Oleh Ignas Kleden
Dalam retorika politik Indonesia dewasa ini masih sering terdengar keinginan atau harapan akan adanya pemimpin panutan. Seseorang dianggap menjadi panutan apabila dia memiliki kebajikan-kebajikan yang patut dicontoh oleh orang lain, yang melihat dalam diri sang panutan suatu model tentang perilaku yang baik dan benar. Dalam istilah antropolog Clifford Geertz dia diperlakukan sebagai suatu exemplary center yaitu suatu pusat yang penuh teladan.
Jarang kita menyadari bahwa memperlakukan seseorang sebagai panutan adalah mengasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kualifikasi moral di atas rata-rata, yang melampaui kemampuan moral orang kebanyakan. Dengan pengandaian semacam itu muncul ketidak-adilan yang secara tidak disadari diperlakukan pada diri sang panutan. Ini artinya, kalau sang panutan bertingkahlaku baik dan benar, maka hal itu diterima sebagai kenyataan yang serba biasa, sesuatu yang semata-mata given, seakan-akan keteladanan moralnya bukanlah hasil perjuangan pribadinya dalam mencapai nilai-nilai yang lebih luhur. Sebaliknya, kalau dia melakukan suatu kesalahan (dan mungkin kesalahan yang kecil saja) maka segera saja dia dianggap mengecewakan harapan banyak orang, menimbulkan frustrasi dan amarah pada para pengikutnya, yang menganggap dia tidak memenuhi suatu standar yang telah mereka terapkan pada dirinya. Dia diperlakukan tidak sebagai manusia biasa yang kadangkala tak berhasil mengatasi kelemahannya sendiri.
Paham tentang pemimpin panutan sangat mungkin berasal dari masa aristokrasi, tatkala hubungan patron-klien merupakan pola utama yang mengatur hubungan sosial. Gampangnya, mereka yang dianggap pemimpin, juragan atau pembesar menjadi juga model bagi perilaku rakyat biasa, anak buah atau para bawahan.
Ungkapan bahasa Prancis noblesse oblige merupakan peninggalan dari masa aristokrasi, yang percaya bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa serta kewajiban yang lebih banyak, termasuk di dalamnya juga kewajiban dalam memberikan teladan hidup. Paham ini diubah secara radikal dalam sistem demokrasi yang bertolak dari ide utama tentang persamaan setiap orang.
Aspek persamaan yang sering ditekankan dalam diskusi politik adalah persamaan di depan hukum, yaitu ketetapan bahwa tiap orang yang melakukan kesalahan yang sama ketika berada dalam kondisi yang sama, harus dihukum dengan hukuman yang sama, sekali pun mereka berasal dari status sosial yang berbeda. Namun demikian, secara implisit, demokrasi mengandaikan adanya semacam persamaan dalam moralitas di antara semua orang, tetapi dalam formula negatif. Berarti, demokrasi tidak mengandaikan bahwa semua orang mempunyai kebajikan yang sama, tetapi orang-orang dengan kebajikan yang berbeda-beda itu, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, khususnya kalau mereka mempunyai kekuasaan di tangannya. Asas noblesse oblige diganti oleh prinsip power tends to corrupt, yaitu bahwa kecenderungan kepada penyelewengan dan kejahatan selalu melekat pada tiap kekuasaan. Ini jelas dari kenyataan sederhana bahwa kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri, dan kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar dari kemampuannya mengritik dan mengawasi dirinya.
Dalam aristokrasi diandaikan bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa kewajiban dan kebajikan yang lebih tinggi. Dalam demokrasi diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang semakin berat. Karena itu dalam demokrasi tidak diharapkan bahwa seorang pemimpin politik haruslah seorang panutan (sebagaimana berlaku dalam kehidupan agama misalnya).
Mereka yang berada dalam kabinet, DPR, birokrasi pemerintahan, dan bahkan kepala negara dan kepala pemerintahan sendiri — untuk memakai istilah sosiologi Max Weber — bukanlah moral virtuosi, yaitu orang-orang yang dikarunia kemampuan moral yang lebih tinggi dari kemampuan moral rata-rata orang kebanyakan. Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang dipimpinnya, bahkan mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan, karena mereka memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalah-gunakan. Rakyat biasa tidak mengalami kerentanan tersebut, karena mereka tidak memiliki kekuasaan. Inilah sebabnya, pemimpin yang baik dalam sistem demokrasi bukanlah pemimpin panutan. Dia tidak usah berpretensi menjadi pemimpin yang tanpa cela atau bebas dari segala cacat. Secara demokratis, pemimpin yang baik hanya perlu tunduk pada pengawasan publik, baik pengawasan melalui hukum yang berlaku, mau pun kontrol sosial oleh para warga.
Pemimpin yang baik harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia mempunyai moral courage untuk mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut. Jalan ini jauh lebih menguntungkannya secara politik daripada kalau dia berkelit dengan berbagai dalih bahwa dia tak melakukan kesalahan apa pun. Terhadap godaan penyelewengan kekuasaan, kita tidak mengharapkan bahwa seorang pemimpin akan demikian teguh hatinya dan demikian saleh jiwanya sehingga sanggup mengatasi godaan penyelewengan dengan kekuatannnya sendiri.
Demokrasi mengandaikan bahwa seorang pemimpin menjadi baik dan benar karena dia terhindar dari penyelewengan berkat pengawasan, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Di sini pemimpin menjadi baik dan berhasil bukan karena keunggulan pribadinya, tetapi karena dia dikekang dari praktek penyelewengan oleh pengawasan rakyatnya, meski pun dia sendiri ingin dan sangat tergoda untuk menyelewengkannya.
Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik, dan dia tidak usaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Kalau demokrasi sebagai sistem politik mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat demi kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat (dan bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (dan bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyatnya (dan bukan untuk dirinya atau kelompok yang kebetulan dekat dengan dirinya).
Sumber: Kompas, 6 Juni 2006