Oleh Ignas Kleden
SEBAGAI pemikiran awal dalam bab ini, dapatlah dikatakan begitu saja bahwa antara kekuasaan, ideologi, dan peran agama-agama–khususnya dalam milenium ketiga–terdapat sejumlah kemungkinan hubungan yang jelas tidak semuanya dapat dibahas disini, seandainya pun kita mampu melakukannya. Oleh karena itu pembicaraan saya harus dibatasi pada beberapa hubungan yang di satu pihak dapat dilakukan sesuai space yang tersedia. Dan dipihak lain memungkinkan pemikiran dan antisipasi terhadap perkembangan yang akan datang berdasarkan beberapa kecenderungan yang dapat diamati sekarang.
Untuk memudahkan diskusi, saya akan mengajukan enam tesis, yang sekalipun tidak diuraikan secara in extensio di sini, saya harapkan dapat menjadi tititk tolak untuk diskusi.
Tesis 1:
Kekuasaan dan ideologi selalu saling mengandaikan karena tidak ada kekuasaan yang tidak membutuhkan ideologi, dan tidak ada ideologi yang tidak mempunyai muatan kekuasaan.
Uraian:
Persoalan hubungan kekuasaan dan ideologi mendapat wujudnya dalam legitimasi Habermas (dalam Zur Rekonstruktion des Historischen Materialismus) mendefinisikan legitimasi sebagai kelayakan sebuah orde politik untuk diakui dan diterima (Anerkennungswirdigkeit einer politischen Ordnung). Suatu kekuasaan dapat bertahan selama dia diakui dan diterima. Ada semacam tukar-menukar yang terjadi antara kekuasaan yang dijalankan oleh suatu orde politik dan pihak yang memberikan pengakuan dan ketaatan terhadapnya.
Pertanyaannya adalah apakah klaim terhadap pengakuan dan penerimaan itu seimbang dengan alasan-alasan untuk meminta dan mendapatkan pengakuan dan penerimaan. Paul Ricoeur, dalam Lectures on Ideology and Utopia, menjelaskan hubungan kekuasaan dan ideologi melalui teori nilai-lebih ideologi (surplus-value theory of ideology). Maksudnya, alasan-alasan suatu orde politik untuk memintakan pengakuan dan ketaatan yang dituntut selalu lebih sedikit dari ketaatan yang dituntutnya. Ketaatan yang dituntut selalu lebih besar, sedangkan alasan-alasan yang tersedia untuknya selalu lebih kecil. Untuk mengisi kesenjangan antara klaim terhadap ketaatan dan alasan-alasan untuk mendapatkan ketaatan, diperlukan bantuan ideologi.
Dalam menjalankan peran tersebut, ideologi dapat memainkan tiga fungsi, yaitu fungsi mengintegrasikan, fungsi membenarkan dan fungsi mendistorsikan. Seperti diketahui, fungsi integrasi ideologi diambil Ricoeur dari Geertz, fungsi legitimasi diambil dari Weber, dan fungsi distorsi diambil dari Marx.
Sebaliknya, dapatlah dikatakan juga bahwa ideologi selalu bermuatan kekuasaan. Mengapa? Karena efek yang dihasilkan oleh ideologi adalah penerimaan dan ketundukan terhadap suatu orde kekuasaan. Penerimaan itu dapat dihasilkan dengan jalan paksa atau dengan jalan sukarela. Kalau dijalankan dengan pemaksaan maka terjadi apa yang oleh Gramsci (dalam bukunya Prison Notebooks) dinamakan dominasi, sedangkan kalau diterima dengan sukarela maka terjadi apa yang dinamakan hegemoni. Dominasi adalah paksaan dengan menggunakan kekerasan sebagai sarananya, sedangkan hegemoni adalah penerimaan yang spontan dan bebas karena seluruh alam pikiran seseorang atau sekelompok orang sudah dikuasai dan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga bisa dengan mudah dapat dipengaruhi dan digiring ke arah yang dikehendaki. Dominasi merupakan suatu regime of power, sedangkan hegemoni merupakan suatu regime of significance.
