“Jangan takut akan perbedaan! Persaudaraan membuat kita menyadari bahwa perbedaan adalah kekayaan, hadiah bagi kita semua! Sebuah persaudaraan sepanjang hidup” – Paus Fransiskus –
Bertempat di Auditorium Gedung Yustinus lantai 15, Kampus Semanggi, Unika Atma Jaya, pada Selasa, 25 Februari 2025, Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya bersama Frans Seda Foundation (FSF) menggelar Kolokium dan Bedah Buku “Salve Peregrinans Spei!” . Acara yang juga merupakan salah satu rangkaian peringatan Lustrum XIII Atma Jaya, selain merefleksikan kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia (3-6 September 2024 juga memotret pemikiran-pemikiran Paus Fransiskus tentang iman, persaudaraan, dan bela rasa, sebagaimana diuraikan dalam buku yang merangkum perspektif 33 tokoh Islam Indonesia terhadap kunjungan tersebut.
Acara dihadiri oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., yang merupakan keynote speakers dalam acara ini, Prof. Dr H. Biyanto, M.Ag., Staf Ahli Menteri Pendidikan Dasar & Menengah Republik Indonesia, Bidang Regulasi, dan Hubungan Antar Lembaga, Rektor Unika Atma Jaya, Prof. Dr. dr. Yuda Turana, Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, Managing Director Frans Seda Foundation, Stefanus Ginting, juga hadir sebagai pembicara beberapa dari para penulis buku “Salve Peregrinans Spei!” seperti Irfan Amali, Savic Ali, Dr.phil. Mikhael Dua, Prof. Dr. Al Makin, Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah, Ust. Miftah Fauzi Rahmat, Laila Nihayati, dan Rian Fahardi yang membahas berbagai tema terkait toleransi, perdamaian, serta keberagaman di Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa kunjungan Paus Fransiskus membawa pesan penting tentang persatuan dalam perbedaan serta pentingnya dialog antaragama yang lebih mendalam.
Paus Fransiskus dan Toleransi
Dalam pandangannya menyangkut kehidupan bersama yang diwarnai pluralisme, Paus mengatakan bahwa kita tak perlu memaksakan keyakinan kita pada orang lain. Hormatilah keyakinan orang lain! Cukupkanlah diri dengan menginspirasi orang lain melalui kesaksian hidup sehingga kita bisa hidup bersama dalam komunikasi yang sehat. Yang terburuk ialah penyebaran agama yang memaksa atau dengan kata lain, “Saya berbicara dengan Anda untuk menghasut Anda”. Hal ini tidak boleh! Setiap orang berdialog, dimulai dengan identitas dirinya sendiri.
Dialog sejati selalu memerlukan satu kemampuan untuk berempati. Kita ditantang mampu mendengarkan, bukan hanya kata-kata yang diucapkan orang lain, melainkan juga komunikasi yang tak terucapkan dari pengalaman, harapan, aspirasi, perjuangan, dan keprihatinan terdalam mereka.
Menurut Paus Fransiskus, empati merupakan sesuatu yang lahir dari wawasan rohani dan pengalaman pribadi, yang menuntun seseorang “melihat yang lain sebagai saudara. Dalam hal ini, dialog menuntut suatu semangat keterbukaan dan penerimaan akan yang lain. Seseorang tidak bisa terlibat dalam dialog jika menutup diri terhadap yang lain.
Kemampuan berempati memungkinkan terjadinya dialog manusiawi yang sejati, di mana kata-kata, ide-ide dan pertanyaan-pertanyaan muncul dari pengalaman persaudaraan dan kemanusiaan yang dibagikan. Empati menuntut kita untuk sampai pada perjumpaan sejati sehingga kita dapat berbicara dari hati ke hati. Kita diperkaya dengan kebijaksanaan yang lain. Kita menjadi terbuka untuk berjalan bersama di jalan menuju pengertian, persahabatan, dan solidaritas yang lebih besar.
Paus Fransiskus dan Pentingnya Bertemu Wajah
Ada sebuah kisah berdasarkan pengakuan Eugenio Scalfari, pendiri harian Italia La Republica, seorang yang oleh publik Italia dikenal sebagai orang yang tak percaya pada Tuhan alias ateis. Sebelum kejadian ini, Scalfari pernah mendapat surat khusus dari Paus Fransiskus. Dari situlah muncul keinginan untuk bisa bertemu. Akhirnya, ia membuat janji untuk pertemuan itu, yakni pada hari Selasa di Casa Santa Marta. Janji itu didahului sebuah telepon yang tidak akan pernah dilupakan Scalfari seumur hidupnya.
