OLEH IGNAS KLEDEN
“The institution of the presidency is more important than the person who holds it—lembaga kepresidenan lebih penting daripada orang yang menjabatnya.” Kalimat itu ditulis Presiden George W Bush dalam otobiografinya berjudul Decision Points (2010) yang menjadi bestseller.
Dia selalu menyebut dirinya Presiden Bush 43 untuk membedakan diri dari ayahnya, Presiden Bush 41. Ayahnya, Presiden AS ke-41 dan dia sendiri Presiden AS ke-43. Pikiran itu rupanya muncul ketika dia baru saja diresmikan sebagai presiden pada 20 Januari 2001. Suatu pagi tatkala dia sedang membenahi kamar kerjanya di Gedung Putih dia mendapat kunjungan ayahnya. Sang ayah memberikan selamat kepadanya dengan ucapan ”Mr President” dan spontan dia menjawab dengan hormat ”Mr President”. Dalam pidato pengukuhan pertama pada Januari itu dia berkata, ”Kadangkala perbedaan-perbedaan di antara kita demikian dalamnya sehingga kita tampaknya menghuni bersama suatu benua, tetapi bukannya suatu negeri.”
Karena itu, dia meneruskan, ”Keadaan ini tidak kita terima dan tidak kita inginkan terjadi. Persatuan dan kesatuan kita merupakan tugas berat bagi para pemimpin dan para warga negara dalam tiap generasi. Maka inilah sumpah mulia saya: Saya akan bekerja membangun suatu bangsa yang memberi keadilan dan kesempatan (a nation of justice and opportunity)”.
Presiden dan lembaga kepresidenan
Distingsi yang dibuat antara pribadi presiden dan institusi kepresidenan sangat mungkin masih cukup asing bagi pengertian politik di Indonesia. Dalam membicarakan kemungkinan calon-calon presiden Indonesia saat ini seluruh perhatian seakan tersedot pada pribadi seorang calon. Hampir tak ada refleksi tentang lembaga kepresidenan dengan tanggung jawab dan martabat yang seyogianya dijunjung tinggi oleh siapa pun yang menjabatnya.
Hal sama terjadi dalam pembicaraan tentang para calon anggota legislatif. Pertukaran pendapat cenderung fokus pada pribadi calon tertentu dan bukan pada lembaga perwakilan rakyat tempat orang-orang itu menjalankan tugas. Presiden Bush 43 dalam otobiografinya menulis bahwa setiap orang yang ingin bekerja dalam bidang politik berkewajiban to serve a cause larger than oneself. Politikus mana pun harus melayani suatu tujuan dan kepentingan yang lebih besar dan lebih penting daripada dirinya sendiri.
Kita tahu, dalam tata negara Indonesia yang menganut sistem presidensial, presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan, dia melaksanakan berbagai kebijakan publik, setelah mendapat persetujuan DPR dan bertanggung jawab kepada DPR. Sebagai kepala negara, dia berkewajiban menjaga kesatuan bangsa dan memberikan jaminan bagi kelangsungan hidup bangsanya dalam suatu kesatuan teritorial negara. Dalam tugas ini dia tak hanya bertanggung jawab kepada DPR, tetapi juga kepada seluruh bangsa dan rakyat.
Sebagai kepala pemerintahan, presiden menjadi chief executive atau eksekutif utama dan tertinggi bagi pelaksanaan semua kebijakan publik. Meski tak mungkin seorang presiden sebagai kepala pemerintahan dapat menguasai semua masalah teknis yang ada dalam tugasnya, dengan asistensi menteri sebagai pembantu presiden dan dengan nasihat dan input berbagai lembaga yang membantunya serta dengan mendengar pendapat umum yang tersiar di berbagai media, sebagai eksekutif tertinggi dia akan dan harus mengambil keputusan tentang apa yang harus dilaksanakan dan memikul tanggung jawab politik atas tepat atau tidak tepatnya kebijakan yang ditetapkan.
Dalam ekonomi, presiden akan memutuskan apakah sebaiknya mencukupkan suplai beras dengan mengimpor beras yang lebih murah dari luar negeri atau membantu para petani dalam memperkuat sektor pertanian agar lambat laun dalam jangka waktu yang diperhitungkan para petani dapat memproduksi beras dengan harga bersaing. Hal yang sama dapat dikatakan tentang gula dan penguatan usaha petani tebu. Dalam bidang politik, presiden harus bersikap dan memutuskan apakah pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) tetap dilaksanakan secara langsung atau menerima desakan untuk memberlakukan kembali pemilihan bupati dan wali kota oleh DPRD.