Untuk memakai istilah-istilah kebudayaan yang lebih halus, dominasi adalah penguasaan yang terjadi karena bantuan paksaan secara fisik, sedangkan hegemoni terjadi melalui penguasaan dunia simbolik, di mana kepercayaan, pengetahuan dan keyakinan nilai-nilai sekelompok orang sudah dikuasai sedemikian rupa, sehingga mereka dapat digiring ke arah yang dikehendaki. Pada titik itu, ideologi merupakan suatu alat yang ampuh untuk menciptakan hegemoni, karena ideologi merupakan suatu jenis pengetahuan khusus yang ditandai oleh sifat-sifatnya yang menyeluruh dan mengikat, dan memintakan komitmen.
Tesis 2:
Setiap agama dikehendaki atau tidak dikehendaki, selalu berhadapan dengan kemungkinan menjadi ideologis, dan sebaliknya setiap ideologi yang ingin memantapkan diri cenderung menempuh jalan untuk memberikan warna keagamaan kepada dirinya. Ideologisasi agama selalu diimbangi dengan religiofikasi ideologi.
Uraian:
Kecendrungan suatu agama menjadi ideologis dapat dilihat pada dua gejala. Pertama, kalau agama dalam berhadapan dengan kekuasaan tidak menjalankan fungsi kritisnya, tetapi lebih banyak menjalankan perannya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan. Kedua, kalau agama karena tugasnya untuk menyampaikan keselamatan dan mengajarkan kesempurnaan hidup, menjadi sarana yang ampuh untuk menciptakan hegemoni.
Fungsi legitimasi agama dijalankan dengan mengambil alih dan menjalankan fungsi ideologi yang biasa, yaitu mengintegrasikan, membenarkan atau mendistorsikan kenyataan yang ada. Agama dapat menjalankan fungsi integratif karena dia menjadi unsur yang sangat penting dalam dunia simbolik, yaitu dunia pengetahuan, kepercayaan dan nilai, yang menjadi rujukan sekelompok orang dalam menjalankan tindakan mereka secara sosial. Makna tidak selalu didefinisikan berdasrkan dunia simbolik yang dianut, dan agama bukan saja berperan dalam dunia simbolik itu, melainkan memberikan sifat kategoris dari dunia simbolik tersebut.
Dalam ilmu sosial, dunia sosial adalah dunia tindakan sosial dan dunia interaksi sosial. Sedangkan makna tindakan dan interaksi itu bersumber pada dunia simbolik. Kalau tindakan sosial masih mengikuti dunia simbolik maka yang terjadi adalah integrasi. Sebaliknya, kalau tindakan sosial tidak dapat mengikuti tuntutan dunia simbolik, maka yang terjadi adalah disintegrasi. Jalan yang kemudian ditempuh untuk tetap menyelamatkan integrasi adalah menyesuaikan dunia simbolik dengan kenyataan sosial yang ada. Pada saat itu yang terjadi adalah distorsi. Distorsi seperti ini sering dilakukan karena dengan memberikan definisi yang baru kepada suatu penyelewengan sosial maka tindakan itu juga lebih mudah dibenarkan. Istilah ‘pengamanan’ untuk penangkapan, ‘pembersihan’ untuk penggusuran, dan berbagai eufefisme lain dalan bahasa Indonesia, adalah contoh untuk distorsi seperti itu. Distorsi itu dilakukan untuk membenarkan tindakan sosial yang menyeleweng dari dari ketentuan dalam dunia simbolik. Kalau agama harus membenarkan dan turut melakukan distorsi seperti itu maka agama menjadi ideologis.
