“Daya saing” memang sering diucapkan bahkan menghiasi halaman-halaman pidato para pejabat neagara. Tapi apakah daya saing yang dibicarakan itu sudah kita miliki, atau hanya sekedar motivasi untuk kelak bisa diwujudkan?
Kompas, 16 Juli 2016, di bawah Judul “Indonesia Berdaya Saing”, menuliskan bahwa Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara agraris , tetapi ternyata hingga kini belum swasembada. Indonesia masih kalah dengan Thailand. Pada industry manufaktur , walau memiliki tenaga kerja yang murah, Indonesia masih ketinggalan dengan Tiongkok. Satu-satunya yang dipunyai adalah Industri Kreatif lebih khusus pariwisata.
Saat ini posisi pariwisata masih dalam urutan keempat sebagai penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) atau sekitar 5 persen. Di urutan pertama, minyak dan gas, lalu batubara dan yang ketiga adalah minyak sawit mentah (CPO). Demikian catatan Kompas.
Industri kreatif dalam hal pariwisata sekali lagi memang dimiliki Indonesia. Apalagi dalam pengelolahannya untuk menghasilkan keuntungan yang besar pun tidak terlalu membutuhkan biaya yang mahal. Yang justru diperlukan dalam hal ini adalah komitmen.
Namun, perlu diingat masalah komitmen memang mudah diucapkan, tapi dalam realisasinya hampir pasti komitmen itu hanya ada diatas kertas dan tetap menjadi pembicaraan setiap pergantian pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Bila ditelusuri, peluang untuk merealisasikan daya saing di bidang pariwisata, sekarang ini memang sudah saatnya. Disamping genjarnya pembangunan infrastruktur yang menghubungi daerah yang satu dengan yang lain, kebijakan pembesasan visa kunjungan ke 169 negara menjadi pintu masuk dalam pembangunan Industri Pariwisata.
Tapi kenyataan, peluang ini belum dimanfaatkan dengan serius. Potens pariwisata dan destinasi pariwisata di setiap wilayah, hanya masuk menjadi daftar potensi daerah. Penggarapan pun masih sederhana untuk tidak mengatakan masih apa adanya alias dibiarkan terlantar. Lalu apa daya saingnya?
Mau tidak mau, komitmen untuk membangun sector pariwisata harus mulai dari pemerintah sendiri lebih khusus pemerintah daerah yang memiliki destinasi itu. Disamping promosi yang gencar, penyiapan fasilitas berscala internasional, dan peningkatan salera pengelolaan destinasi, pemerintah sendiri harus mendorong warganya untuk mulai menikmati pariwisata yang ada di daerahnya. Sesuatu yang menarik harus diciptakan, agar berbondong-bondong orang kesana.
Kenyataannya, semua masih menunggu kucuran dana untuk menjawab pembangunan pariwisata. Tapi lagi-lagi, sebanyak apa pun dana, tidak pernah menjawab kebutuhan yang ada manakalah budaya mencintai dan memelihara pariwisata tidak dimiliki.
Sekedar menyiangi belukar, para pengunjung yang datang dari luar pun hanya singgah sekali-sekali, dan itupun harus meluangkan waktu membersihkan belukar yang terlantar itu. Masih jauh persaiangan merebut hati para wisatwan, kalau pemerintah dan masyarakat setempat tidak memiliki daya. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.
Dari berbagai sumber