Kekuasaan dan relasi kekuasaan bermain di dalam hidup para tokoh yang dibahas buku ini. Mereka adalah tokoh utama dan “bukan utama”, yang membuat sejarah, dalam arti seluas-luasnya. Dalam buku ini, sejarah besar sebagai narasi besar diambil-alih dan dimainkan dalam sejarah kecil dan narasi kecil menurut perannya masing-masing—yang tinggi dan rendah, terpandang dan tidak terpandang, dan dalam dunia terang dan gelap.
Semua tokoh yang dibahas dalam buku ini berada dalam satu Keranjang yaitu perlawanan lewat cara mereka masing-masing terhadap kekuasaan. Ada yang terbuka di depan publik, tapi ada juga yang diam-diam dalam kesendirian. Ada yang berhasil, tapi banyak juga yang gagal sampai maut menjemputnya. Yang mencapai keberhasilan pun sebenarnya tidak berhasil sesungguh-sungguhnya karena tidak ada satu pun yang mampu mencapai cita-cita yang “digantungkan di langit”, sebagaimana dikatakan Bung Karno.
Akhirnya, mencapai puncak keberhasilan bukan lagi tujuan bagi semua tokoh yang dibahas karena seperti Sisyphus yang mengangkat batu, mereka berusaha melawan nasib, dan dalam proses perlawanan itu senantiasa jatuh lagi, bangun lagi, dan jatuh lagi. Karena itu, “menerjang badai” akhirnya menjadi jauh-jauh lebih penting karena itulah yang merumuskan siapa mereka dan harkat hidupnya.
Buku ini memeriksa kekuasaan, relasi kekuasaan, dan akibat dari bagaimana kekuasaan itu bekerja di dalam diri sejumlah tokoh yang hampir tidak berhubungan satu sama lain.
Pertama, “Kekuasaan Kaum Tak Berkuasa,” (powerfulness of the powerless) di mana bisa dibaca Soe Hok Gie, Poncke Princen, Toety Azis, Pramoedya Ananta Toer, dan Rusli. Sebagian besar tidak memegang kekuasaan dalam arti kenegaraan. Namun, kekuasaan dalam pribadinya, dan institusinya menjadi tantangan besar bagi setiap penguasa.
Kedua, “Kekuasaan Kaum Terbuang” (power of the outcasts)— Rohimah, Taufik, Kusni Kasdut, dan Henky Tupanwael. Mereka dikategorikan sebagai penjahat, yang harus dibuang dari masyarakat. Namun, mereka berkuasa di dalam dunia “gelap” bagi kepentingan dunia “terang”.
Bagian ketiga, “Kaum Berkuasa dan Ke-tak-kuasa-an” (powerlessness of the powerful) —Mohammad Hatta, Margono Djojohadikoesoemo, Sam Ratulangi, Frans Seda, Abdurrahman Wahid “Gus Dur”, dan Soekarno. Separuhnya lebih menunjukkan tragedi kekuasaan itu sendiri. Tragedinya terletak dalam ketakberdayaan mereka yang sangat mampu memecahkan soal demi harkat kemanusiaan sambil menunjukkan wajah muram dari kekuasaan itu sendiri.
Paradoks demi paradoks dibuka tentang mereka yang tak berkuasa akan tetapi penuh daya, yang berkuasa namun tanpa daya, yang terbuang akan tetapi membuka kedok suatu masyarakat yang mengenyahkannya. Mereka tidak atau hampir tidak pernah berhubungan satu sama lain; namun, bila diperhatikan dengan teliti Soekarno —muda dan tua, Soekarno aktivis dan penguasa—menjadi axis yang menghubungkan semua.