Secara umum presiden diharuskan memilih apakah dia berani mengambil keputusan yang tidak populer meski dalam keyakinannya keputusan itu perlu dibuat demi kepentingan orang banyak atau dia selalu terombang-ambing di antara pro dan kontra pendapat umum tentang masalah yang harus diputuskannya. Dalam sejarah, menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945 muncul ketegangan tinggi antara Soekarno sebagai seorang pemimpin dan kaum muda revolusioner yang tidak sabar menunggu dan enggan berkompromi.
Para pemuda menghendaki agar kemerdekaan direbut melalui suatu perang terbuka dengan Jepang sesegera mungkin untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kemerdekaan itu hasil perjuangan dan pengorbanan dan bukan sekadar hadiah dari pihak Jepang. Sementara itu, Soekarno amat yakin bahwa militer Jepang masih kuat di Pulau Jawa sehingga sebuah perang dan konflik bersenjata akan menimbulkan pertumpahan darah yang luar biasa dan malahan menimbulkan komplikasi baru soal kemerdekaan. Di bawah todongan senjata para pemuda, Soekarno bertahan pada pendiriannya dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanpa pertumpahan darah yang tak perlu.
Sebagai suatu dalil, eksekutif utama seperti presiden diandaikan mampu menerjemahkan semua pertimbangan teknis menjadi kesimpulan politis dan selanjutnya berani menerjemahkan kesimpulan politis (sebagai kategori teoretis) menjadi keputusan politik (sebagai kategori praktis) melalui tindakan yang harus dilaksanakan. Dalam praktiknya presiden dapat memutuskan sesuatu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis yang ada (because of technical considerations), tetapi dapat juga memutuskan sesuatu bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis yang diajukan (in spite of technical considerations). Ini terjadi karena politik tak identik hal-hal teknis saja sehingga seorang petinggi setingkat presiden dapat mengambil keputusan berdasarkan intuisi politiknya yang berlainan atau melampaui pertimbangan teknis. Secara psikologis ini dapat menjelaskan mengapa presiden sebagai eksekutif utama punya beberapa prerogatif atau hak khusus yang dibenarkan oleh UU.
Tiga kemampuan
Singkat kata, sebagai eksekutif tertinggi presiden diharapkan mempunyai minimal tiga kemampuan. Secara intelektual dia harus sanggup menerjemahkan segala detail, kerumitan, dan komplikasi teknis menjadi suatu kesimpulan politis yang jelas dan dapat dikomunikasikan. Secara mental dia diharapkan mempunyai keberanian dan keteguhan hati untuk menerjemahkan kesimpulan politis menjadi keputusan politis yang dapat dilaksanakan. Seterusnya, secara moral dia harus mampu mempertahankan semacam netralitas terhadap berbagai desakan kepentingan pragmatis dan tuntutan ideologis berbagai kelompok politik yang dapat menghambat eksekusi keputusannya. Dalam bentuk ideal, presiden sebagai kepala pemerintahan menjadi gabungan seorang analis, seorang pengambil keputusan (decision-maker), seorang eksekutor yang efektif, dan seorang pribadi dengan independensi moral yang tinggi.
Tentu saja tak semua presiden selalu unggul dalam semua persyaratan itu. Ada yang sangat menonjol dalam analisis, tetapi lemah dalam mengambil keputusan. Ada yang sangat berani dalam mengambil keputusan, tetapi lemah dalam analisis. Ada pula yang efektif sebagai eksekutor, tetapi mudah terseret oleh tekanan ideologi atau tarikan kepentingan pragmatis.
Jika sebagai kepala pemerintahan seorang presiden tampil sebagai pengambil keputusan dan pelaksana keputusannya, sebagai kepala negara dia bertugas menjaga integrasi nasional ke dalam dan menjadi representasi negara dan bangsanya ke dunia internasional. Para anggota DPR juga menjalankan fungsi representasi, tetapi mereka mewakili rakyat, khususnya rakyat yang telah memilih mereka. Berbeda dari seorang anggota DPR, presiden mewakili negara dan bangsanya dalam berhadapan dengan negara dan bangsa lain. Memang sebagai kepala negara presiden tetap harus dibedakan dari negara yang dipimpin dan bangsa yang harus dilindunginya. Meski demikian, karena fungsi representasinya demikian kuat, dia, dalam praktik dipandang sebagai personifikasi negara dan bangsanya.
