Sugapa, nama sebuah tempat di wilayah pegunungan tengah Papua ini barangkali belum banyak akrab di telinga banyak orang. Padahal ini adalah ibukota Kabupaten Intan Jaya yang mekar dari kabupaten Paniai tahun 2008.
Sugapa dari kata “Sugu” dalam bahasa bahasa Moni yang artinya tongkat itu, sering diplesetkan menjadi “Surganya Papua” lantaran keindahan alamnya dan sebagai pintu masuk ke puncak gunung Cartens. Mengenal Papua harus sampai ke Sugapa.
Ada dua jalur untuk menuju Cartensz dari Sugapa, yaitu melalui Ugimba atau Soanggama. Keduanya memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu naik turun bukit melintasi hutan tropis.
“Surganya Papua?” Coba saja datang ke Sugapa dan menikmati panorama alam dan kehiduapn masyarakat di sana. Malam dan pagi hari, kabut turun menutupi kota, rumah-rumah penduduk yang diterangi lampu solar cell kelihatan begitu redup dari kejauhan lantaran terhalang kabut. Entah pagi ataupun malam, hawanya segar seakan berada di sebuah kota di tengah hutan belantara tropis pedalaman Papua.
Geofrafis dan topografis alam pegunungan, membentuk tekstur kota yang sungguh berbeda dari ibukota kabupaten yang lain. Dalam kota saja bukit dan lembah menjadi sandaran untuk rumah-rumah penduduk. Berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain harus menikmati naik turun jalan yang menyesuaikan dengan perbukitan dan lembah yang ada. Keadaan ini pun sama, seperti hendak mengunjungi distrik/kecamatan yang ada di Intan Jaya.
Sugapa adalah kampung yang mulai beranjak menjadi kota. Beban sebagai kota dan ibukota kabupaten pun sudah mulai terasa. Sudah ada penerangan listrik, begitu pan sinyal telepon. Jalanan mulai dibangun, begitupun kantor dan rumah-rumah pegawai.
Untuk rumah-rumah penduduk di Sugapa, kebanyakan sudah memakai tembok dan seng sebagai atap. Lebih banyak berdinding kayu dari kayu-kayu yang diambil dari hutan sekiatarnya. Banyak juga penduduk yang masih mempertahankan rumah honai.
Kabupaten Intan Jaya baru sekali melangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan Januari 2017 nanti masyarakat melangsungkan Pilkada ke 2. Wilayah kabupaten Intan Jaya berada persis di tengah-tengah wilayah provinsi Papua dengan batas wilayah utara dengan Kabupaten Waropen, timur dengan kabupaten Puncak Jaya, selatan Kabupaten Paniai, dan barat dengan Nabire.
Untuk sampai di Sugapa, satu satunya transportasi adalah melalui jalan udara. Dua tempat yang menyediakan pesawat ke Sugapa adalah Nabire dan Timika dengan menggunakan pesawat jenis Cessna Caravan atau PESAWAT tipe Twin Otter.
Harga tiket pesawat pun dihitung berdasarkan berat badan penumpang dan berat barang yang dibawa, kisarannya mulai dari Rp900.000-Rp2,5 juta, Biaya perjalanan yang terbilang mahal ini menyebabkan harga barang-barang di Sugapa sangat mahal, naik 4-5 kali lipat dengan harga di Nabire dan Timika.
Penerbangan dari kedua tempat ini membutuhkan waktu 40 menit. Selama di perjalanan, dapat menikmati pemandangan yang luar biasa indah, berupa hamparan hijau hutan, serta gunung-gunung di wilayah pegunungan tengah Papua.
Dalam jarak pandang dari ketinggian sekitar 12 ribu kaki (3,6 km) dapat terlihat bebatuan karst dengan gagah berdiri membelah hutan belantara. Dari kejauahan dapat dilihat puncak Cartens yang menjadi impian para pendaki gunung. Hanya satu kandal yakni cuaca. Cuaca menuju Sugapa memang tidak menentu, yang menyebabkan pilot bisa secara tiba-tiba menunda keberangkatan pesawat.
