Oleh :Andreas B. Atawolo, OFM
Ahli Fisika dari Italia, Antonio Zichichi (Lahir 15 Oktober 1929) mengatakan bahwa “adanya sains membuktikan bahwa kita adalah hasil dari sesuatu yang logis, bukan sebuah kekacauan”.
Zichichi tercatat dalam indeks-H (indeks penemuan saintifik), menempati urutan 62, setara dengan Stephen Hawking, dan lebih tinggi dari Carlo Rovelli dan penerima Nobel Sheldon Lee Glashow.
Banyak orang dari kelompok anti-klerus meragukan kompetensi saintifiknya, karena ia (Zichichi) mengakui dengan terang bahwa ia percaya pada Tuhan justru karena sains. Meski demikian, profesor emeritus dari universitas Bologna, peraih Nobel Premier, mantan direktur Asosiasi Fisika Eropa (EPS) dan Institut Fisika Nuklir ini terus mempertahankan argumentasinya.
Ia meyakini bahwa “penemuan-penemun saintifik membuktikan bahwa kita bukan anak-anak dari sebuah chaos, melainkan sebuah logika yang sangat persis. Dan kalau ada sebuah logika, maka harus ada penyebabnya”.
Bagi profesor kelahiran Sisilia ini, sains tidak dapat membuktikan atau menghasilkan mukjizat, sebab, jika demikian, “kita terjebak dalam ilusi ‘membuktikan adanya Allah secara ilmiah”. Kita tidak mungkin membuktikan adanya Allah secara ilmiah, “sebab seandainya Allah dapat dibuktikan dengan sains, Ia tidak lebih dari sains saja. Seandainya Matematika sampai pada sebuah ‘teorema Allah’, Pencipta alam semesta ini tidak lebih dari hasil kalkulasi matematis; dan argumen matematis seperti itu kerdil.
Sebagai saintis yang beriman ia meyakini bahwa orang-orang yang percaya mendambakan Tuhan sebagai ‘segala’, bukan hanya ‘sebagian’. Sebab, seandainya Allah dapat ditemukan dengan penelitian sains (sebagaimana yang menjadi obsesi para ateis), Dia bukanlah Pencipta, melainkan ciptaan belaka.
Zichichi membedakan dua realitas: yang transenden dan yang imanen. Yang imanen merupakan realitas yang dapat ditemukan melalui kerja sains, sedangkan yang transenden merupakan tugas ilmu teologi.
“Kecenderungan menyamakan lingkup transenden dengan apa yang kita lakukan di laboratorium dalah sebuah kekeliruan. Jika ada dua cara berpikir disatukan, tidak ada mukjizat, tetapi semata-mata penemuan saintifik. Itu terjadi kalau yang imanen dan yang transenden dipadukan. Dan inilah yang diinginkan oleh mereka yang menyangkal eksistensi yang Transenden, seperti yang terjadi dalam kultur ateis. Akan tetapi halnya tidak sesederhana itu. Adanya mukjizat menunjukkan bahwa keberadaan kita tidak selesai dengan realitas imanen. Ada sesuatu yang lebih”.
Yang ditemukan sains sebenarnya “sebuah inteligensi yang lebih superior dari inteligensi kita. Dan justru karena itu lah muncul hasil-hasil penemuan, meskipun hasil-hasil itu tidak pernah mengalahkan kenyataan-kenyataan ‘yang sungguh-sungguh tidak terduga’. Mukjizat yang terbesar, kata Eugene Wigner (seorang pakar sains), ialah adanya sains itu sendiri”.
Kata-kata Zichichi ini sebenarnya menghadirkan kembali kata-kata Albert Einstein: “Anda merasa heran bahwa saya memikirkan komprensibiltas semesta alam sebagai sebuah mujkizat atau sebuah misteri yang kekal? Tentu dapat dipikirkan sebuah alam semesta yang kacau-balau. Di lain pihak, gagasan tentang keharmonisan (alam) sebagaimana dipikirkan dalam teori gravitasi Newton, sungguh berbeda: sekalipun ada perkiraan-perkiraan yang diajukan manusia, dampak-dampak yang muncul dari sebuah kosmos yang objektif ada sekarang, begitu teratur, melampaui perkiraan-perkiraan yang diajukan (para ilmuwan). Di sini lah letak daya tarik ‘mukjizat’ yang tumbuh dan terus berkembang dalam pengetahuan kita. Dan di sini pula letak titik lemah para positivis dan ateis yang berbangga bukan hanya karena dapat membebaskan dunia dari Allah, tetapi juga karena dapat membebaskan Dia dari mukjizat” (A. Einstein, Surat kepada Maurice Solovine,GauthierVillars, Paris, 1956, p. 102).
Gagasan senada juga muncul dari peraih Nobel Fisika dari Italia, Carlo Rubbia, yang menyoal ‘kenapa’ sains begitu efektif: “Kalau kita dapat menghitung galaksi-galaksi alam semesta atau membuktikan keberadaan partikel-partikel terkecil, kita tidak perlu lagi membuktikan adanya Allah. Namun sebagai seorang peneliti, saya sangat tersentuh pada tata keteraturan dan keindahan kosmos, dan memang itulah yang terjadi pada benda-benda material. Dan sebagai seorang peneliti, saya tidak dapat menyangkal bahwa ada sebuah keteraturan yang lebih besar dibalik semua itu. Karena itu saya menolak pandangan bahwa segala (yang teratur dan indah) itu merupakan hasil dari sebuah realitas yang kacau atau sebuah keberagaman yang statis” (C. Rubbia, Neue Zürcher, märz 1993).
Sumber : https://andreatawolo.id/2019/02/zichichi-tentang-mukjizat-kosmos/