• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Minggu, November 9, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

Pasca – Filsafat

by Redaksi
Juli 31, 2024
in OPINI
0
Pasca – Filsafat

Foto: Dari Google

0
SHARES
61
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

GOENAWAN MOHAMAD

 

LON Musk: ganteng, superkaya, investor dengan teknologi terbaru ke angkasa luar, entrepeneur abad ke-21. Ia seakan-akan mengulang semangat Julius Caesar, sang penakluk enam ribu tahun yang lalu, yang berujar angkuh: veni, vidi, vici-“aku datang, aku lihat, aku menang”.

Kata Musk: “Jika yang disebut masa depan tak termasuk kemungkinan aku ada di antara bintang-bintang dan jadi makhluk pelbagai planet, aku akan benar-benar murung.”

Musk adalah optimisme yang gembul, yang akarnya tertanam bersama lahirnya dunia modern, ketika manusia merasa mampu menaklukkan alam dan mengakumulasi ilmu pengetahuan. Tapi sedikit anakronistis. Sejak abad ke-20, optimisme itu tak lagi bisa penuh. Sejauh-jauhnya Musk dan teknologinya menjelajahi bintang, ia akan berhenti di satu pertanyaan yang muskil: apa sebenarnya yang ia raih? Jangan-jangan sebuah ruang yang sebenarnya hasil konstruksi pikiran dan syahwat sendiri.

Tentu saja Musk – juga seluruh ikhtiar sains dan teknologi – tak mempersoalkan itu. Dan justru karena tak terhambat persoalan itu, sains dan teknologi menghasilkan hal-hal yang menakjubkan.

Saya ingat Ibu Sus, guru fisika yang mengajarkan sains dan kerendanan hati. Pesannya: “Kata “ilmu alam’ perlu kalian perkatikan. Fokus mata pelajaran ini adalah ilmu, teorinya, rnetodenya, matematikanya. Bukan alam. Terlalu luas.” Suatu hari ia membawa biola ke kelas (ia pemain biola yang impresif) dan berkata, “Kita tak akan menyimpulkan dari mana datangya melodi-dari getaran senar atau dari sesuatu dalam diri kita.” Yang penting adalah menggunakan rumus, misalnya f = n/t untuk mengetahui periode dan frekuensi getaran dalam sebuah nada.

Ya, Ibu Sus mengajarkan sairis dan kerendahan hati. Fisika kuantum-yang dengan matematika yang sangat akurat “mengolah” anasir sub-atomik-juga membatasi diri dalam bertanya dan berharap.

Setidaknya jika kita simak kata-kata Niels Bohr, pemimpin kelompok fisikawan kuantum yang bertemu di Kopenhagen Itu: “Dalam deskripsi kami tentang alam, yang jadi tujuan bukanlah mengungkapkan hakikat fenomena yang sebenarnya, melainkan hanya menelusuri, sejauh mungkin, hubungan di antara segi-segi yang berlipat-lipat pengalaman kami.”

Dengan kata lain, tak ada ambisi mengusut apa “hakikat fenomena”. Benarkah ada dunia realitas yang mandiri dari per sepsi kita tentangnya?

Heisenberg, salah satu tokoh Kelompok Kopenhagen, menegaskan: “Mustahil”. Mustahil mengasumsikan ada sebuah dunia yang obyektif, yang tak tergantung dari kita. Tapi kaum “realis” seperti Einstein membantah. Mereka menganggap Heisenberg tak mau mengakui bahwa fisika kuantumnya adalah “sebuah gambaran yang tak lengkap tentang hal-hal yang nyata”,

Lee Smolin dalam Einstein’s Unfinished Revolution mengurai kan pertentangan theori itu-pertentangan tanpa kata putus, tanpa juri, baik dari sains maupun dari filsafat.

Sains, jika kita ingat Bohr, “hanya menelusuri” hubungan di antara pelbagai segi pengalaman. Sementara filsafat, beribu tahun setelah Plato, ternyata tak kunjung menyimpulkan apa yang secara universal diakui sebagai “benar”.

