik SPGK Lewoleba maupun SMA Kawula Karya, berada di bawah naungan Yayasan Kawula Muda. Yayasan ini dirintis Alex Murin, seorang guru tua dan politisi kawakan Flores Timur asal Kedang, Lembata.
Ikwal kepindahan saya dari SPGK ke SMA Kawula Karya juga sepele tapi saya memutuskan pindah untuk melanjutkan sekolah. Mau kembali kampung, tanggung. Kalaupun balik kampung, ada banyak kemungkinan. Bisa mencoba betah setahun berada di kebun sembari menunggu tahun depan baru mendaftar. Atau menjadi petani mengikuti jejak ayah-ibu. Godaan besar juga bisa muncul: ‘melarat’ (merantau) ke negeri Jiran Malaysia mengikuti jejak saudara dan saudari sekampung. Tapi semua itu saya abaikan.
Pilihan bulat pindah sekolah. Mengapa? Karena saya sudah tinggalkan kampung di Boto ke Lewoleba berjalan kaki sejauh 24 kilo meter. Jarak yang harus saya tempuh bolak balik setiap akhir pekan untuk mengambil bekal. Ya, karena itu harus sekolah.
“Ya, engkau tida boleh brenti sekolah. Ingat bahwa orangtua sudah berpanas-panas bahkan mandi hujan di kebun, itu karena ingin kamu juga sekolah. Kamu harus mengejar mimpi mewujudkan cita-citamu,” kata John Domaking suatu waktu.
Sungguh mulia pak guru John Domaking. Kala itu saya menghadapi seorang guru yang bekerja, mengabdi penuh cinta. Teladan dan ilmu yang ia bersama rekan-rekan guru berikan, menghasilkan banyak anak didik yang mengabdi di berbagai bidang profesi. Ada juga menjadi imam, biarawan dan biarawati.
Benar kata Kahlil Gibran, penyair Libanon dalam puisinya, Kerja. Kata Gibran, kerja adalah wujud nyata cinta. Bila kita tidak dapat bekerja dengan kecintaaan, tapi hanya dengan kebencian, lebih baik tinggalkan pekerjaan itu. Lalu, duduklah di gerbang rumah ibadat dan terimalah derma dari mereka yang bekerja dengan penuh sukacita.
Saya berterus terang kepada beliau mengapa saya pindah di SMA Kawula Karya. Di hadapan kepala sekolah, Martin Penana, saya sampaikan pindah. “Saya pindah di SMA Kawula Karya agar bisa pake seragam satu pasang saja. Cukup putih abu. Kalau di SPGK ada beberapa seragam mesti saya beli lagi. Kalau beli, saya tak mampu lagi. Bayar SPP saja sudah terancam setiap semester,” kata saya kepada pak guru John Domaking.
Alasan ini juga saya sudah kemukakan sebelumnya kepada pak guru Martin Penana mengapa memilih pindah sekolah. ketua yayasan kala itu, Pak Ignasiu Begaju, juga menyarankan saya tak boleh keluar tapi pindah saja di SMA Kawula Karya karena sekolah itu masih di bawah yayasan yang sama.
Pak John Domking, Pak Karel Lamawuran, Pak Petrus Olak Ujan, Pak Aloysius Koten, ibu Maria Duan, pak guru Sirilus Sara, Abdul Majid Lamahoda, Yos Gere Tukan, adalah beberapa guru yang mendidik dan mengajar kami. Puji Tuhan. Saya berhasil menyelesaikan studi. Setelah mengubur niat menjadi buruh migran di Malaysia, saya kemudian melanjutkan studi di Undana Kupang hingga lulus sarjana.
Sebagian guru ini adalah guru-guru di SMA Negeri Lewoleba yang mengajar kami di sela-sela mengajar di SMAN Lewoleba. Mereka adalah guru-guru berdedikasi tanpa memikirkan honornya. Dedikasi mereka mengajar luar biasa besar. Banyak muridnya hingga kini menyebar ke mana-mana.
John Domaking adalah guru Bahasa dan Sastra yang luar biasa hebat bila ia sudah berada di depan kelas. Pengetahuannya di bidang sastra sangat luas. Menjelaskan periodisasi sastra mulai dari jaman Balai Pustaka, Angkatan 46 sampai Angkatan 66 sangat menarik.