Di Bandara Sokopaki –Sugapa tidak punya ruang kedatangan penumpang, pengambilan bagasi, dan fasilitas lain. Di sana, begitu keluar dari pintu pesawat disambut kerumunan para tukang ojek atau warga yang ingin membantu membawakan barang atau juga penjemput.
Kehidupan warga Sugapa, umumnya bercocok tanam dan berburu. Kabupaten Intan Jaya memiliki 2 lembah yaitu Lembah Kemadoga dan Lembah Dugindoga yang subur dan ditanami sayur mayur, buah-buahan, ubi-ubian dan kopi arabica Moni. Hasil kebun dijual di pasar tradisional di Kota Sugapa. Sebagaimana pemandangan yang dijumpai di hampir semua pasar di Papua, sambil menunggu pembeli, mama-mama biasanya sambil merajut noken.
Sugapa memiliki sungai yang mengandung garam dan menjadi sumber garam bagi warga di pegunungan ini. Ada juga sungai air panas, serta Sungai Wabu dan Dogabu yang punya potensi arung jeram.
Ppegunungan Cartens yang oleh masyarakat setempat disebut Pujapigu atau Mbainggelapa. Nama Kemandoga atau Kemabundoga dari nama sungai Kemabu yang melintasi wilayah Kemandoga hingga menembus ke laut Pasifik Ousenia bagian utara Papua. Sungai Kemabu berasal dari padang salju pegunungan Cartens. Beberapa sungai lain di wilayah ini diantaranya sungai Wabu, Sungai Dogabu, dan Sungai Hiyabu.
Wilayah Kabupaten Intan Jaya, terdiri dari banyak kampung diantaranya, Agisiga, Tousiga, Unabundoga, Mbamogo, Soali, Tembage, Bigasiga, Janasiga, Dapiaga, Kombongosiga, Danggoa, Tomosiga, Mbiandoga, Bugalaga, Dangatadi, Kalawa, Yagaito, Yanei, Ipouwa atau Edagitadi, Pagamba, Kigitadi, Maodagi, Mbiatapa, Aneya, Ular Merah, Maniwo, Ndabatadi, Wabui, Balamai, Sanaba, Kulapa, Pugisiga, Hitadipa, Zoanggama, Danggomba, Pogapa, Bila Satu, Bilai Dua, Sanepa, Mapa, Maiya, Degesiga, Zombandoga, Kobae, Salemama, Kendetapa, Hiyabu, Ogeapa, Bonogo, Agapa, Engganengga, Waiagepa, Hugitapa, Bubisiga, Bilogai, Emondi, Jalai, Mamba, Mindau, Puyagiya, Ugimba, Yogatapa, Yoparu, Titigi, Eknemba, Wandoga, Degeyabu, Mbilusiga, Ndugisiga, Kumbalagupa, Sabisa, Dubasiga, Debasiga, Mogalo, Janei, Mbugulo, dan Hulagupa.
Di dalam kampung-kampung itu tinggalah beberapa suku yang dengan kehidupan yang sangat solider dan membantu satu sama lain. Suku Moni merupakan suku terbesar di wilayah ini. Suku yang lain adalah suku suku Wolani, suku Dani, Suku Nduga atau Ndauwa, Suku Dem/Delem/Wano, Suku Mee dan Suku Ekari.
Suku-suku yang ada di wilayah ini menggunakan bahasanya masing-masing. Ada Bahasa Moni, Bahasa Wolani, Bahasa Nduga, bahasa Dani, Bahasa Damal, dan bahasa Dem. Budaya keakarban dan kekerabatan sangat, menonjol, hidup berkelompok, berkerja berkelompok, gotong royong sudah merupakan bagian dari hidup masyarakat. Masyarakat merasa diri sebagai penakluk, penguasa dan pewaris alam dan lingkungan Kemandoga dan Dugindoga.(Benjamin Tukan)