Oleh F. Budi Hardiman
KEBENARAN memang penting, tetapi mengapa hal itu perlu ditegaskan lagi? Akhir-akhir ini demokrasi elektoral di Amerika, Eropa, dan sampai juga di Indonesia pada tahun politik ini dibisingkan dengan retorika-retorika yang tidak berdasarkan fakta.
Para politikus memengaruhi para pemilih tidak dengan argumentasi rasional, tetapi dengan mengaduk-aduk sentimen-sentimen kolektif. Di sana dengan islamofobia, isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender), dan masalah imigran. Di sini dengan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), retorika krisis ekonomi, atau menakut-nakuti para pemilih. Gejala itu lalu disebut pasca-kebenaran atau post-truth, sebuah istilah yang pada tahun 2016 oleh Oxford Dictionary dinobatkan sebagai word of the year.
Istilah itu muncul seperti patahan dalam demokratisasi. Sebetulnya tidak ada kondisi yang begitu cocok untuk mewujudkan ideal-ideal demokrasi, yaitu politik deliberatif, kewarganegaraan inklusif, keadilan sebagai fairness, seperti kondisi kita dewasa ini, ketika ponsel pintar telah memindahkan diskusi-diskusi dari auditorium, forum, kontainer massa, ke dalam genggaman. Seharusnya inilah saatnya demokrasi ditopang oleh kebenaran dan penalaran publik yang sehat. Akan tetapi, justru persis pada saat ini, ketika akses langsung ke dalam politik dimungkinkan oleh telepon genggam, ideal-ideal demokrasi itu justru luput dari genggaman.
Kegagalan itu sebagian besar terjadi karena kebenaran diremehkan. Manusia tak kedap terhadap kebenaran, tetapi ia bisa mengabaikannya. Istilah pasca-kebenaran melukiskan sebuah kondisi ketika kebenaran dianggap tak lagi penting dalam politik, tetapi hal itu sama sekali tidak berarti bahwa kebenaran tidak penting. Dengan mengatakan “pasca”-kebenaran, tidak berarti kita boleh membenarkan kelemahan karakter para politikus. Sebaliknya, istilah itu justru menunjukkan keprihatinan atasnya. Keprihatinan itu menjadi mungkin karena kebenaran merupakan nilai sangat penting dalam demokrasi.
Tiga alasan mendasar Mengapa kebenaran itu penting bagi demokrasi? Marilah kita bertolak dari tiga aspek kebenaran sebagaimana dianalisis oleh filsuf kontemporer, Jürgen Habermas, yakni kebenaran sebagai fakta, sebagai moralitas, dan sebagai autentisitas. Pernyataan para politikus partai selama kampanye dapat diperiksa menurut tiga aspek kebenaran tersebut, yaitu kesesuaian pernyataan itu dengan fakta, ketepatannya dengan moralitas publik, dan ketulusan orangnya. Berdasarkan tiga aspek kebenaran itu, kita lalu dapat memberikan argumen mengapa kebenaran itu penting untuk demokrasi.
Alasan pertama adalah bahwa ide demokrasi itu sendiri mengandaikan kebenaran sebagai fakta. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Tapi siapakah “rakyat”? Tentu bukan hanya kerumunan tribal yang berteriak bela ini atau bela itu di jalan-jalan. Rakyat juga bukan hanya partai atau orang partai yang sering mengklaim mewakilinya. Rakyat adalah kita semua dan semua pihak. Namun, bagaimana kita tahu bahwa sebuah opini mewakili semua pihak? Kita tahu lewat kebenaran faktual, yakni lewat statistik, jurnalisme obyektif, survei, dan seterusnya. Tanpanya kita sulit membedakan antara opini dan berita, fakta dan hoaks, fiksi dan realitas. Politik pasca-kebenaran meremehkan perbedaan-perbedaan itu dan memberi-menyebar data palsu sehingga publik kebingungan dan mencari pegangan pada demagogi sang pembohong.
Alasan kedua mengapa kebenaran itu penting bagi demokrasi adalah karena kebebasan berpendapat yang melekat pada demokrasi merupakan sebuah ide moral. Kebebasan tidak akan kita miliki jika kebebasan kita diancam oleh kebebasan orang lain. Sebagai ide moral kebebasan menjadi berlebihan jika dipakai untuk membohongi publik atau untuk membenci pihak lain. Demokrasi yang sehat tidak menoleransi intoleransi yang dicetuskan dari kebebasan berpendapat. Jadi, perlu ada kebenaran moral yang memungkinkan kebebasan seseorang juga merupakan kebebasan semua orang lainnya. Kebenaran moral itu termuat dalam prosedur demokratis, misalnya keadilan sebagai fairness dan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini pers tak perlu netral, tetapi justru memihak yang benar. Asas keseimbangan pers dalam arti menerima dari kedua sisi kerap disalahgunakan pihak yang akan merongrong demokrasi untuk dapat panggung media.
