Oleh Ansel Deri
GUBERNUR Viktor Laiskodat (Laiskodat) dan wakilnya, Josef A Nae Soi (Nae Soi) terus bertaruh sejumlah kebijakan di era kepemimpinan. Tagline Victory Joss –NTT Bangkit, NTT Sejahtera– menjadi visi-misi pemerintahannya ibarat parang tajam petani menebas ilalang atau menumbangkan pohon di tengah lahan perawan untuk memberikan kesempatan bagi jagung, pisang, ubi-ubian, kacang-kacangan, sayur-mayur, tumbuh subur.
Parang itu mesti dimanfaatkan setelah diasah tajam guna membersihkan “ilalang” (ketertinggalan) masyarakat mulai dari kebun di kaki gunung, di kota, hingga orang-orang kecil di rantau (luar negeri) yang bertaruh peluh mengongkosi anak-anak mereka agar kelak bernasib baik serupa gubernur dan wakil gubernur, misalnya.
Dalam durasi waktu kekuasaan setahun lima bulan lebih, Gubernur Laiskodat dan wakilnya, Nae Soi bertaruh niat, kerja keras, dan kerja cerdas bersama seluruh stakeholder menunaikan amanah rakyat memajukan Nusa Tenggara Timur. Kekuasaan yang digenggam keduanya –sekali lagi– masih balita. Laiskodat kita tahu, petinggi dan pernah jadi Ketua Fraksi NasDem DPR. Sedang Nae Soi adalah politisi Golkar, pernah manjabat Staf Khusus Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM.
Keduanya resmi dilantik dan diambil sumpah Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 5/9 2018. Rekam jejak mumpuni dan kekuasaan yang kini dalam genggamannya akan jadi sarana efektif sekaligus ibarat oase di tengah “padang gersang” (ketertinggalan dan stigma negatif lainnya) memajukan tanah Flobamora. Karena itu, tentu keduanya tahu dari mana langkah mengurai berbagai persoalan terutama ketertinggalan yang melilit masyarakat dan daerah selama ini.
Usai dilantik di hadapan awak media yang ngepos di Istana Merdeka, Gubernur Laiskodat menyampaikan paling kurang ada lima aspek yang segera dibenahi bersama wakilnya memajukan masyarakat dan daerah agar lebih maju dan sejahtera lahir-batin. Dalam catatan saya lima aspek itu yaitu pembangunan pariwisata, reformasi birokrasi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur serta sumber daya manusia.
Dalam jangka pendek Laiskodat berjanji. Pertama, menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di daerah ini. Kedua, menghentikan sementara (moratorium) pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Satu hal penting lain yakni Gubernur tak sudi NTT dipelesetkan dengan akronim-akronim negatif semisal Nanti Tuhan Tolong, Nasib Tidak Tentu, NTT Miskin dan Terkebelakang atau Nyatanya Tetap Tertinggal. Dengan demikian sebagai pemimpin ia mengajak rakyat berpikir dan berbuat besar memajukan masyarakat dan daerah. Mengapa plesetan itu perlu dihapus?
Potensial
NTT adalah Nusa Tenggara Timur, provinsi yang sangat dikenal di seluruh dunia sebagai daerah penyumbang misionaris. Meski dikenal juga sebagai provinsi dengan musim kemarau panjang, ia juga gudang penghasil manusia berotak cerdas,pekerja keras, dan jujur. Indonesia mencatat baik siapa sosok Herman Johannes, pahlawan nasional, cendekiawan, ilmuwan Indonesia, anggota Dewan Pertimbangan Agung (1968-1978) atau Menteri Pekerjaan Umum RI (1950-1951) era Presiden Soekarno, dan guru besar serta mantan Rektor Universitas Gajah Mada asal Rote.
Siapa pula yang tak kenal Frans Seda, politisi, tokoh Gereja, pengusaha dan Menteri Perkebunan (1963-1964), Menteri Keuangan (1966-1968) atau Menteri Perhubungan (1968-1973) era Presiden Soekarno dari Lekebai, Sikka, Flores. Atau juga dua nama pahlawan nasional yaitu Izaak Huru (IH) Doko dan Wilhelmus Zakaria (WZ) Johannes. Berikut Mgr Gabriel Manek SVD, uskup pribumi kedua Indonesia dan mantan anggota MPR RI asal Lahurus, Belu atau Gorys Keraf, guru besar Bahasa Indonesia UI asal kampung nelayan Lamalera, Lembata (sekadar menyebut beberapa di antaranya).
Di masanya, meski datang dari latar keluarga berbeda dari rahim tanah Flobamora dengan segala kekurangan yang dimiliki tempo doeloe, di lain sisi memiliki kemampuan luar biasa untuk dipersembahkan bagi bangsa dan negara dan tetap menginspirasi generasi muda kita. Belum lagi putra-putri NTT yang mendapat kepercayaan di era Soeharto, Habibie, Megawati, Gus Dur, SBY hingga Jokowi, mengabdi untuk bangsa dan negara.
