Perkembangan teknologi informasi yang tengah menerpa dunia termasuk Indonesia saat ini, membawa perubahan yang luar biasa dalam interaksi antar manusia termasuk dalam hal literasi. Perkembangan ini pun kemudian dituntut harus menuju pada ekonomi berkeadilan.
Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan perkembangan yang dibawa teknologi informasi di Indonesia sangat luar biasa yang menyebabkan semua orang ikut mendistribusikan informasi dan semua orang mengkonsumsi informasi.
“Semua menjadi jurnalis. Sekarang eranya semua orang jadi komentator,” kata Imam Prasodjo dalam diskusi yang digelar Tempo Institute di Gedung Tempo, Jakarta, Senin (5/6/2017).
Diskusi brtajuk “Dunia Literasi Kita: Dampaknya bagi Ekonomi Berkeadilan” dipandu Direktur Eksekutif Tempo Mardiyah Chamim.
Menurut Imam Prasodjo, apa yang terjadi dulu tahun 1970-an, hanya orang-orang tertentu saja yang jadi komentator, karena saat itu media terbatas, hanya TVRI satu-satunya televisi, sementara sekarang sudah ada macam macam televisi, koran dan sosial media.
Fenomena ini merupakan sebuah interaksi baru. Mendadak semua orang bisa terkenal hanya karena bermain gedget. Perubahan yang terjadi adalah digital family. Orang maju karena konektif dengan banyak orang. Semua tempat menjadi tertinggal karena tidak ada koneksi.
Dikatakannya, era sekarang juga membawa orang tidak lagi menyatu, melainkan tersegmentasi ke dalam kelompok. “Saya tadi berpikir bahwa dengan semua orang punya akses informasi maka semua jenis informasi bisa kita dibandingkan. Ternyata tidak. Orang berkomunikasi dengan temannya yang cocok. Akhirnya orang pun tidak menyatu tapi menjadi segementasi,”ujarnya
Terkait dengan literasi, menurutnya literasi yang dibicarakan selama ini berhubungan dengan offline culture, namun yang terjadi sekarang ada juga online culture, bahkan yang offline tergerus oleh online culture.
“Kedepan orang mulai bicara mana negara maju, mana yang tidak. Negara maju memiliki jejaring. Orang maju adalah yang konektif dengan banyak orang, ” terangnya.
Di tengah membanjirnya informasi, dia mengusulkan agar informasi-informasi yang tercecer tersebut perlu dirangkai menjadi sebuah pengetahuan. Dari pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis inilah baru kita bisa mengambil keputusan.
“Saya membayangkan literasi itu tidak sekedar baca tulis, tapi sampai mendistribusikan pengetahuan. Pengetahuan yang banyak perlu di-manage,” ujarnya.
Selain Imam Prasodjo, pembicara lain, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Hilmar Farid, Afi Nihaya Faradisa, dan pemerhati Sastra Anak, Murti Bunanta. (Ben)