Oleh Ans Gregory da Iry
KAMI bertemu pertama kali pada pertengahan tahun 1972 ketika Drs. Benediktus Molan Oleona (lebih dikenal dengan Ben Oleona) tiba di Ende untuk bergabung dengan Penerbit Nusa Indah, dan turut mempersiapkan terbitnya majalah dwimingguan umum DIAN dan majalah bulanan anak-anak KUNANG-KUNANG. Ben datang dari Jakarta setelah menyelesaikan kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik (STP) dan meraih gelar sarjana (doktorandus). Sambil kuliah Ben juga bekerja sebagai wartawan dan penulis untuk majalah Penabur, sebuah majalah Katolik yang kemudian mati dan digantikan dengan majalah Hidup Katolik yang dewasa ini telah berubah nama lagi menjadi majalah Hidup. Sekolah Tinggi Publisistik yang dulunya berkampus di daerah Menteng, Jakarta Pusat, kemudian hari berpindah ke Lenteng Agung, di perbatasan Jakarta dan Jawa Barat, dan kini dikenal sebagai Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta.
Waktu itu kami yang bekerja di Penerbit Nusa Indah, Ende di bawah pimpinan direktur P. Alex Beding SVD, yakni Thom Wignyanta, E. P. Boleng, Albert Pantaleon, Aloy L. Madja dan saya memang sedang mempersiapkan penerbitan kedua majalah tersebut. Bahkan sejak hari pertama bertemu P. Alex di bulan Oktober 1971, saya diberitahu bahwa Biro Naskah Nusa Indah, selain mengerjakan dan menerbitkan buku-buku, juga merencanakan penerbitan dua majalah. Oleh karena itu dibutuhkan tenaga-tenaga muda untuk memperkuat tim Nusa Indah. Beberapa orang yang ditunggu untuk datang dari Jakarta adalah Ben Oleona, El Mauritsz Parera dan Matheus Dhae. El dan Matheus lebih dulu tiba di Ende; El bekerja sebagai ilustrator buku dan majalah dan tinggal dengan kami di Wisma Paupire, sedangkan Matheus Dhae hanya beberapa hari, lalu pergi menghilang kembali ke Jakarta.
Pada bulan Juli 1972 Ben Oleona dan isteri serta puteranya Didi tiba di Ende dan menempati sebuah rumah misi di Jl. Irian Barat. Dengan kehadiran Ben, maka berbagai persiapan terus dilakukan di bagian Redaksi dan percetakan Arnoldus karena akan terbit kedua majalah itu segera setelah keluar Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC) dari Departemen Penerangan Republik Indonesia di Jakarta. Kami yang bekerja di Biro Naskah Nusa Indah sekaligus merangkap sebagai wartawan/reporter bagi majalah DIAN. Ben Oleona ditunjuk sebagai Redaktur Pelaksana DIAN dan melapor langsung kepada P. Alex Beding SVD sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi sesuai dengan ketetapan dalam SIT.
Kami mulai menyiapkan tulisan-tulisan yang akan diedit dan disempurnakan oleh Ben sebelum dimuat dalam DIAN. Sebagai Redaktur Pelaksana, Ben memimpin kegiatan redaksional DIAN sehari-hari, sedangkan untuk majalah anak-anak KUNANG-KUNANG, Pater Alex menunjuk Sr. Emmanuella Gunanto OSU dari Biara Santa Ursula, Ende.
