BERANDANEGERI.COM, Sastrawan Seno Gumira Ajidarma tampil memukau saat membawakan pidato kebudayaan berjudul “kebudayaan dalam bungkus tusuk gigi”. Berangkat dari hal yang remeh temeh seperti tusuk gigi, ia kemudian mengomentari persoalan penting dan actual akhir-akhir ini yakni revolusi industri 4.0.
Seno Gumira Ajidarma membacakan pidato kebudayaannya, di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM) , Jakarta, Minggu (10/11). Pidato yang menjadi agenda rutin tahunan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), diadakan bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November sekaligus peringatan 51 tahun berdirinya Taman Ismail Marzuki (TIM).
Dalam refleksinya, mantan jurnalis ini melihat kebudayaan layaknya “tusuk gigi” yang dibungkus oleh beban makna ganda: konotasi dan denotasi. Dalam makna konotasi, kebudayaan tidak mengutamakan “tusuk gigi” yang dibungkusnya, melainkan rancangan visual yang sama sekali lain, atau boleh dikatakan sebagai “komodifikasi” atau “jualan”.
Sebaliknya, kebudayaan sebagai makna denotasi lebih mementingkan isinya, yaitu “tusuk gigi” itu sendiri. Baginya, kebudayaan itu adalah produk ilmu pengetahuan, peradaban dan teknologi.
Meski, demikian, bungkus-bungkus yang berideologi komodifikasi (konotasi) maupun kebenaran tunggal (denotasi) diaduk secara acak, maka artikulasi atas ideologi masing-masing akan menghasilkan pertarungan konotasi.
Lantas, apa yang tersahihkan sebagai denotasi, toh pada kenyataannya merupakan konotasi yang paling dominan, paling hegemonik dan paling berkuasa.
Seno Gumira kemudian merambah pada pemikiran relasi dan konstruksi kuasa. “Kita bisa melihat bahwa adanya institusi pendidikan, tradisi, agama, regulasi, media institusi militer dan negara sekalipun menyodokkan peran dan posisi dalam kepentingan setiap kelompok, yang dominan maupun pinggiran, sehingga berlangsungnya kebudayaan merupakan proses hegemoni,” ujarnya.
Dalam tataran ini, kata Seno Gumira, kuasa sejatinya sudah terlepas dari genggaman klasikal negara karena kekuasaan kini sudah tersirkulasi di antara khalayak: antarmanusia, antargolongan dan antarbudaya.
Mengomentari masyarakat urban, menurut Seno Gumira, kuasa dan relasi antarmanusia ini akan selalu bernegosiasi dan maknanya tidak akan pernah stabil dan mapan. Hubungan kuasa seperti ini membuat pribadi manusia merasa terawasi dan menanamkan satu disiplin kepada diri sendiri, yang melibatkan politik identitas yang berkepanjangan.
Dalam khazanah bahasa, problem ini dapat terlacak dalam konteks urban sebagai ruang kehidupan pluralistik yang meruntuhkan kelompok-kelompok statis dan homogen. Atau yang disebut Pieterse sebagai “perjalanan”, sehingga kebudayaan lebih dipandang sebagai isu relokasi dan hibridisasi.
Namun demikian, Seno Gumira memandang, dengan kehadiran ruang urban ini, maka populasi suatu tempat menjadi sangat multi-etnik dan multi-kultural, dengan kehadiran manusia-manusia yang kian tidak tetap dan stabil.
Hal ini menyebabkan pertarungan kembali atas makna-makna dengan kepentingan masing-masing, sehingga kebersamaan arkais suku-suku yang memudar tertandingi oleh apa yang disebut komunitas, di mana tiap komunitas memiliki bahasanya sendiri, termasuk bahasa kesenian.
“Jika memang cara berbahasa komunitas tidak hanya menunjukkan siapa diri mereka, tapi juga segenap wacana yang melekat padanya, maka ruang itu diperjuangkan agar terlihat nyaman dan memenuhi kepentingannya,” katanya.
Bagi Seno Gumira, klaim kebenaran terhadap bahasa kesenian komunitas harus melewati pengujian: apakah ia lebih argumentatif, relevan dan mengantisipasi masa depan, ketimbang dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan romantik serta penuh ilusi.
Akhirnya, Seno Gumira menyentil soal kepanikan moral pemerintah yang, alih-alih mengadaptasi hingar-bingar revolusi industri 4.0, justru tampak panik dan waspada terhadap perubahan zaman, dengan merangkul kebudayaan elektronik secara total.
Hal ini berdasar pada asumsi bahwa Indonesia akan gagal dan terbelakang jika tidak mampu mengadaptasi kehadiran kebudayaan tersebut.Ia melihat, sebenarnya revolusi industri bagi Indonesia tidak pernah berjalan linear, melainkan saling tumpang tindih dan tampak absurd serta kacau.
Jika memang revolusi industri 4.0 sebagai gejala kebudayaan, Indonesia cukup panik untuk tenggelam dalam mitos bahwa yang terbaik adalah yang tercepat.
Ia mencontohkan dongeng Melayu tentang adu lari Kancil dan Siput, yang diadopsi dari mitos Aesop purba, memperlihatkan bahwa justru bukan yang tampak cepat yang menjadi pemenang, melainkan strategi untuk memenangkannya.
“Dalam akhir pertualangan di belantara tanda-tanda, bahasa, susastra, aksara, maupun dongeng kanak-kanak sederhana, saya akan kembali kepada temuan dari perbincangan bungkus tusuk gigi: bahwa bersama kebenaran, kebudayaan terlalu sering terpahami sebagai ilusi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” tutupnya.
Seno Gumira Ajidarma dikenal sebagai penulis generasi baru sastra Indonesia. Beberapa karyanya adalah ‘Atas Nama Malam’, ‘Wisanggeni-Sang Buronan’, ‘Sepotong Senja untuk Pacarku’, ‘Biola tak Berdawai’, ‘Kitab Omong Kosong’, ‘Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi’, dan ‘Negeri Senja’.
Tulisannya tentang Timor Timur dituangkan dalam trilogi buku ‘Saksi Mata’ (kumpulan cerpen), ‘Jazz, Parfum, dan Insiden’ (roman), dan ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara’ (kumpulan esai). (*)