Oleh Nilam Zubir*
Banyak kisah tentang kesenjangan generasi/generation gap di berbagai belahan bumi. Banyak kajian tentang kendala dan peluang lintas generasi, salah satunya mengacu pada esai The Problem of Generations karya sosiolog Karl Mannheim. Banyak juga lelucon muncul akibat kesenjangan ini, antara lain joke ‘millenial versus kolonial’.
Saya yang tergolong generasi Z, generasi yang lahir di era kecanggihan teknologi, juga mengalami banyak kisah dalam interaksi dengan generasi baby boomer yang lahir antara tahun 1946 – 1964, dan generasi X yang lahir tahun 1965 – 1980.
Sejak SD saya sering ikut ibu dalam kunjungan ke panti-panti wreda (panti lansia), baik panti lansia untuk kaum miskin maupun wisma lansia eksklusif untuk kaum kaya. Saya senang ketemu para lansia sebab saya tidak punya kakek-nenek dari ibu dan dari ayah. Lha wong saya lahir usia ibu saja sudah nyaris 40 tahun, katanya sudah lupa urus bayi sampai langganan lagi majalah ibu-anak serta beli buku-buku tentang merawat bayi dan balita.
Waktu SMP, tiap tahun saya diundang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menjadi narasumber Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tingkat SMP untuk motivasi literasi pada siswa. Pada kesempatan tanya jawab, salah seorang guru bahasa Indonesia bertanya, bagaimana trik/tips menulis awal karangan, sebab murid-muridnya kebanyakan memulai paragraf awal dengan kalimat “Pada suatu hari…..”. Saya menjawab “Bebaskan judul karangan bu…jangan seragam…”.
Dulu saya paling sebel kalau disuruh mengarang dengan judul dipatok seragam “Liburan di Rumah Nenek”. Terpaksa saya harus menggali imajinasi, lha saya gak punya nenek. Untung dulu belum ada pemeo “Liburan di rumah nenek lu?…”.
Gaul dengan baby boomer secara intensif juga saya alami waktu usia SMP, berguru Ballroom & Latin Dance pada opa Him Damsyik sampai mahir. Sekarang gantian saya mengajar dansa opa-opa dan oma-oma di beberapa retirement club. Saya jadi tambah mengerti filosofi bahwa hidup adalah sebuah lingkaran.
Kolaborasi rentang generasi di zaman now sangat potensial untuk memperkuat tatanan ekonomi sosial budaya di berbagai sektor, dengan saling melengkapi kekuatan masing-masing generasi, bukan hanya terpaku pada kesenjangannya.
Beruntung saya punya pengalaman bergaul dengan para lansia, sehingga memudahkan dalam berinteraksi dengan para senior baby boomer, baik di lingkup organisasi maupun di lingkup bisnis sendiri dan di lingkungan kerja.
Yang paling seru dalam tugas saya sebagai Plt Corporate Secretary adalah saat saya melaksanakan koordinasi dan komunikasi antara Direksi dan Dewan Komisaris yang sudah sepuh-sepuh (tua). Harus ekstra sabar dalam berkomunikasi. Saat sang sepuh sedikit rewel, saya lalu ingat waktu kecil sering iri pada teman yang punya kakek-nenek. Tuhan pun menjawab, semua akan indah pada waktunya. Ya sekarang ini, Tuhan bilang “Nyoh, tak kek’i eyang-eyang (nih tak kasih eyang-eyang) gak usah iri…”.
Keuntungan yang tak ternilai dari kolaborasi rentang generasi ini, saya banyak menimba ilmu bisnis dan rangkaiannya dari para pengusaha besar sebagai ‘guru/suhu’. Sering saya harus membawa laptop ke meja Komisaris untuk menyerap langsung aspirasi dan arahannya secara ‘tikpet’ ketik cepet. Persis seperti hubungan eyang dan cucu. What a wonderful life…
Selain ilmu bisnis, banyak ilmu kehidupan yang saya peroleh selama gaul dengan para lansia lintas strata sosial. Dari seorang engkong Kumpen, petani kota sahabat keluarga, saya banyak dapat ilmu tentang kearifan alam semesta. Saya menjulukinya guru tanpa aksara, karena ia buta huruf.
Tak terhitung keberuntungan yang saya peroleh dari pergaulan dengan para lansia, ya dari pengalamannya, ya dari petuahnya, ya dari hiburannya, musik dan tontonannya. Saya ikuti semua. Apalagi di zaman keajaiban teknologi sekarang, tinggal klik, semua tentang ‘kejadulan’ muncul dalam sekejap.
Buku apa yang mereka baca, saya baca. Film legendaris yang mereka tonton, saya tonton juga. Saya si generasi Z akhirnya jadi teman ngobrol yang asyik bagi generasi baby boomer, karena saya bisa ngikuti dan ‘nimpalin’ alur obrolannya.
Banyak kelucuan dalam komunikasi lintas generasi. Semua jadi hiburan yang membahagiakan, walau sesekali ada juga hal yang menyebalkan dalam lingkungan kerja, terutama tentang seringnya lupa atas arahan dan sebagainya, yang membuat saya ngelus hape eh ngelus dada.
Tentang buku, konon para pemimpin dunia yang humanis, masa kecilnya membaca buku serial Winnetou karya Karl May. Saya baca juga serial itu.
Anjuran membaca buku “Menjadi Indonesia”-nya opa Parakitri T. Simbolon yang setebal dingklik (bangku jongkok) itu pun saya baca ‘ampe gempor’.
Serial novel dan film The Godfather-nya Mario Puzo dan Francis Ford Copolla juga asyik dibaca dan filmnya saya tonton berulang-ulang. Banyak pelajaran dari film yang meramu paradoks hidup tentang bisnis legal & ilegal dalam lingkaran kekuasaan, keserakahan, kejahatan, dendam, berpadu dengan cinta, kasih sayang, kesetiaan, dan keindahan yang dikemas jitu menjadi tontonan apik.
Walau tontonan penuh kengerian, tapi ada juga tuntunan dalam banyak rangkaian kalimat filosofis, seperti “Jangan biarkan siapa pun tahu apa yang kau pikirkan…”
Akhirulkalam, ini wejangan dari eyang Don Michael Corleone “Jangan membenci musuhmu…”.
“Karena kebencian akan melumpuhkan nalar dan kewarasan…” sambung si grandcicit genZ
Speak sofly love… ~
Nilam Zubir, Public Relation Representative di Indonesia Plastic Recyclers
Top of Form
Bottom of Form