Sebut saja Ben Mboi, Nafsiah Mboi, Ben Mang Reng Say, Adrianus Mooy, ECW Neloe, Vincent Radja, Sonny Keraf, Saleh Huzen, Johnny Plate, dan putra-putri NTT lainnya yang mengabdi di jagad politik dan pemerintahan hingga berbagai bidang profesi lainnya hingga saat ini. Mereka ini datang dari kampung, berjuang sekuat tenaga kemudian kelak mendedikasikan ilmu dan tenaganya sehingga menjadi penyemangat tak hanya bagi para pemimpin dan rakyat di level nasional namun juga orang-orang terkasih di kampung halaman.
Di bidang sumber daya manusia NTT tak diragukan. Pun sumber daya alam yang menyebar di hampir semua pulau. Tentu tak logis melabeli NTT dengan stigma di atas. Testimoni Gubernur Laiskodat saat bertemu budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bisa memberikan gambaran bahwa masyarakat NTT tak perlu takluk di bawah stigma yang meruntuhkan semangat dan militansi membangun NTT dengan SDA yang berlipat-lipat. Malah menjadi pemicu dalam bekerja memajukan daerah.
Upaya ‘Meruntuhkan’
Paling kurang ada beberapa hal yang dicatat dari plesetan tak produktif terhadap Nusa Tenggara Timur di atas. Pertama, Gubernur Laiskodat terdorong “meruntuhkan” stigma NTT seperti Nanti Tuhan Tolong atau Nasib Tidak Tentu sebagaimana ia baca dalam buku “Ide-Ide Plesetan” karya Cak Nun (meski bukan dalam konteks NTT) dalam perjalanan Jakarta-Surabaya dengan Cak Nun, budayawan yang juga murid Umbu Landu Paranggi, penyair asal Sumba yang dijuluki Presiden Malioboro atau Penyair Kuda Kayu.
“Ketika melewati pendidikan SMP, SMA, apa cita-cita dan mimpi saya? What I should be? What I must be? Saya merambah Ibu Kota Negara untuk meraih cita-cita, menggeluti berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan yang rentan kekerasan, usaha taksi, membina keluarga dan akhirnya terjun di dunia politik. Beberapa kali saya terpental dan akrab dengan akronim ‘gaul’ alias gagal ulang-ulang. Saya bangkit dan bangkit lagi sampai mimpi itu terwujud: menjadi gubernur NTT; pemimpin lima juta jiwa yang tersebar di berbagai desa, dusun, kampung di bumi Flobamora,” kata Laiskodat (bdk. Petrus Salu SVD: Dunia Tak Selebar Daun Kelor; Penerbit Ikan Paus, 2019).
Kedua, dalam berbagai kesempatan menyambangi masyarakat di sejumlah kabupaten Gubernur Laiskodat bicara bahkan pidato dengan nada suara yang kerap dianggap kasar namun sesungguhnya merupakan bentuk protes atas plesetan-plesetan tak produktif di atas untuk memastikan bahwa NTT adalah provinsi yang kaya raya namun belum mendapat sentuhan pembangunan maksimal dan proporsional melalui APBN saban tahun anggaran. Manusia NTT adalah kelompok cerdas yang juga memiliki kontribusi besar dalam pawai pembangunan nasional yang juga perlu diperhatikan serius. Oleh karena itu, masyarakatnya pun perlu terus-menerus didorong, dimotivasi agar memiliki rasa percaya diri yang kuat untuk ikut ambil bagian memajukan daerahnya dengan kemampuan keuangan dan sumber daya alam yang dimiliki.
“Gubernur sangat anti dengan kemapanan, kelambanan, kemalasan, kebodohan, dan korupsi yang menjadi penyebab berbagai masalah di NTT. Misalnya, tingginya angka kemiskinan, rendahnya pendapatan per kapita, rendahnya kualitas pendidikan, kesehatan, tingginya angka stunting, dan sebagainya. Karena itu, ia tak henti-hentinya mendorong semua pihak yang bertanggungjawab langsung dengan kebijakan pembangunan NTT untuk membuat terobosan-terobosan baru yang inovatif dan memiliki nilai kebaruan,” kata Dr Jelamu Ardu Marius, M.Si, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT (bdk. Valeri Guru & Sam Babys: NTT Gerbang Selatan Indonesia;2019).
Pada 17 Februari 2020, Gubernur Laiskodat merayakan HUT ke-54. Tentu selain mengucap Syukur atas kebaikan Tuhan, lebih dari itu adalah awal yang baik meniatkan diri bersama masyarakat meruntuhkan plesetan-plesetan negatif; setia bekerja keras mewujudkan visi-misi besar: NTT Bangkit, NTT Sejahtera.
Ansel Deri, Mantan Staf Viktor Laiskodat di DPR RI
Sumber: Pos Kupang, Senin 17 Febrari 2020