Sebaliknya, suatu ideologi sekuler cenderung memberikan watak sakral dan religious kepada dirinya melalui proses yang dinamakan religiofikasi. Istilah ini diambil dari penulis Eric Hofer (dalam The True Believer) yang mengartikannya sebagai ‘the art of turning practical purposes into holy causes’. Dengan cara itu, suatu ideologi sekuler akan menimbulkan beberapa sikap yang biasanya ditimbulkan oleh agama dalam diri penganutnya. Pertama, tuntutan agama bersifat kategoris dan karena itu tak dapat ditawar-tawar. Dengan cara itu, suatu ideologi berusaha menciptakan penerimaan dan ketaatan sepenuh-penuhnya dari suatu masyarakat. Kedua, ketakutan akan sanksi terhadap pelanggaran menjadi lebih besar, karena pelanggaran terhadap suatu yang sakral dan religius akan mampu memberikan suatu tujuan hidup terakhir kepada penganutnya, yang untuknya para penganut diminta kerelaan dan kesiapannya dalam memberikan segala pegorbanan yang diperlukan.
Tesis 3:
Agama sebagai suatu lembaga cenderung mempunyai sejumlah kekuasaan dalam dirinya, dan selalu terdapat suatu proses sosial dimana kekuasaan agama diperluas menjadi kekuasaan dunia, dan kekuasaan dunia diperluas ke dalam daerah kekuasaan agama.
Uraian:
Dalam studi-studi sosiologi agama, kedua proses itu disebut oleh Max Weber (dalam Wirtschaft und Gesellschaft) sebagai hierokrasi dan caesaropapisme. Istilah hierokrasi menunjuk kepada keadaan di mana agama atau diperluas menjadi kekuasaan politik, dan para pemimpin agama sekaligus menjadi pemimpin politik. Sebaliknya, istilah caesaropapisme menunjuk kepada proses di mana seorang pemimpin politik (caeser) sekaligus menjadi pemimpin agama (papa=paus), dan kekuasaan agama sekaligus menjadi kekuasaan politik.
Hierokrasi menjadi mungkin karena seperti dikatakan di atas selalu ada unsur kekuasaan dalam tiap agama, terutama kalau agama itu menjadi besar dan menjadi sebuah lembaga. Hierokrasi itu terjadi bukan saja karena seorang pemimpin agama juga menjadi pemimpin politik, melainkan juga karena doktrin agama sekaligus juga menjadi doktrin politik. Dalam praktek, teokrasi adalah suatu perwujudan hierokrasi yang paling sempurna, karena hukum agama juga menjadi undang-undang negara.
Caesaropapisme menjadi mungkin karena seperti dikatakan di atas ada kecenderungan pada ideologi sekuler untuk memberikan warna atau sifat sakral dan religius pada dirinya, dan hal yang sama juga berlaku pada kekuasaan sekuler. Kekuasaan politik mendapatkan legitimasi sepenuh-penuhnya kalau pembenaran terhadap pemilikan dan pelaksanaan kekuasaan itu dilakukan tidak hanya dengan alasan-alasan budaya, tetapi juga sakral dan religius. Semua kekuasaan absolut pada dasarnya mendapatkan suatu pembenaran religius, bahwa kekuasaan itu diberikan oleh Tuhan, dewa atau oleh suatu tenaga supernatural.
Persatuan kekuasaan politik dan kekuasaan agama dimungkinkan dalam ajaran sosial yang tidak membedakan kekuasaan politik dari kekuasaan agama. Penyelesaian dalam negara modern dilakukan dengan memisahkan Gereja dari negara, atau agama dari politik. Negara dianggap memiliki kekuasaan dalam bidang-bidang profan, sedangkan agama tetap menguasai bidang-bidang yang dianggap sakral.
