Alexander Aur, Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan Karawaci, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, Semarang.
Judul tulisan ini adalah terjemahan bebas dari tulisan pengantar W. Lance Bennet berjudul “The Future is Now” dalam bukunya berjudul, Comunicating the Futere: Solutions for Environment, Economy, and Democracy (Polity Press, 2021). Tulisan pengantar Benet berisi gambaran mengenai dua gerakan masyarakat sipil di berbagai belahan dunia dalam merespon krisis lingkungan hidup dan ketidakadilan iklim. Aneka gerakan itu sering kali berhadap-hadapan dengan banyak korporasi dan partai politik di berbagai negara.
Korporasi dan partai politik saling menopang dalam mengeksploitasi bumi untuk kentingan ekonomi, di satu sisi. Masyarakat sipil yang peduli terhadap krisis lingkungan hidup dan ketidakadilan iklim, terus menerus melakukan gerakan untuk mengatasi krisis tersebut demi sebuah keadilan iklim bagi kehidupan, terutama kehidupan anak-anak saat ini pada masa depan. Jadi, gerakan masyarakat sipil untuk keadilan iklim adalah gerakan saat ini karena masa depan sudah berlangsung saat ini.
Tulisan Bennet tersebut saya jadikan inspirasi untuk esai akhir tahun 2022 dan awal tahun 2023 ini. Meskipun dengan aksentuasi yang sedikit berbeda, esai ini bernada keprihatinan dan harapan akan hal yang sama seperti yang diungkapkan oleh Bennet dalam tulisannya tersebut.
***
Mungkin ada di antara kita masih ingat sosok gadis berusia enam belas tahun dari Swedia yang bernama Greta Thunberg. Ia mengejutkan para pemimpin dunia dengan meninggalkan sekolah dan melakukan mogok terkait masalah perubahan iklim di luar gedung parlemen di Stockholm pada tahun 2018. Kefasihan dan kemampuannya berbicara menarik perhatian dunia terhadap anak-anak yang mengkhawatirkan masa depan mereka. Segera setelah itu, ia diundang untuk berbicara di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Greta Thunberg juga naik kereta api selama 32 jam dari Swedia ke Pegunungan Alpen ke tempat Forum Ekonomi Dunia. Ia memarahi para elit dunia yang terbang dengan jet pribadi mereka. Ia menjadi nominator Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2019. Di hadapan Parlemen Inggris, ia menarik perhatian dunia mengenai keadaan bumi saat ini dengan pidatonya:
Nama saya Greta Thunberg. Saya berusia 16 tahun. Saya dari Swedia. Dan saya berbicara atas nama generasi mendatang…
Saya beruntung dilahirkan di waktu dan tempat di mana semua orang mengatakan kepada kami untuk bermimpi besar… Orang-orang seperti saya memiliki semua hal yang dapat kami harapkan, namun sekarang kami dapat tidak memiliki apapun…
Sekarang kita bahkan mungkin tidak memiliki masa depan lagi. Karena masa depan itu dijual sehingga sejumlah kecil orang bisa menghasilkan uang dalam jumlah yang tak terbayangkan. Masa depan dicuri dari kami setiap kali Anda mengatakan kepada kami bahwa langit adalah batasnya dan hanya hidup sekali.
Dalam nada keprihatinan, Greta Thunberg berbicara tentang masa depan. Akan tetapi kapan masa depan itu terwujud secara nyata? Perihal masa depan, kita kerap kali merenungkannya pada setiap akhir tahun untuk menyambut tahun baru. Demikian pula sekarang ini. Tahun 2022 segera berakhir. Tahun 2023 sudah di depan wajah. Kita akan melewati tahun lama. Tahun baru akan kita masuki. Meninggalkan tahun lama dan memasuki tahun baru merupakan “ritus” rutin setiap orang di seluruh dunia.
Sepanjang tahun 2022, waktu yang dihayati pun kerap kali merupakan waktu mekanis. Hidup dalam waktu mekanis pun boleh jadi merupakan kronos. Kemarin, hari ini, dan besok merupakan waktu yang dijalankan secara berurutan saja. Agar kronos tersebut mempunyai makna, kita selalu berefleksi. Hari ini kita melakukan refleki atas hari kemarin. Refleksi itu sekaligus sebagai proyeksi ke masa depan. Dengan demikian, kita selalu punya alasan untuk ikhlas meninggalkan masa lalu dan optimis memasuki masa depan. Meskipun segala hal yang ada di-dalam-sepanjang masa depan, kita tak pernah dapat mengetahui semuanya secara pasti dan terang-benderang.
