Oleh Albertus Muda, S.Ag., Gr., Guru SMA Negeri 2 Nubatukan-Lembata
Ataili merupakan sebuah kampung kecil di wilayah pegunungan kecamatan Wulandoni. Jauh sebelumnya merupakan bagian dari kecamatan Atadei. Kampung kecil ini cukup disegani karena selain karakter masyarakatnya yang keras sekeras batu cadas tetapi juga menyimpan pesona religiositas yang luar biasa. Di kampung ini bertumbuh subur panggilan khusus seperti Imam, Bruder dan Suster. Data biarawan-biarawati dan Imam terkini yang dapat kami catat ada 7 suster, dua orang telah keluar, 2 bruder, seorang telah meninggal dunia dan 5 imam, dua orang telah meninggalkan imamatnya. Satu di antara tiga imam yang masih teguh setia dengan imamatnya hingga hari ini adalah P. Stefanus Tupeng Witin, SVD atau yang akrab disapa Pater Stef Witin.
Societas Verbi Divini
Stef Witin lahir dari keluarga petani sederhana yang taat beribadah. Ayahnya Lukas Lakan Witin (alm) dan ibunya Susana Gelole Buran (almh). Sejak kecil, Stef adalah anak yang bertipikal tenang, tekun dan disiplin sehingga sangat prestatif. Ia mengawali pendidikan dasar di SDI Ataili, SMPS APPIS Lamalera dan pendidikan menengah atas di SMU Seminari San Dominggo Hokeng, sedangkan pendidikan tinggi di STFK Ledalero sekarang IFTK Ledalero.
Pilihannya menjadi imam SVD tentu tidak berlangsung dalam ruang hampa. Para misionaris awal yang menjejakkan kaki di tanah misi Lembata khususnya di paroki St. Petrus dan Paulus Lamalera adalah imam-imam SVD seperti P. Bernardus Bode, SVD misionaris sulung dan P. Arnoldus Dupont, SVD. Lahirnya banyak imam SVD dari Lamalera juga menjadi motivasi tambahan bagi dirinya menjadi Imam SVD. Namun satu hal terpenting di sini adalah bahwa sejak awal Stef kecil sudah memproklamirkan dirinya untuk bekerja di ladang Tuhan menjadi imam.
Sebagai manusia, Stef kecil pasti mengalami berbagai tantangan, jatuh bangun menapaki panggilannya. Ia selalu menatap ke depan menjadi hamba dan pelayan umat Tuhan. Seingat saya, tantangan terberatnya adalah ketika ia harus memilih antara menemani ibunda menghadapi sakratul maut atau hadir untuk menerima jubah sebagai novis (novum: anggota baru) Serikat Sabda Allah di Novisiat SVD Nenuk-Atambua.
Kekuatan Pesan Ibunda
Pesan-pesan terakhir Susana ibunya sungguh mengokohkan niatnya. “Ama, engkau harus pergi karena tinggal beberapa hari ama masuk novis dan menerima jubah sekaligus kaul pertama. Mama tetap mendoakan panggilan ama meski mama tidak lagi berada secara fisik di dunia,” demikian pesan ibu Susana sebelum ia meninggalkan kampung halaman menuju ke Kupang dan melanjutkan perjalanan ke Nenuk-Atambua.
Dilema melanda hati dan pikirannya. Namun, ia memilih menjawabi panggilannya dengan masuk novisiat di Nenuk-Atambua. Ia kuat karena doa dan restu sang ibu. Ia akhirnya menerima kenyataan manakala Allah dengan kuat kuasa-Nya datang menjemput sang ibu kembali ke pangkuan-Nya. Tantangan lain yang juga sangat berat adalah ketika ia harus menerima bahwa sang ayah yang selama beberapa tahun bekerja sebagai TKI di negeri jiran Malaysia dijemput pulang dalam kondisi psikis yang kurang sehat.
Kini sang ayah terkasih juga telah berpulang. Semasa hidupnya, semangat hidup rohaninya tak pernah redup. Ia tak pernah absen berdoa, ibadat dan menghadiri ekaristi. Bahkan ada sebuah doa khusus untuk panggilan imam yang dengan setia didaraskannya secara khusyuk saat sebelum tidur maupun saat ia terjaga di pagi hari dalam balutan lipa dan sarung.
Ada kesaksian dari salah seorang anggota keluarga dekat yang memutuskan untuk menguping apa yang sebenarnya dibisikan (alm) bapak Lukas Lakan Witin dari dalam balutan lipa dan sarungnya. Tanpa diduga ternyata ia sedang berdoa mohon panggilan imam bagi anaknya agar ia benar-benar dipilih dan dituntun Allah untuk menjawabi panggilannya menjadi seorang imam.
Konsistensi Menulis
Semenjak menjadi seminaris, ia akrab dan mengakrabkan diri dengan dunia menulis. Ia bahkan sangat menyatu dengan aktivitas membaca dan menulis. Namanya tak pernah absen di majalah Kuncup, majalah sekolah Seminari Menengah San Dominggo Hokeng dan majalah Vox Ledalero. Ia juga aktif menulis feature dan opini di media massa, baik lokal maupun nasional. Ia kritis dan berani menyerukan suara kenabian secara konsisten.
Dua puluh tahun, ia mengabdikan diri sebagai kuli tinta dan pewarta pada Harian Umum Flores Pos. Ia berhasil mengemban jabatan di dalam media cetak milik kongregasi SVD ini. Mulai dari wartawan, redaktur, pemimpin redaksi hingga pemimpin umum. Ia pun meminta agar dirinya bisa tinggalkan Flores Pos demi mengabdi di tanah kelahirannya Lembata. Ia masih terus menulis. Roh kepenulisannya tetap konsisten sebagai warta kenabian.
Selain menulis, ia pun pernah merintis Taman Bacaan Masyarakat (TBM) bagi warga masyarakat Lembata di rumah Soverdi. TBM tersebut berada dalam kawasan RS. Bukit Lewoleba-Lembata. Taman Bacaan itu diberi nama “Oring Literasi”. Semenjak berdirinya, oring literasi sangat diminati anak-anak. Mereka datang membaca di oring literasi dan bahkan pulang diberi hadiah buku. Tentu ia mau mencerdaskan masyarakat Lembata agar tidak terus menjadi kabupaten tertinggal di Indonesia.
Hari ini, ia merayakan ulang tahun imamatnya yang ke-19. Kita mendoakannya agar meski diterpa banyak tantangan, ia tetap setia dan kritis dalam mewartakan Kerajaan Allah di mana ia berkarya. Kita berharap agar ia tetap konsisten membangun negeri dan gereja dalam narasi dan suara kenabiannya. Doa dan setiap perjumpaan hendaknya menjadi sarana untuk menguatkan perjalanan panggilannya. Selamat ulang tahun imamat Pater Stef Witin. Kami tetap mendukung dan mendoakanmu. Tuhan yang memanggil pasti akan setia memanggul bersama semua salib hidupmu. (*).