Dalam hal ini, Indonesia mempunyai suatu kedudukan khusus, karena negara Republik Indonesia dianggap bukanlah suatu negara teokratis karena negara berdiri di atas Undang-Undang yang tidak diambil dari suatu doktrin keagamaan, tetapi negara juga tidak dianggap sebagai negara sekuler, karena melibatkan diri dan bertanggung jawab terhadap keamanan dan perkembangan tiap agama yang diakuinya. Adanya departemen agama adalah bukti yang sangat jelas bahwa negara Republik Indonesia menolak adanya keterpisahan mutlak antara yang profan dan yang sakral, antara agama dan negara. Simbol-simbol keagamaan seperti doa misalnya, selalu menjadi bagian dari upacara dan protokol kenegaraan. Sebaliknya kehidupan keagamaan, khususnya prasarana untuk kehidupan agama, selalu mendapat perhatian dan tunjangan dari negara.
Tesis 4:
Hubungan antara agama dan negara ditandai oleh persaingan di antara peran keimanan dan peran kenabian agama. Semakin banyak suatu agama menjalankan peran keimanan (priestly role) maka semakin dekat agama itu kepada negara, dan semakin suatu agama menjalankan peran kenabian (prophetic role) maka semakin kritis agama itu terhadap negara.
Uraian:
Peran keimanan agama adalah peran agama sebagai institusi sosial. Dalam peran seperti itu, agama harus membantu proses integrasi sosial sama seperti peran kebudayaan umumnya. Dalam arti itu, agama harus bekerja sama dengan institusi sosial lainnya, dan terutama sekali, harus bekerja sama dengan negara sebagai institusi sosial yang terbesar. Konflik antara institusi sosial akan menimbulkan disintegrasi, dan demi keperluan itu agama sebagai lembaga sosial harus menyesuaikan diri dengan tuntutan lembaga sosial lainnya.
Untuk memakai model Max Weber, dalam fungsi keimanannya agama berusaha mempertahankan warisan tradisionalnya dan watak rasional-administratifnya, sedangkan dalam peran kenabiannya agama menampilkan sifatnya yang karismatis. Karisma adalah sesuatu yang menyimpang dan mengatasi institusi sosial dan lebih kuat dari watak rasional suatu lembaga. Semakin besar peranan karismatis agama, semakin agama itu mengatasi dan menyimpang dari lembaga sosial, dan semakin jauh pula hubungannya dengan negara.
Tesis 5:
Setiap agama mempunyai fungsi ganda sebagai suatu institusi sosial dan sebagai jalan kesempurnaan pribadi, di mana hubungan di antara keduanya dapat saling menunjang, tetapi dapat juga saling bertentangan dan saling merugikan.
Uraian:
Peran sosial agama ditandai oleh fungsinya dalam menjaga integrasi sosial, atau dengan perkataan yang lebih gampang, dalam menjaga ketenangan, perkembangan dan kelanjutan serta reproduksi masyarakat. Dalam fungsi itu, agama berusaha mengurangi perbedaan dan pertentangan di antara berbagai kelompok dan berbagai individu, agar terhindar dari kemungkinan konflik yang dapat membawa kepada disintegrasi sosial.
Peran personal dan ekstensial agama ditandai oleh fungsinya sebagai jalan bagi seorang individu untuk mencapai kesempurnaan diri sejauh-jauhnya. Apa yang dinamakan ‘the indefinite perfectability of human being’ bukan saja merupakan suatu prinsip dalam dunia pendidikan, melainkan juga prinsip dalam kehidupan agama pribadi. Ini berarti dalam bidang agama pun berlaku semacam prinsip, bahwa setiap hari seorang masih dapat menjadi sedikit lebih sempurna dari sebelumnya, dan selama hidupnya seseorang tidak akan pernah menjadi cukup sempurna, sehingga dia tidak perlu atau tidak dapat menjadi sedikit lebih sempurna lagi. Semboyan filsafat ‘we can never be human enough’ dapat diterjemahkan secara teologis dalam agama menjadi semboyan ‘we can never be perfect enough’. Dalam kehidupan pribadi setiap orang, agama dianggap mampu membawa seseorang kepada kesempurnaan pribadi yang sejauh-jauhnya dan sepenuh-penuhnya.