Dalam situasi itu pemikir seperti Richard Rorty menyimpulkan, kalaupun ada yang bisa dianggap “benar”, ia tak punya fondasi yang universal. Proses mencapai “kebenaran” bukanlah dengan mengacu ke satu Sabda yang Kekal, melainkan dalam “percakapan” di suatu masa, di suatu tempat. Apa yang benar adalah apa yang disetujui sebagai “benar” oleh mereka yang oleh peserta lain dianggap “rasional”. Bagi Rorty, pengetahuan (episteme) tak punya fondasi kecuali kesepakatan sosial.

Artinya berita tentasig kehidupan dan kematian flsafat telah dibesar-besarkan. Yang pas, kini filsafat bukan lagi wali penjaga. Filsafat tak lagi jadi zona yang otonom untuk mengusut kebenaran. Tak lagi jadi satu Fach.

Maka satu “kebudayaan pascaf-filsafat” perlu bangkit. Dalam “kebudayaan pasca-filsafat” yang tumbuh adalah percakapan. Tak ada lagi hierarki antara bidang-bidang pemikiran dan kreativitas. Jika ada filsafat, ia adalah “edifying philosophy”, yang mencerahkan seraya mencari “jalan baru yang lebih baik, lebih menarik, lebih berbuah”.

Di sana tak ada yang menggantikan filsafat untuk menggariskan apa itu kebenaran. Yang pasti bukan sains. Rorty bukan penganut scientism. Pragmatism -nya, “tak menegakkan sains sebagai sebuah berhala”. Ada kesetaraan antara sains dan, misalnya, kesusasteraan.

Hidup pun mengalir, bebas, tak di kungkung doktrin dalam  situasi “pasca-filsafat” itu. Tak aneh jika Heidegger yang dibaca  Rorty dengan tekun, menyambut akhir filsafat dengan lega. Bukan berkabung. Baginya, “akhir filsafat”  bukanlah keadaan yang “merosot dan impoten”. Bukan pula masuk kubur. “Akhir filsafat” berarti bahwa rnetafisika (Barat) yang berkembang sejak Plato telah komplet, di atas Vollendung der Metaphysik itu kini terbuka kemungkinan berpikir yang lain.

Tapi Herdegger berhati-hati. Ketika filsafat sebagai perenungan ditinggalkan, segera datang masa ketika manusia tak sempat merenung, lupa “Ada”, tak bersyukur, serba kalkulatif, dengan gairah menaklukkan, dengan sains dan teknologi yang tak rendah hati. Veni, vidi, vici.

——————-

 

Sumber:  “Catatan Pinggir”, Majalah Tempo, 14 November 2021

 

ShareTweetSend
Next Post
Oposisi  Gaya  “Lembu Peteng”

Oposisi Gaya "Lembu Peteng"

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Belajar dari Perang Paragreg, sebuah Refleksi Sejarah Bangsa ke Depan

Belajar dari Perang Paragreg, sebuah Refleksi Sejarah Bangsa ke Depan

2 tahun ago

Atasi Gelap Gulita di Pedalaman Manggarai Timur, Jerman Menolong: 30 Unit Panel Solar Tiba di Wukir, Elar Selatan

5 tahun ago

Popular News

    Newsletter

    Beranda Negeri

    Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
    SUBSCRIBE

    Category

    • BERITA
    • BIOGRAFI
    • BUMI MANUSIA
    • Featured
    • JADWAL
    • JELAJAH
    • KOLOM KHUSUS
    • LENSA
    • OPINI
    • PAPALELE ONLINE
    • PUISI
    • PUSTAKA
    • SASTRA
    • TEROPONG
    • UMUM

    Site Links

    • Masuk
    • Feed entri
    • Feed komentar
    • WordPress.org

    About Us

    Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

    • Redaksi & Kontak
    • Tentang Kami
    • Privacy Policy

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    No Result
    View All Result
    • HOME
    • BERITA
    • JELAJAH
    • BUMI MANUSIA
    • BIOGRAFI
    • OPINI
    • KOLOM
    • SASTRA
    • Lainnya
      • TEROPONG
      • PUSTAKA
      • PAPALELE ONLINE
      • LENSA
      • JADWAL

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In