BUNDA, Ibu, Ibunda, Mama atau sebutan lain dalam bahasa lokal di masing-masing daerah di negeri ini adalah orang yang melahirkan putera dan putrinya. Daoed menyapa ibunda terkasihnya dengan “emak”, ungkapan kasih sayang dan rasa hormat seorang anak kepada sang bunda, wanita yang telah melahirkannya sejak masa kanak-kanak di tanah asalnya, Medan, Sumatera Utara, hingga merampungkan studi doktoralnya di Universite Pluridisciplinaire de Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Prancis, kurun waktu tahun 1964-1972.
Ahad, 8 September 2019, saya segera meluncur ke Jalan Raya Matraman, Jakarta Timur, tak jauh dari Gramedia, tokoh buku paling jumbo di DKI Jakarta. Bertemu dengan dua sahabat: Ben dan Paskalis, kami ngalor ngidul, tentang aktivitas kami masing-masing selama sepekan terakhir. Saya beruntung bersua dengan dua sahabat ini. Mereka sama-sama jebolan sekolah tinggi filsafat, setelah tanggal panggilannya menjadi imam dan pelayan Sabda.
Ben lulus Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, Maumere, Flores. Lembaga pendidikan calon imam Katolik di Flores, Pulau Bunga ini baru saja merayakan 50 Tahun Usia Emas pekan lalu. Lembaga pendidikan ini lulusannya menyebar di hampir semua benua di dunia dan hampir dipastikan –terutama yang bekerja di tanah Misi– bergelar akademik paling rendah strata 2 (S-2). Selebihnya, tentu doktoral (S-3).
Kemampuan akademiknya, jangan tanya. Apalagi, yang kuliah S-2 atau S-3 di kampus-kampus bergengsi di luar negeri seperti Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Atau kampus-kampus kelas dunia seperti di Amerika, Australia maupun Eropa. Dr Paul Budi Kleden, SVD, Dr Markus Solo Kewuta SVD atau Pastor Dr Polykarpus Ulin Agan SVD, misalnya. Nama-nama itu muncul begitu saja dalam memori saya. Tak berlebihan, tentunya.
Budi melewati masa studi doktoralnya di Austria. Saat ini imam asal Keuskupan Larantuka, Flores Timur, NTT adalah pimpinan Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD) Sedunia, yang berkedudukan di Roma, Italia. Sedangkan Pastor Markus adalah imam satu-satunya dari Indonesia yang pertama kali menduduki jabatan sebagai Penasehat Sri Paus, pimpinan Gereja Katolik Sedunia di Vatikan. Tuan Markus sehari-hari bekerja di desk Dialog Antarumat Beragama di Vatikan.
Begitu pula Ulin Agan adalah imam yang juga mengajar di Jerman, negara yang banyak pula memproduksi filsuf kelas dunia seperti Kardinal Joseph Ratzinger, yang belakangan diangkat jadi Paus dengan nama Paus Benediktus, pemimpin gereja Katolik sejagat.
Sedang sahabat yang lain, Bele –begitu saya akrab menyapa Paskalis- adalah lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Bele menyelesaikan studinya di STF Driyarkara, kampus yang berisi aneka mahasiswa dari berbagai latar belakang agama.
STF Driyarkara adalah salah satu kampus favorit mahasiswa yang mau mendalami filsafat dan teologi; kampus yang menekankan kebebasan berdiskusi, beragumentasi, dan larut dengan teori-teori filsafat yang berat dan kepala pusing bagi orang awam seperti saya. Kampus itu didirikan filsuf N Driyarkara. Letaknya di jembatan Serong, Rawasari, Jakarta.
Para pengajarnya kebanyakan adalah doktor lulusan luar negeri. Saya sebut saja beberapa di antaranya adalah Prof Dr Franz Magnis-Suseno, imam asal Jerman yang sudah menjadi warga negara Indonesia, Prof Dr Mudji Sutrisno, Prof Dr Alex Lanur, Dr Franky Budi Hardiman, Prof Dr Adrianus Sunarko OFM, Prof Dr Eddy Kristiyanto, Dr Agustinus Setyo Wibowo, Dr Budhi Munawar Rachman, Hendra Sutedja, Lic. Phil, Antonius Widyarsono, M.Phil, Dr Petrus Kanisius Aman, dll.