Keyakinan pribadi seseorang dapat diterjemahkannya dalam sosial seperti halnya keyakinan tentang keadilan Tuhan dapat diterjemahkan ke dalam usaha, mendukung gerakan HAM atau keyakinan tentang kemurahan Tuhan, dapat membawanya kepada usaha-usaha pengembangan masyarakat, khususnya dalam bidang sosial ekonomi. Tanggung jawab seseorang kepada dirinya dalam wujud spiritualitas kemudian diterjemahkan ke dalam bidang sosial dalam bidang moralitas. Tesis Max Weber tentang ‘the protestan ethic and the spirit of capitalism’ adalah contoh klasik tentang hubungan ini, di mana harapan dan keyakinan seseorang tentang pilihan Tuhan untuk dirinya untuk mendapatkan keselamatan, dianggap terwujud dalam keberhasilan usahanya dalam bidang ekonomi. Atas cara itu, spiritualitas dihubungkan langsung dengan moralitas, dan tingkah-laku ekonomi direstui secara teologis.
Meski demikian, agama sebagai jalan kesempurnaan pribadi dapat pula mengabaikan dan merugikan peran sosial suatu agama. Ada semacam individualisme spiritual dan individualisme asketis dalam paham ini. Yaitu kalau dianggap bahwa kesempurnaan diri seseorang terwujud langsung dalam hubungan dengan Tuhannya, tanpa terlalu menghiraukan apa yang dilakukan orang lain. Kehidupan soliter, kontemplatif dan kehidupan mistik mempunyai kecenderungan untuk menjadi individual secara asketis, dan hal ini semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk dilibatkan dalam latihan-latihan yang sudah mencapai taraf yang amat tinggi.
Dalam kalangan Katolik umpamanya, kehidupan sebagai hermit pernah dianggap sebagai sebuah ideal kesempurnaan tertinggi di samping martyrium (kesaksian hidup) dan kehidupan selibat (tidak menikah). Jelas dari praktek tersebut, bahwa menyendiri di padang gurun, atau di sebuah gua yang terpencil dengan kehidupan doa sepanjang hari sepanjang malam, pernah dianggap sebagai jalan kesempurnaan tertinggi, sekalipun tidak begitu jelas bagaimana hal ini berhubungan dengan fungsi sosial dalam agama.
Secara sosiologis, jalan tengah antara fungsi sosial dan fungsi pribadi agama terwujud dalam sekte. Istilah sekte digunakan disini semata-mata dalam arti sosiologis tanpa konotasi teologis apa pun. Dalam pandangan yang menekankan fungsi pribadi dan fungsi perseorangan suatu agama, peran sosial agama dianggap menyebabkan agama menjadi agama orang banyak dengan latihan-latihan kesempurnaan yang semakin hari semakin menurun kadarnya. Sebaliknya, dalam pandangan orang banyak, latihan-latihan agama pribadi, seringkali merupakan latihan yang sangat elitis yang tidak semua orang sanggup mengikutinya. Jalan tengah adalah terbentuknya sekelompok orang yang menganggap mereka mempunyai kualifikasi keagamaan yang kira-kira setaraf tetapi yang lebih tinggi tingkatnya dari kemampuan keagamaan rata-rata orang kebanyakan. Max Weber menyebutkan sekte sebagai suatu ‘aristokratisches Gebilde’ (an aristocratic group) atau suatu kelompok aristokratis, yang tujuannya adalah membentuk suatu ‘Verein der religious voll Qualifizierten’ (an association of person with full religious qualifications). Berbeda dari Gereja yang dianggap lembaga yang harus membagi rahmat baik bagi orang saleh maupun orang berdosa yang harus di bawah kembali kepada Tuhan, suatu sekte bertujuan membentuk ‘acclesia pura’ (Gereja yang murni atau dimurnikan, dari sini berasal istilah purisme) karena yang berkumpul dalamnya orang-orang yang dianggap saleh dan tinggi mutu kehidupan agamanya, sedangkan persekutuan mereka dianggap sebagai ‘die sichtbare Gemeinschaft der Heiligin’ atau ‘the visible community of the saints’.