“Di Universitas Flores, mahasiswa leluasa membaca berbagai literatur dengan mudah. Kita harus membaca dan membaca agar banyak ilmu kita peroleh dan teruskan di kemudian hari,” kata Pak guru John Domaking suatu waktu.
Pak John kabarnya pernah kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra di Universitas Flores, Ende. Hal yang juga selalu diingatkan Pak guru Thomas Tokan Pureklolon, guru Bahasa Inggris saya, saat masih di SPGK Lewoleba kala itu. Guru Thomas Pureklolon kini jadi guru Ilmu Politik di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten, setelah sebelumnya mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Tiap hari, setelah memarkir sepeda tuanya di depan kelas, ia akan menyapa kami semua, murid-muridnya, sebelum kami semua masuk kelas. Tak ada jarak antara kami. Rasanya kami teman sebaya. Tapi, urusan ilmu dialah guru yang hebat.
Bila ada teman yang tak masuk sekolah, ia seolah memastikan bahwa teman itu pulang kampung untuk ambil bekal hidup di kos. Ini bisa dipahami karena sebagian besar kami tinggal jauh dari Lewoleba bahkan ada yang di luar pulau seperti Adonara.
“Materi saya yang lalu, bisa ditanyakan kepada teman lain. Kalau belum paham dan butuh penjelasan lebih lanjut, nanti kita diskusikan lagi,” begitu kata Pak guru John Domaking kepada teman yang tak hadir dalam kelas.
Di bawah bimbingan Pak John Domaking, saya bersama dua rekan: Ramly Raya dan Kamrin Bunga, menjadi utusan sekolah mengikuti lomba cerdas cermat tingkat SLTA se-kota Lewoleba tahun 1989. Berkat diskusi dan bimbingan beliau, tim kami meraih juara 2 setelah takluk dari SMA Negeri Lewoleba yang masuk juara 1. Kami harus mengakui keunggulan tim sahabat saya, Marsel Ruben Payong. Sahabat Dr Ruben Payong, kini jadi guru di Universitas Katolik Indonesia St Paulus Ruteng.
Sejak SMA Kawula Karya ditutup sekitar tahun 1994, pak guru John Domakin istirahat beberapa tahun. Ia kemudian mengabdi sebagai guru honorer komite di SMA PGRI Swasthika Lewoleba. Beberapa tahun setelah Lembata menjadi daerah otonom pada 1999, tahun 2000 ia setia menjadi honorer di sekolah ini.
Tahun 2005, ia diangkat menjadi tenaga kontrak provinsi. Kemudian pada 2010, kontrak diperpanjang. Mestinya ia diangkat jadi PNS tetapi terganjal usia dan syarat lainnya. Pengangkatan beliau sebagai tenaga kontrak provinsi boleh jadi sebuah bentuk penghargaan Pemerintah Provinsi NTT.
Pada Rabu, 14 Agustus 2019 sekitar pukul 21.00 WITA saya mendengar kabar Pak John Domaking, guru Bahasa dan Sastra dan Bahasa Jerman yang bisa menulis dan melafalkan bahasa Arab itu berpulang. Ia menutup mata selamanya di kediamannya, Wangatoa, Lewoleba.
Sahabat saya Dionisius Ola Wutun, dari jurusan IPS di SMA Kawula Karya, mengabarkan Pak John Domaking sudah berpulang. Ia menyusul beberapa rekannya, guruku baik semasa di SPG maupun SMA, yang sudah kembali duluan ke rumah-Nya seperti Piet Olak Ujan, Sirilus Sara, Yos Demon Wutun, Yos Dasi Bumi.
Selamat jalan, guruku John Domaking. Selamat jalan pahlawan tanpa tanda jasa. Doa tulus muridmu. Terima kasih telah membuat saya jadi orang. Semoga pula isteri, anak-anak dan keluarga besarmu beroleh penghiburan. Sekali lagi, terima kasih guruku.
Jakarta, 14 Agustus 2019.
Ansel Deri
mantan murid John Domaking, lulusan SMA Kawula Karya tahun 1990
Ket foto: Yohanes Kletor Domaking atau John Domaking
Sumber foto: Fb guru Peten Philipus