Usai menuntaskan kopi dan melibas satu potong roti salah satu room di sisi timur Gramedia, saya bergerak ke pintu utama. Mengelilingi tumpukan buku bekas, saya bersua ‘EMAK–Penuntunku dari Kampung Darat Sampai Sorbonne’ Daoed. Emak terbit perdana tahun 2003 dan diterbitkan kembali PT Kompas Media Nusantara tahun 2010. Tak lama saya juga menemukan ‘KH Hasyim Muzadi Sang Peace Maker’ karya Tasirun Sulaiman.
Sesungguhnya, EMAK Daoed, sudah lama saya baca sekilas tatkala diresensi –kalau tak salah– Majalah Berita Mingguan TEMPO beberapa tahun silam. Dalam Prolog EMAK yang saya sangat beruntung beli dan ngisi waktu membacanya selama berada di dalam perut Transjakarta rute Matraman ke Terminal Bus Kampung Melayu, Daoed menulis sangat inspiratif. Dalam judul Prolog bertajuk ‘Emak, Bapak, dan Kami’, Daoed menulis, “Ketika panitia ujian menjelaskan dengan khidmat bahwa dsertasi telah kusaji dan pertahankan dengan baik sekali dan karenanya aku berhak menyandang gelar doktor”.
Kala itu Daoed bahagia telah berhasil meraih gelar akademik bergengsi: Doktor. Daoed melanjutkan, “Mendengar ucapan selamat seperti itu mataku berkaca-kaca. Aku tahu benar bahwa prestasi seperti itu adalah berkat perbuatan banyak orang. Kubiarkan pikiranku menelusuri masa lalu, mengingat kembali semua kejadian yang telah mengantarkan aku ke ruang ujian doktor hari ini di Sorbonne, membayangkan lagi wajah orang-orang yang telah membuatku mencapai sukses yang membanggakan ini,” kata Daoed.
Ia meneruskan, “Barisan orang-orang ini ternyata cukup panjang dan di ujung permulaannya tegak berdiri seorang perempuan bertubuh langsing semampai, dengan penampilan yang anggun dan wajah mencerminkan ketinggian budi. Perempuan tersebut adalah ibuku, yang menurut kebiasaan di daerah kelahiranku, biasa kusebut “emak”. Memang emak-lah, emak-ku, yang pada awal hidupku selalu mendorong aku untuk belajar.”
Membaca EMAK adalah membaca kisah seorang anak yang begitu mengasihi emak-nya. Bagi saya yang dilahirkan seorang ibu di tengah hutan, seorang perempuan desa sederhana, Daoed telah mengajarkan satu hal penting: surga ada di telapak kaki ibu atau “emak” dalam versi kampung Daoed. Ia, Daoed, menulis dengan hati untuk ibundanya. Menyentuh.
Mari kita baca dalam Epilog EMAK Daoed: “Alangkah bahagianya mempunyai emak. Dia yang membesarkan aku dengan cinta keibuan yang lembut. Dia yang selalu memberikan aku pedoman di dalam perjalanan hidup. Dia yang di setiap langkah, tahap dan jenjang, membisikkan padaku dalam usahaku mengolah budaya kreatif, baik yang terpaut pada ilmu pengetahuan maupun yang menyangkut dengan seni.”
Kemudian Daoed melanjutkan,
“Dia yang tidak pernah mengecewakan, apalagi menyakiti hatiku. Satu-satunya duka yang disebabkannya adalah ketika dia harus pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya”. Dan Daoed telah mengajak saya, menghormati ibunda terkasih, menelusuri kasih ibu sebagaimana ia lukiskan dalam EMAK. Sungguh mati.
Mau tahu Daoed? Daoed atau lengkapnya Daoed Joesoef itu tokoh pendidikan Tanah Air. Ia pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan III di era Presiden Soeharto.
Daoed berpulang pada Selasa, 23 Januari 2018. Ia memenuhi panggilan Tuhan Sang Sabda menyusul emak-nya. Namun, ia meninggalkan EMAK. Daoed mewariskan saya, dan tentu siapaun yang punya emak, tentang ibu yang yang hamil dan membiarkan rahimnya didiami selama sembilan bulan sepuluh hari, melahirkan, mendidik, dan membesarkannya anak-anaknya.
Dan EMAK adalah warisan berharga Daoed (baca juga https://ansel-boto.blogspot.com/…/resensi-emak-dalam-dalam-…) untuk siapa saja untuk ingat ibunya sebagai sosok inspiratif dalam hidup dan karya putra-putrinya. Terima kasih, emak. Terima kasih, Daoed.
Jakarta, 11 September 2019
Ansel Deri
Untuk ema(k) di kampung halaman.