Kita tidak dapat mengetahui secara pasti apa saja yang akan terjadi pada masa depan. Akan tetapi ada hal yang pasti baik untuk kemarin, hari ini, untuk besok, yakni kita hidup di planet bumi. Bumi adalah “rumah” kita bersama (Paus Fransiskus, Laudato Si’, 2016). Sebagai “rumah”, bumi bukan saja sebagai sumber daya tetapi juga ekosistem. Sebagai sumber daya, bumi adalah objek yang dapat dieksploitasi setiap. Akan tetapi bumi tidak sekedar sumber daya. Lebih dari itu, bumi merupakan ekosistem, yang di dalamnya, setiap unsur saling berkorelasi dan saling menunjang dalam sistem kehidupan (Murray Bookchin, Toward an Ecological Society, 1980).
“Ritus” rutin meninggalkan tahun lama dan memasuki tahun baru dan refleksi tentang kronos hidup yang kita lakukan berlangsung dalam status bumi yang demikian. Dalam ritus rutin dan refleksi itu, apakah kita memberikan perhatian dan pikiran untuk bumi? Apakah bumi hanya semata-mata sumber daya? Mengapa bumi merupakan ekosistem?
Dalam “ritus” rutin dan refleksi kita berupaya agar tetap memberikan ruang dalam hati dan pikiran untuk senantiasa diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan tersebut. Membiarkan hati dan pikiran diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan itu memungkinkan kita dapat menggerakkan aksi untuk dan demi bumi.
Memikirkan dan menggerakkan aksi untuk dan demi bumi merupakan hal mendesak bagi kita. Perubahan iklim dan pemanasan global kian meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu tanda perubahan iklim dan pemanasan global adalah anomali suhu udara. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan data mencengangkan pada 23 Desember 2022 mengenai perubahan iklim ekstrim (Data lengkap dapat diakses pada http://202.90.199.61:81/BMKG_Pusat/Klimatologi/Informasi_Indeks_Ekstrim_Perubahan_Iklim.bmkg dan https://www.bmkg.go.id/iklim/?p=ekstrem-perubahan-iklim).
BMKG menulis pada lamannya sebagai berikut:
Berdasarkan data dari 89 stasiun pengamatan BMKG, normal suhu udara bulan November periode 1991-2020 di Indonesia adalah sebesar 27.14 oC (dalam range normal 21.35 oC – 29.95 oC) dan suhu udara rata-rata bulan November 2022 adalah sebesar 26.98 oC. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, anomali suhu udara rata-rata pada bulan November 2022 menunjukkan anomali Negatif dengan nilai sebesar -0.16 oC. Anomali suhu udara Indonesia pada bulan November 2022 ini merupakan nilai anomali tertinggi ke-27 sepanjang periode data pengamatan sejak tahun 1981.
Sebagian besar penyebab perubahan iklim dan pemanasan global adalah karena tindakan manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan alih fungsi lahan (Daniel Murdiyarso, 2003; http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/info-iklim/perubahan-iklim;). Akibat dari tindakan manusia meskipun berskala lokal tetapi pengaruhnya sampai ke bagian bumi yang paling jauh dari jangkauan manusia sekalipun. “Bagian-bagian dari bumi yang sangat jauh dari jangkauan manusia pun terpengaruh oleh aktivitas manusia, “ demikian ucap filosof ekologi Murray Bookchin dalam The Philosophy of Social Ecology (1996). Kita senantiasa menempatkan dan memperlakukan bumi sebagai sumber daya. Mengeksploitasi bumi untuk kepentingan manusia. Orientasi eksploitasi bumi adalah untuk memenuhi kepentingan manusia, khususnya kepentingan ekonomi. Orientasi ini lahir dari watak peradaban yang antroposentrik, peradaban yang menempatkan manusia sebagai pusat, asal, dan tujuan dari segala sesuatu.