Hari itu pukul setengah tiga sore, suara telepon di kantor berdering. Dengan suara agak gemetar, sekretarisnya berseru, “Bapa Paus menelepon Anda. Silakan segera diangkat di sambungan Anda!”.
Scalfari masih tertegun setengah tidak percaya ketika mendengar suara Paus di sambungan telepon, yang mengatakan, “Halo, ini Paus Fransiskus.”
“Halo, Yang Mulia,” sahutnya kemudian. “Saya tidak mengira Anda menelpon saya.”
Paus Fransiskus pun menimpali agar Scalfari tidak perlu terkejut. Ini normal saja, seperti seseorang menelepon seorang temannya.
Paus Fransiskus pun mengaku bahwa ia memiliki keinginan yang sama. Jadj wajar saja jika fa menelepon untuk membuat janji guna mewujudkan pertemuan itu.
“Coba saya lihat buku agenda, Rabu saya tidak bisa, begitupun Senin, apakah kalau hari Selasa Anda bisa?” tanya Paus. Tanpa banyak kata Scalfari menjawab bahwa hari itu ia bisa.
“Tapi waktunya agak tanggung, pukul tiga sore. Apakah Anda bisa? Jika tidak, kita bisa menggesernya ke hari lain,” sahut Paus Fransiskus dari ujung telepon.
Sekali lagi, Scalfari menegaskan bahwa ia setuju. Jadilah mereka menyetujui waktu pertemuan itu: Selasa, tanggal 24, pukul tiga sore, di Casa Santa Marta, Vatikan. Paus Fransiskus mempersilakan Scalfari masuk lewat pintu Sant’Uffizio.
Scalfari mengaku sempat merasa canggung bagaimana ia harus mengakhiri telepon. Akhirnya, ia bertanya apakah ia boleh memeluk Paus Fransiskus melalui telepon. “Tentu saja, pelukan dari saya juga. Nanti kita akan melakukannya secara langsung waktu bertemu. Sampai jumpa!” sahut Paus Fransiskus.
Saat pertemuan hari Selasa itu berakhir dan Scalfari berpamitan, Paus Fransiskus berkata, “Sampaikan berkat saya untuk keluarga Anda dan sampaikan juga pada mereka agar berdoa untuk saya. Pikirkan saya, pikirkanlah saya sesering mungkin!” Keduanya berjabat tangan. Sesudah itu, Paus Fransiskus mengangkat tangannya dan memberikan berkat. (Kisah ini diambil dari buku 99 Cara Belajar Hidup ala Pope Francis, Elis Handoko, Grasindo, 2016).
Bertemu, bertatap muka dan berdialog, itulah fakta Paus Fransiskus ketika menemukan keretakan dalam relasinya. Kehendaknya untuk berdialog didorong suatu kesadaran bahwa orang lain mempunyai sesuatu untuk diberikan kepadanya jika kita tahu bagaimana mendekati mereka dengan semangat keterbukaan dan tanpa prasangka.
Yakinlah bahwa semua orang memiliki sesuatu yang baik untuk dibagikan dan semua orang bisa menerima kembali sesuatu yang baik. Apa pun Situasinya, kita diajak untuk berbuat baik.
Paus Fransiskus dan Iklim
Isu iklim juga menjadi perhatian Paus Fransiskus. Hal ini ditunjukkannya dengan Ensiklik-nya yang monumental Laudati Si’ (Terpujilah Engkau) 24 Mei 2015. Melalaui Ensiklik ini, Paus menngajak umat Katolik dan semua manusia bergerak ikut ambil bagian menyelamatkan kehidupan dari krisis lingkungan hidup global.
Paus dalam Ensiklik-nya Laudato Si’ menyerukan sebuah jalan baru menyelematkan bumi yakni Pertobatan Ekologis. “Harta kekayaan soiritualitas Kristiani, hasil dua puluh abad pengalaman pribadi dan komunal, memberi sumbangan berharga kepada upaya untuk memperbarui kemanusiaan. Saya ingin menawarkan kepada umat Kristiani suatu kerangka spiritualitas ekologis yang berakar dalam keyakinan iman kita, karena apa yang diajarkan Injil keapada kita memiliki konsekuensi terhadap cara kita berpikir, berperasaan, dan hidup. Yang penting bukanlah berbicara tentang ide-ide, tetapi terutama tentang motivasi yang lahir dari spiritualita, untuk menumbuhkan semangat pelestarian dunia. Tidak akan mungkin melibatkan diri dalam hal-hal besar hanya dengan doktrin, tanpa mistik yang menggerakan kita, atau tanpa ‘dorongan batiniah yang mendorong, memotivasi, menyemangati dan memberikan makna kepada kegiatan individu dan komunal kita. Kita harus mengakui bahwa kita, umat Kristiani, tidak selalu menyerap dan mengembangkan kekayaan yang diberikan Allah kepada Gereja, di mana kehidupan rohani tidak terpisah dari tubuh kita sendiri, atau dari alam, atau dari realitas dunia ini, tetapi justru dihayati bersamanya dan di dalamnya, dalam persekutuan dengan semua yang mengelilingi kita” (Laudato Si’).