Sebelum terbitnya kedua majalah tersebut, P. Alex sering bepergian ke Jakarta untuk urusan-urusan yang berkenaan dengan Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak. Di Jakarta, Nusa Indah mempunyai kantor perwakilan di Jl. Matraman Raya, biara SVD, di mana Marcel Beding, wartawan senior Harian Kompas sebagai Kepala Perwakilan, dengan Melanus Conterius, eks Seminari Mataloko, sebagai kepala kantor. Urusan ini tenyata makan waktu lama, hampir 2 tahun. Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan Republik Indonesia diurus di Jakarta, dengan berbagai syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Meskipun sudah punya SIT, perusahaan pers belum boleh melakukan penerbitan, karena harus juga mendapatkan Surat Izin Cetak (SIC) dari Panglima Kodam setempat, dalam hal ini Pangdam Udayana di Denpasar, karena Ende/Flores di mana majalahh-majalah ini akan terbit termasuk dalam jurisdiksi Kodam Udayana. Itulah lika- liku penerbitan pers di masa rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Akhirnya SIT dan SIC diperoleh maka DIAN dan KUNANG-KUNANG boleh terbit. Selama waktu-waktu penantian itu, tim redaksi menyiapkan tema dan topik-topik artikel untuk majalah-majalah tersebut. Selain itu juga direncanakan tema atau isu-isu apa yang akan diangkat jadi topik peliputan sebagai berita utama, di samping berita-berita lainya untuk mengisi rubrik-rubrik yang ada.
Pada tanggal 24 Oktober 1973, edisi pertama DIAN terbit. Kami senang, bangga dan bersyukur. Majalah DIAN menggunakan semboyan: “Membangun Manusia Pembangun”, dan kemudian El Mauritsz merancang sebuah iklan “Diam-diam baca DIAN” yang akan menjadi sangat populer di masyarakat pembaca.
Latihan Bekerja sebagai Wartawan
Kepada kami yang belum berpengalaman, Ben memberikan bimbingan dan arahan bagaimana bekerja sebagai wartawan, baik dalam meliput berita, mewawancarai narasumber dan membuat tulisan atau laporan jurnalistik dengan formula berita 5W1H (What, Who, When, Where, Why dan How). Meskipun demikian, penulisan laporan mesti dilakukan sebagai tulisan feature karena DIAN akan terbit sebagai majalah bukan surat kabar harian.
Kami juga diajari bahwa bekerja sebagai wartawan harus berintegritas, jujur, obyektf, berita yang ditulis harus berdasarkan kebenaran dan fakta, bukan asumsi atau dugaan. Wartawan harus berani dalam mencari dan mewawancarai narasumber, tetapi tetap menjaga sopan santun, dan selalu mempersiapkan diri dengan banyak membaca dan terus berlatih menulis. Redaktur atau editor, dalam hal ini Ben sendiri akan memeriksa dan memperbaiki seperlunya agar tulisan kami agar laik muat.
Saya ingat, waktu Gubernur NTT El Tari berkunjung ke Ende untk melantik Herman Josef Gadi Djou menjadi bupati Ende menggantikan H. Hasan Aroeboesman, saya dan El Mauritsz pergi ke Wolowona untuk meliput penjemputan gubernur. Sebagai wartawan kami membawa kamera dan selalu berada di dekat Gubernur untuk mengabadikan setiap momen penting yang bernilai berita. Kami wartawan DIAN lebih berani mendekat ke gubernur, dibandingkan pegawai-pegawai departemen penerangan dan reporter RRI Ende. Waktu acara pelantikan bupati di gedung DPRD Ende, kami berada di dalam ruang sidang untuk memotret kegiatan itu dan juga mencatat pidato-pidato gubernur, ketua DPRD dan bupati baru. Ada rasa senang dan bangga bekerja sebagai wartawan. Saya membuat reportase mengenai kegiatan hari itu yang kemudian diedit, dirangkai dengan informasi lain dan disempurnakan oleh Ben untuk dimuat dalam DIAN sebagai berita utama (headline).
Selang seminggu kemudian, DIAN mendapat undangan untuk meliput kunjungan perdana Bupati Gadi Djou ke Wolowaru, kampung halamannya. Saya ditugasi untuk mengikuti dan meliput kunjungan tersebut dan kemudian membuat reportase untuk DIAN. Demikian juga kunjungan dinas sehari bupati ke Nangapanda dan juga kunjungan kerja dua hari di Detusoko.Ada lagi satu kunjungan Bupati Gadi Djou yang saya ikuti yakni ke Kaburea di pantai utara yang berbatasan dengan kabupaten Ngada. Bupati Ende Gadi Djou dan Bupati Ngada Jan Jos Botha bersama rombongan bertemu di Kaburea untuk menyelesaikan perselisihan tapal batas kedua kabupaten, di mana telah terjadi bentrokan fisik oleh masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan tersebut.Jika menulis berita yang kemudian dirangkum dan digabungkan oleh Ben, maka nama wartawan/reporter hanya menggunakan singkatan atau kode angka. Sedangkan kalau menulis artikel atau feature secara by-line, boleh menggunakan nama lengkap. Itulah sebabnya saya selalu ingin membuat tulisan-tulisan by-line yang menyebutkan nama lengkap penulisnya.
