Agama dimulai dari hening dan saat yang
dahsyat dan berakhir dengan konstruksi. Budha
di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa
di puncak Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap
situasi hadir sebagai situasi terpuncak, momen
yang tak lazim, ketika seseorang mengalami
kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous,
sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius,
menakutkan, memukau. Di abad ke-5, atau 500
tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan
perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan
kasih dan ngeri.”
Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih
dan ngeri, ada amor dan horror – tapi tampaknya
sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan
ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: desain dan
bangunan. Berabad-abad setelah bertemu dengan
sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu yang
tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita
kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja
yang gigantis, patung Budha dari emas yang
terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang
berkilau – dan umat yang makmum, berdesak …
Tampaknya pengalaman religius akhirnya selalu
dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh
– yang sebenarnya fantasi tentang yang kekal.
Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi
tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan – yang
sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona.
Akhirnya bukan sepi yang mengambil alih, tapi
struktur.
Yang umumnya tak disadari ialah bahwa struktur
itu harus disusun dengan kekuatan yang terhimpun.
Siasat dan alat harus dikerahkan seperti ketika
kita membangun imperium dan mengurus bisnis.
Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk
waktu – yang tak lagi sama dengan momen ajaib.
Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan
diukur. Waktu jadi seculum.
Persis di situlah yang sekuler merasuk di dalam
yang religi.
Sumber Buku Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, Goenawan Mohamad, Kata Kita,2007.