***
Salah satu buah dari peradaban antroposentrik adalah ilmu pengetahuan ilmiah dan teknologi. Antroposentrisme mengagungkan kapasitas nalar manusia. Dengan cara kerja deduktif maupun induktif, nalar menghasilkan pengetahuan yang benar. Bertumpu pada kapasitas berspekulasi, nalar deduktif menghasilkan pengetahuan apriori. Bertumpu juga pada aneka pengalaman indrawi sebagai awal mula pengetahuan, nalar induktif mengolah aneka pengalaman itu dan menghasilkan pengetahuan aposteriori.
Baik dengan cara kerja deduktif maupun induktif, nalar berusaha mengetahui bumi dan seluk-beluknya. Berpijak pada metode pengamatan, observasi, dan eksperimen, sebagian dari kita yang berkiprah dalam ilmu pengetahuan meneliti alam, khususnya bumi. Dalam kerangka metodologi ilmu pengetahuan ilmiah, bumi (alam) adalah objek material yang dibedah setiap bagian dan ceruknya untuk menemukan dan mengetahuan hukum-hukum logis alam.
Pada tangan ilmuwan alam dan dalam metode kerja ilmu alam, logika kausalitas pada bumi (alam) dideskripsikan sebagaimana adanya. Kita mengetahui bumi (alam) sebagaimana adanya. Logika kausalitas inilah yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai kepentingan kognitif dari ilmu alam. Artinya, ilmuwan alam memperjuangkan kepentingan kognitif ilmu alam, yakni mendeskripsikan logika kausalitas sebagaimana adanya.
Akan tetapi penemuan dan pengetahuan mengenai hukum-hukum alam tidak bertujuan pada dirinya. Manusia menghasilkan ilmu pengetahuan (alam) tidak hanya demi (perkembangan) ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak sekedar untuk memenuhi rasa ingin tahu manusia akan alam. Setelah mengetahui dan mengerti logika kausalitas dalam alam, selanjutnya manusia menaklukkan dan mengolah alam bagi kepentingan manusia. Bila sebelum ilmu pengetahuan alam berkembang, seorang petani di daerah tropis hanya bisa menanam sekali dalam setahun pada musim hujan, maka setelah para ilmuwan alam mengetahui bahwa struktur geografis bumi/tanah bisa diubah dan aliran air dari gunung bisa dibelokkan dengan ke areal pertanian, maka petani dapat menanam lebih dari sekali dalam setahun. Pengubahan struktur geografis dan pembelokan aliran air adalah buah dari dua dua anak ilmu alam yakni ilmu geografi dan ilmu pertanian.
Ilmu pengetahuan alam menempatkan bumi (alam) sebagai materi (tak bersifat rohani). Oleh karenanya, bumi (alam) dapat dikuasai dan dieksploitasi dengan menggunakan teknologi modern. Dalam kerangka demi kepentingan manusia, dengan kekuatan ilmu pengetauan dan teknologi modern, bumi ditaklukkan untuk memenuhi hasrat ekonomi manusia. Pada titik ini, bumi (alam) adalah objek yang dapat dikalkulasi dan ditransaksi dalam cara kerja logika ekonomi. Studi dan penelitian terhadap alam berlangsung dalam logika untung-rugi secara ekonomi. Bumi semata-mata sumber daya ekonomi.
***
Peradaban antroposentrik pada mulanya digerakkan oleh para filsuf Yunani kuno dengan tujuan agar manusia mengetahui keberadaan dirinya dan bijaksana menempatkan dirinya di dalam alam. Pada era Modern, para filsuf mengokohkan lagi keberadaan manusia di tengah alam. Dengan kekuatan nalarnya, alih-alih manusia mengokohkan sikap bijaksana menempatkan diri dalam alam, justru yang dikokohkan adalah dominasi manusia terhadap bumi (alam).
Peradaban yang antroposentrik justru telah “membunuh” manusia dan bumi (alam) sebagai “rumah” tinggalnya. Dampaknya konkretnya adalah perubahan iklim dan pemanasan global ekstrim dan segala akibat buruknya bagi manusia dan alam pada masa sekarang. (Kemungkinan) akan terus berlanjut pada masa depan, bila tidak ada perubahan dan peralihan dari peradaban yang antroposentrik ke peradaban yang ekologis.