Dengan demikian, dalam artian sosiologis, sekte adalah usaha dalam setiap Gereja untuk mengatasi ketegangan antara apa yang oleh Weber dinamakan agama-etis dari agama tradisionil. Semakin suatu agama terbatas keanggotaannya, maka semakin dapat diawasi kriteria-kriteria etis agama itu, yang mungkin sekali tidak dapat diterapkan pada anggota-anggota yang tidak termasuk dalam elite keagamaan. Semakin agama itu banyak anggotanya, maka semakin dibutuhkan penyesuaian agama itu dengan tradisi-tradisi setempat dari para penganutnya agar agama itu dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat kebanyakan.
Ini juga menunjukkan ketegangan antara agama di satu pihak dan ideology dan kekuasaan di pihak lainnya. Semaikn besar kekuasaan suatu agama, akan semakin diperlukan ruang ideologis agama itu, dan semakin rendah kualifikasi keagamannya. Sebaliknya semakin tinggi kriteria keagamaan suatu agama, semakin kecil pula kekuasaannya dan semakin tidak dibutuhkan fungsi ideologisnya.
Tesis 6:
Ketegangan antara peran institusional dan peran individual dan personal agama, tampaknya akan diatasi dalam millennium ketiga oleh peran individual agama, karena hal itu sangat ditunjang oleh tendensi umum ke arah proses deinstitusionalisasi berbagai lembaga sosial yang sudah kelihatan gejalanya sekarang ini.
Uraian:
Seperti sudah diuraikan di atas, peran sosial agama amat didukung oleh hubungannya dengan kekuasaan dan ideologi. Peran ini dalam milennium ketiga akan beralih ke peran individual dan peran personal agama. Hal ini akan terjadi kalau agama dalam kedudukannya yang ideologis beralih kepada fungsinya sebagai utopia. Karl Mannheim (dalam Ideology and Utopia) membedakan ideologi dan utopia dalam tiga hal.
Pertama, kalau ideologi berfungsi melegetimasikan keadaan yang ada, maka utopia mempunyai kekuatan mempertanyakan dan mengguncang keadaan yang ada.
Kedua, kalau ideologi menjalankan peran integratif untuk menjaga identitas perseorangan atau kelompok, maka utopia melakukan eksplorasi terhadap apa yang masih mungkin.
Ketiga, kalau ideologi hanya mampu melakukan distorsi terhadap apa yang ada, maka utopia mampu menyingkirkan seorang, atau sekelompok orang, dari keadaan yang ada dan membawanya ke situasi (bayangan) yang sama sekali lain dan sama sekali baru.
Dengan perkataan lain, kalau ideologi membela keadaan sekarang, maka utopia membela masa depan. Hal ini sangat sejalan dengan semangat eksatologis agama-agama yang menjanjikan masa depan yang lebih baik yang disempurnakan oleh penemuan kembali dan persatuan kembali antara yang imanen dan yang transendental, antara yang insani dan yang ilahi. Tetapi dengan itu, agama harus mengurangi hubungannya baik dengan ideologi maupun kekuasaan, suatu hal yang akan mengurangi rasa aman agama-agama itu sendiri, dan menimbulkan suatu tingkat alienasi terhadap lembaga-lembaga sosial lainnya. Namun demikian, hal ini tidak perlu menimbulkan kecemasan karena ‘innerweltliche Askese’ (this-worldly asceticism) hanyalah sebagian dari tugas agama yang dalam keadaan sekarang sudah terlalu diutamakan. Mungkin dibutuhkan suatu ‘ausserweltliche Askese’ (other-worldly asceticism) yang memperingatkan kita bahwa agama pada dasarnya berada di dunia ini tetapi tidak mempunyai seluruh tujuannya di sini.
***
Ignas Kleden, Sosiolog dan Kritikus Sastra
Sumber: dari buku Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga, Grasindo, 2000.