Apa yang dapat kita lakukan sekarang? Di mana tempat kita dalam masa depan bumi dan apa yang dapat kita lakukan untuk mewujudkannya? Paus Fransiskus dalam bukunya Mari Bermimpi – Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Baik, memberikan ajakan kepada kita untuk menyelamatkan bumi kita ini dari krisis ekologis, dengan dua ajakan, “bergeser dari pusat” (decenter) dan “melampaui”(trancend).
Cermati di mana kita berpusat, dan geserlah diri kita dari pusat itu Tugas kita di sini adalah membuka pintu dan jendela, dan bergerak ke luar. Yang harus kita hindari adalah godaan berpusat pada diri kita sendiri.
Krisis memaksa kita untuk bergerak, tetapi kita bisa bergerak tanpa pergi ke mana pun. Kita tidak boleh bergerak seperti seorang wisatawan yang pergi ke laut atau pegunungan selama seminggu untuk bersantai, tetapi kemudian kembali ke rutinitasnya yang menyesakkan. Ia bergerak, tetapi seraya menghindar, hanya untuk kembali lagi ke tempatnya semula.
Paus Fransiskus lebih menganjurkan jalan yang ditempuh oleh seorang peziarah. Seorang peziarah, yang meminggirkan dirinya dari pusat sehingga ia mampu melampuinya. Seorang peziarah mampu keluar dari dirinya sendiri, membuka diri terhadap horizon baru, dan ketika ia pulang, ia tak lagi sama, dan dengan demikian rumahnya pun tak lagi sama.
Berhadapan dengan krisis Bumi, Paus mengingatkan, “Yang diminta dari kita tidak lain adalah tanggung jawab tertentu atas warisan yang akan kita tinggalkan setelah perjalanan kita di bumi ini (Laudato Si’).” Kita mesti mewujudkan aksi nyata mewujudkan pertobatan ekologis, budaya ekologis, dan spiritualitas ekologis.
Paus Fransiskus juga memberikan kita inspirasi dalam menghadapi sebuah krisis, lewat sebuah puisi karya aktor dan komedian Kuba di Miami, Alexis Valdes. Puisi Alexis Valdes, menurut Paus Fransiskus mampu memotret jalan menuju masa depan yang lebih baik. Mari kita membaca puisi itu dan membiarkan puisi itu dengan keindahannya memberikan kesimpulan, membantu kita bergeser dari pusat dan melampauinya sehinggga bumi kita memiliki wajah baru.
Harapan
Bila badai telah berlalu
dan jalanan menjinak
dan kitalah penyintas
dari karam kapal massal.
Dengan hati penuh tangis
dan berkat atas takdir kita
kita akan rasakan sukacita
sekadar atas hidup.
Dan kita akan beri peluk
untuk orang asing pertama
dan syukur atas kemujuran
bahwa kita masih punya kawan.
Lantas kita akan mengenang
segala yang telah hilang
dan akhirnya belajar
segala yang tak pernah kita pelajari.
Kita takkan merasa iri
sebab kita semua telah menderita
dan kita tak akan berpangku tangan
berbalik jadi bela rasa.
Akan kita hargai milik semua
lebih dari capaian orang per orang.
Kita akan jadi makin murah hati
dan jauh lebih berkomitmen.
Kita akan mengerti betapa rapuhnya hidup.
Kita akan kerahkan segenap empati
buat mereka yang masih bersama kita dan mereka
yang telah pergi.
Kita akan rindukan si orang tua yang
minta-minta di pasar
yang namanya tak pernah kita tahu
yang selalu ada di sampingmu.
Dan mungkin si tua miskin itu
adalah Allahmu yang tersamar.
Tapi kau tak pernah bertanya siapa namanya
sebab kau tak pernah punya waktu.
Dan segalanya akan jadi mukjizat.
Dan segalanya akan jadi warisan.
Dan kita akan hargai hidup,
hidup yang telah kita peroleh.
Bila badai ini berlalu
kumohon kepadamu Tuhan, dengan hati yang remuk
supaya kaukembalikan kami jadi lebih baik,
seperti dulu kauimpikan atas kami. ……….
(Paskalis Liko Bataona)
Mantap dan trima kash atas inspirasinya.saya terharu membacanya