Di hadapan persoalan perubahan iklim dan pemanasan global, ilmu pengetahuan ilmiah tidak hanya digdaya dengan kemampuannya mendeskripsikan bumi (alam) sebagaimana adanya. Tetapi juga mengenakan suatu wawasan dunia (Weltanschauung) mengenai bumi (alam). Ilmu pengetahuan tidak semata-mata memungkinkan manusia melihat bumi (alam) sebagaimana adanya tetapi juga menggerakkan manusia untuk seharusnya bertindak secara etis terhadap bumi (Ignas Kleden, Fragmen Sejarah Intelektual, 2020). Terhadap bumi (alam), kita tidak saja memperlakukan bumi sebagaimana adanya tetapi juga bertindak sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, kita mengetahui bumi sebagaimana adanya supaya dapat bertindak sebagaimana seharusnya.
Bumi dalam bingkai wawasan dunia adalah bumi yang terhadapnya bagaimana seharusnya kita bertindak. Kita mengenakan suatu sikap etis terhadap bumi. Sikap ini bukan berarti menempatkan bumi (alam) sebagai makhluk moral. Sebaliknya, dengan karena kita sebagai makhluk moral, maka kitalah yang seharusnya mengenakan sikap etis terhadap bumi. Sikap etis ini bertumpu pada cara pandang etis terhadap bumi. Dalam cara pandang ini, bumi (alam) adalah ekosistem, bumi adalah sistem kehidupan (Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, 2014).
Di dalam sistem ini, setiap makhluk hidup berkorelasi saling dan saling menunjang. Alam adalah sebuah keseluruhan yang setiap unsur dan bagian di dalamnya tidak terpisahkan satu sama lain dan bersifat dinamis. Setiap bagian berada dalam keseluruhan proses kosmis. Oleh karena itu, kita sebagai makhluk moral mengenakan batas-batas tertentu manakala bersikap terhadap bumi. Keharusan etis dalam bertindak terhadap bumi merupakan keniscayaan.
Tahun 2022 berakhir dengan berbagai peristiwa alam. Semua peristiwa tersebut adalah karena sikap dan tindakan kita terhadap bumi yang lebih mengutamakannya sebagai sumber daya ekonomi. Setiap jengkal dari alam telah dan terus dikalkulasi dan diperlakukan secara ekonomi. Benar bahwa manusia memerlukan ekonomi. Tetapi ekonomi bukan satu-satunya hal yang menentukan masa depan hidup manusia dan bumi ini. Memperlakukan bumi secara ekonomik semata berarti kita tidak memulai masa depan pada saat sekarang. Jika demikian, kekhawatiran Greta Thunberg mengenai ketiadaan masa depan anak-anak justru dimulai hari ini.
***
Kita adalah makhluk moral yang senantiasa merefleksikan masa lalu pada masa sekarang sebagai antisipasi masa depan. Itu kita lakukan di bumi. Refleksi etis kita tentang masa lalu dan masa depan senantiasa berlangsung dalam dan bersama bumi (alam) sebagai sistem kehidupan. Ini berarti masa depan adalah masa depan bumi karena kita ada dalam sebuah sistem kehidupan. Jadi, masa depan adalah sekarang ini dan di sini dalam arti ekologis (bersama bumi sebagai rumah kita).
——————————————————————
Bahan Bacaan:
- Bennet, W. Lance, 2021, Communicating the Future-Solutins for Enviroment, Economy, and Democracy, Cambrigde, Polity Press.
- Bookchin, Murray, 1996, The Philosophy of Social Ecology–Essays on Dialectical Naturalism, Montreal/New York/London, Black Rose Books.
- _______________, 1980, Toward an Ecological Society, Montreal, Black Rose Books.
- Keraf, A. Sonny, 2014, Filsafat Lingkungan Hidup–Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, Yogyakarta, Kanisius.
- Kleden, Ignas, 2020, Fragmen Sejarah Intelektual–Beberapa Profil Indonesia Merdeka, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- Murdiyarso, Daniel, 2003, Protokol Kyoto–Implikasinya bagi Negara Berkembang, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
- Paus Fransiskus, 2016, Laudato Si’ (Edisi terjemahan bahasa Indonesia), Jakarta, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.