Oleh : Andreas B. Atawolo, OFM
Pada 1-2 Maret 2019 telah diadakan sebuah konferensi Teologi dengan tajuk Doing Theology in Contemporary Indonesia: Interdisciplinary Perspectives di Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas santa Dharma, Yogyakarta. Peserta utama konferensi ini ialah para dosen utusan dari Sekolah-sekolah Tinggi Teologi dan Filsafat di Indonesia, baik Katolik maupun Kristen.
Konferensi ini menghadirkan dua narasumber level asia dan dunia, yaitu Prof. Felix Wilfred dari universitas Madras, teolog terkemuka, penulis berkompeten, editor Jurnal Concilium; dan Dr. Clarence Devadass dari Kuala Lumpur, teolog Asia, sekretaris eksekutif Federasi Para Uskup Asia (FABC). Konferensi yang didukung oleh Asosiasi Filsafat dan Teologi Indonesia (AFTI), Asosiasi Ahli Filsafat Keilahian Indonesia (AAFKI) dan Asosiasi Teolog Katolik Indonesia (AsTeKIa) ini menyoroti pentingnya (mendesaknya!) teologi konteks Asia, dan mengerucut pada pertanyaan tentang peran teologi di Indonesia.
Pada Plenary Session, baik profesor Felix maupun Clarence Devadass sama-sama memetakan kembali realitas masyarakat dan Gereja Asia, khususnya fakta pluralitas agama dan budaya, serta dinamika sosial-poitik yang sedang terjadi. Ciri tersebut harus ungguh-sungguh menjadi locus berteologi. Teologi Asia (baik metode maupun isinya) harulah teologi praksis berlandaskan hidup konkret. Teologi Asia dalah “incarnated theology” (Devadass).
Dari Indonesia hadir para narasumber kompeten, Radhar Panca Dahana, Dr B. Hari Juliawan, Dr. Raymundus Sudhiarsa, Prof. Bambang Sugiharto dan Prof. Gerrit Singgih. Para narasumber ini berhasil membawa arah refleksi masuk konteks budaya Indonesia. Presentasi Pak Radhar misalnya, menyoroti identitas budaya Indonesia sebagai negara bahari yang terbantuk oleh mentalitas penerimaan (acceptance), bukan penolakan (rejection). Presentasi ini memprovokasi kesadaran bahwa sebelum Gereja berkembang, Indonesia telah ada sebagai peradaban.
Konferensi juga sangat diperkaya dengan presentasi dan diskusi paper-paper pilihan panitia. Salah satu group diskusi mengangkat tema nilai budaya dan kepercayaan lokal dari beberapa daerah di Indonesia. Misalnya Dayak Tunjung, spiritualitas penduduk asli Batak Toba, konsep Marapu masyarakat Sumba, moral masyarakat Manggarai, tradisi Bau Lolon masyarakat Lamaholot- Flores Timur, dan tradisi religius Hauteas suku Dawan, Timor. Diskusi atas hasil-hasil studi ini membuahkan satu pesan penting: Teologi warisan Barat itu bukan satu-satunya teologi yang sempurna. Oleh karena itu, lebih dari berdialog, teologi dan Gereja hendaknya mau bercakap-cakap (conversation) dengan kebudayaan.
Konferensi sampai pada keyakinan bahwa untuk membangun sebuah teologi (dan filsafat!) yang khas Indonesia, sangat diperlukan studi terhadap budaya (culture studies).
Budaya adalah identitas bangsa, maka hendaknya ia membangun teologi kita, dan dengan demikian teologi dapat dibaca dari budaya bangsa. Mengingat keberagaman budaya Indonesia (ciri bahari), maka sudah saatnya dikembangkan sebuah public theology – istilah yang sering muncul dalam konferensi ini – yaitu cara berteologi yang menyapa umat dalam keberagaman agama dan budaya tanpa memberi label tertentu, tetapi mengutamakan living values yang lebih universal.
Sudah saatnya para teolog dan filsuf Indonesia mengembangkan ‘teologi nusantara’, yaitu teologi yang berakar dari bahasa budaya asli Indonesia (dengan pengandaian telah menjawab pertanyaan ini: manakah budaya asli itu!). Dengan demikian teologi menjadi gerakan sosial, sebuah public theology, tidak puas dengan doktrin atau tinggal dalam kotak tertentu. Untuk itu teologi juga perlu bercakap-cakap dengan ilmu-ilmu yang lain (flisafat, politik, sosiologi, dst)
Sumber Tulisan : https://andreatawolo.id/