Fungsi kepala negara ini menjadi lebih jelas di negara-negara yang menerapkan sistem parlementer dalam tata negara mereka. Dalam sistem ini fungsi kepala pemerintahan dipisahkan dari fungsi kepala negara. Ratu Inggris, Ratu Belanda, Presiden Jerman, Raja Thailand, tak punya kekuasaan eksekutif, tetapi rakyat di negara-negara tersebut merasa kedudukan raja, ratu, atau presiden mereka sebagai kepala negara tetap penting sebagai faktor pemersatu seluruh bangsa dan penjamin integrasi politik dan kerukunan nasional. Tugas seperti itu rupanya diharapkan dilaksanakan oleh seorang presiden sebagai kepala negara dalam sistem presidensial.
Dilukiskan dalam kontras yang dipertajam: presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagai eksekutif tertinggi, diharapkan melaksanakan tugasnya dengan mengeksekusi keputusan politiknya, berbuat dan bertindak atas dasar suatu kompetensi, mengambil risiko yang mungkin merugikan kedudukannya, tetapi diperhitungkan untung ruginya, teguh dan konsisten dalam sikap, dan relatif independen dari tekanan kepentingan-kepentingan pragmatis dan ideologis. Keberhasilannya sebagai kepala pemerintahan akan diukur berdasarkan tingkat implementasi kebijakan yang telah diputuskannya. Jelas dia akan mendapat kritik dan perlawanan dari pihak-pihak yang tidak sepaham dengan keputusan dan kebijakannya.
Di sini, kontra kritik seorang kepala pemerintahan tak dilakukan secara verbal dengan pernyataan-pernyataan publik yang defensif, tetapi dengan determinasi yang konsisten dalam mendorong pelaksanaan kebijakannya sampai terbukti bahwa kebijakan itu lebih membawa manfaat, menjawab kebutuhan masyarakat luas, dan tidak merugikan kepentingan publik. Seorang kepala pemerintahan mempertaruhkan kebijakannya dalam eksekusi yang berhasil dan bukannya dengan turut serta dalam riuh rendah polemik dan debat pro kontra, atau membela diri dari mimbar kepresidenan.
Sebaliknya, presiden sebagai kepala negara diharapkan tak banyak berbuat dan bertindak secara politik. Semakin dia menahan diri dari berbagai kontroversi politik atau konflik-konflik kepentingan, semakin dia mengukuhkan wibawa dan pengaruhnya. Sebagai kepala pemerintahan dia diharapkan bertindak, tetapi sebagai kepala negara dia diharapkan hadir di tengah bangsanya. Kepala pemerintahan memerintah rakyatnya, kepala negara mengayomi semua warga negara dengan rasa aman. Kepala pemerintahan memberikan kepastian hukum, kepala negara mengusahakan kepastian moral. Kepala pemerintahan mengelola kekuasaan, kepala negara mengelola nilai-nilai dalam kebudayaan. Kepala pemerintahan berbicara tentang naik turunnya angka pertumbuhan ekonomi, kepala negara berbicara tentang naik turunnya penghormatan kepada martabat dan hak asasi manusia. Kepala pemerintahan bekerja dengan mengikuti intuisi politik, kepala negara hadir untuk menciptakan ambiance etis.
Jika sekarang ini seluruh kalangan di Indonesia sibuk membicarakan calon-calon presiden, sebaiknya diingat bahwa dalam sistem presidensial presiden Indonesia mempunyai dua sisi tugas yang berbeda tanggung jawabnya, tetapi tak banyak berbeda dalam kepentingannya. Kita akan memilih bukan hanya kepala pemerintahan, melainkan juga kepala negara. Mengomentari kepresidenan Richard von Weizsaecker di Jerman ketika Helmut Kohl menjadi kanselir (kepala pemerintahan), seorang penulis Jerman memberi komentar bahwa tatkala kanselir memerintah dengan Autoritaet der Macht atau otoritas kekuasaan Weizsaecker berhasil mengayomi rakyat dan masyarakat Jerman dengan Autoritaet der Machtlosigkeit atau otoritas yang lahir dari keadaan tanpa kuasa. Ini dilakukannya dengan menjadi ein mann fuer schwierige zeiten yang selalu hadir dan mendampingi bangsanya pada saat sulit.
Ignas Kleden ; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
Sumber : KOMPAS, 29 April 2014