Alasan ketiga terkait hakikat demokrasi. Demokrasi pada hakikatnya adalah komunikasi, dan komunikasi perlu dilandasi kepercayaan timbal balik. Kepercayaan tersebut baru mungkin didapat kalau ada kebenaran sebagai ketulusan. Integritas para politikus dan transparansi publik sangatlah sentral untuk membangun iklim kepercayaan dan respek timbal balik. Politik pasca-kebenaran berbenturan dengan kodrat demokrasi. Retorika narsistis yang disebarkannya membelah para pemberi suara menjadi kawan dan lawan. Hal itu meningkatkan iklim ketidakpercayaan timbal balik dan potensi kekerasan. Justru dalam situasi itu kebenaran sebagai kejujuran jadi penting. Kejujuran dapat memulihkan keutuhan komunitas politis dan meningkatkan iklim saling pengertian.
Daya Tarik Kebohongan
Pertimbangan di atas diberikan bukanlah karena kebenaran selalu menarik. Justru sebaliknya, bagi sebagian besar orang, apalagi mereka yang menjadi partisan dan fanatik dengan sebuah kubu di tahun politik ini, kebohongan lebih menarik. Tentu dibohongi bukanlah hal yang menarik. Namun, kebohongan, apalagi yang disajikan secara sensasional dan kontroversial, bisa dipersepsi sebagai hal menarik. Kerumunan yang haus sensasi dan kontroversi itu adalah mangsa lezat para politikus pasca-kebenaran.
Mengapa orang bisa tidak tertarik pada kebenaran? Karena manusia tidaklah serasional seperti yang disangka. Nalar kita tidak netral, tetapi tendensius, sehingga apa yang kita harap benar mewarnai hal yang sebenarnya, apalagi jika hal itu menyangkut rivalitas politis. Lee McIntyre dalam Post-Truth (2018) menyebutnya “motivated reasoning”. Nalar macam ini cepat mengubah selentingan tentang politikus sontoloyo, tampang Boyolali, dan sejenisnya menjadi kontroversi dangkal yang menyeret publik ke dalam rivalitas “kita versus mereka”, yakni pihak sendiri selalu benar, sedangkan pihak lawan pasti salah.
Meski tak sepenuhnya rasional, manusia juga tidak kedap terhadap kebenaran. Kewarasannya terkait erat dengan keterbukaannya terhadap kebenaran. Penerimaan atas fakta kemajemukan, kesetiaan pada Pancasila sebagai moral publik, dan rekonsiliasi atas pengalaman-pengalaman negatif di masa lalu merupakan tiga macam keterbukaan yang menjamin kewarasan masyarakat kita. Namun, jaminan itu hilang, begitu kita lengah dan membiarkan demokrasi dikooptasi oleh kelompok-kelompok radikal yang berpura-pura demokratis.
Cara-cara berpolitik yang membuat kebohongan lebih menarik daripada kebenaran sangatlah berbahaya bagi kewarasan mental publik. Jika politik diubah dari soal benar atau salah menjadi soal menang atau kalah, segala cara dapat dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas, termasuk merangkul kelompok-kelompok radikal. Kebenaran dengan ketiga aspeknya, yakni sebagai fakta, moral publik, dan ketulusan, diingkari dengan melantik ideologi sebagai ukuran baru. Timoty Snyder tidak berlebihan saat memperingatkan dalam On Tyranny (2017) bahwa “pasca-kebenaran adalah pra-fasisme”.
Satu Alasan Lagi
Sebagai penutup saya memberi satu alasan lagi mengapa kebenaran itu penting untuk demokrasi. Setia kepada kebenaran membuat para warga negara demokratis berbahagia. Bukti untuk kaitan antara kebenaran dan kebahagiaan ini mudah untuk diberikan kalaupun tidak secara moral atau eksistensial, sekurangnya secara politis. Negara-negara demokratis yang terlatih untuk menghargai fakta, moralitas, dan transparansi terbukti lebih sejahtera daripada mereka yang terjebak dalam kemelut konflik ideologi, propaganda agama, dan kleptokrasi.
Kemajuan pers dan sains, meningkatnya akuntabilitas publik, dan kepercayaan timbal balik sebagai hasil transparansi memang tidak menjamin kebahagiaan subyektif tiap orang. Bunuh diri banyak terjadi di negara-negara maju. Negara memang tidak perlu membahagiakan setiap orang. Selain mustahil, hal itu juga berlebihan karena akan muncul paksaan tak membahagiakan untuk berbahagia. Yang perlu dilakukan negara dan para politikus adalah menciptakan kondisi-kondisi untuk bahagia, dan hal itu mustahil terwujud tanpa minat terhadap kebenaran.
Karena itu, negara dan para politikus wajib menarik minat para pendukung mereka terhadap kebenaran sehingga peluang kesejahteraan sosial menjadi lebih besar. Tapi ada catatan kecil di sini. Minat akan kebenaran berbeda dari memiliki kebenaran. Para antusias politis dan religius yang berteriak-teriak mengklaim memiliki kebenaran sesungguhnya tidak meminati kebenaran. Mereka memaksa orang lain bahagia menurut cara mereka.
Arogansi seperti itu justru mengancam bukan hanya kebahagiaan orang lain, melainkan juga diri mereka sendiri. Kebahagiaan tidak datang dari paksaan kebenaran, tetapi dari penemuan kebenaran lewat kebebasan. Kebebasan itulah yang mengantar pada kebenaran yang tidak terlalu dini untuk dikatakan. “Kebenaran”, demikian Voltaire, “adalah buah yang hanya boleh dipetik saat matang”.
***
F Budi Hardiman, Pengajar Filsafat di Universitas Pelita Harapan, Tangerang
Sumber Tulisan: Kompas, 30 November 2018