Saya ingat tulisan by-line saya yang pertama adalah sebuah feature yang berjudul “Sirih dan manfaatnya”, tetapi setelah mengeditnya, Ben memberi judul “Sirih bukan hanya untuk dimakan”. Dia menjelaskan bahwa judul tulisan harus menarik supaya orang tertarik untuk membaca. Karena umumnya kaum ibu di Flores suka makan sirih-pinang, maka judul tulisan itu dibuat lebih menarik dan lebih sesuai dengan apa yang ada dalam masyarakat pembaca. (Tulisan ini dimuat pada DIAN no. 10 Tahun I, tanggal 10 Maret 1974).
Suatu reportase lain saya buat mengenai kebun contoh di Malamesi, yang terletak di antara Raja dan Ndora, di kabupaten Nagekeo sekarang, yang kami kunjungi pada suatu hari Sabtu. Kebun contoh yang dikelola oleh seorang bruder SVD itu menanam dan memelihara tanaman jagung, kacang panjang, kacang tanah, singkong (ubi kayu) dan lain-lain yang dilakukan dengan sistem terasering (petak-petak pada lokasi tanah yang miring). Selain untuk keperluan sendiri, kebun ini juga dimaksudkan untuk memberi contoh kepada masyarakat petani sekitar untuk belajar bertani secara baru dan modern.Pulang dari kunjungan sehari itu, saya membuat suatu reportase yang saya beri judul “Ceritera dari Malamesi”, dan ternyata Ben setuju dengan judul itu dan tidak mengubahnya, walaupun isi tulisan banyak juga dikoreksinya. (DIAN no. 14 Tahun I, tanggal 10 Mei 1974).
Bagi saya sebagai seorang wartawan pemula, ada rasa bangga ketika berita yang saya tulis dapat diperbaiki dan dimuat, dengan nama reporter hanya diberi singkatan atau kode. Tetapi akan terasa lebih senang lagi apabila kami bisa menulis artikel atau feature, karena nama kami disebut lengkap dan jelas. Bagi seorang penulis, rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan selain tulisan atau artikel by-line kita dimuat. Betapa senangnya membaca nama kita pada terbitan majalah atau surat kabar tersebut.
Surat untuk Kapolri
Meskipun senang dan menikmati bekerja di Ende, tetapi saya tidak akan terus di sini, karena saya berencana merantau ke Jakarta untuk mencari kerja dan kuliah. Itulah sebabnya setelah setahun lebih bekerja sebagai wartawan DIAN dan 3 tahun sebagai penulis, penyadur dan penerjemah untuk buku-buku Nusa Indah, El dan saya mengundurkan diri baik-baik dari Nusa Indah, dan kami berdua berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal misi KM Stella Maris dari Ende pada tanggal 1 Januari 1975 menuju Surabaya. Dengan bus kami ke Jogjakarta dan bermalam di rumah kost teman mahasiswa, dan dua hari berikutnya kami naik bus ke Jakarta dan tinggal di Kelurahan Makassar, Jakarta Timur, di rumah keluarga Om Side Parera.
Dengan bekal pengalaman bekerja di Penerbit Nusa Indah dan majalah DIAN di Ende itu, di Jakarta saya beruntung karena cepat mendapat pekerjaan di surat kabar Harian Suara Karya sebagai translator berita-berita dan artikel dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Pada masa itu Suara Karya termasuk salah satu surat kabar mainstraim di Indonesia di samping harian pagi Kompas dan harian sore Sinar Harapan. Setahun kemudian saya minta untuk merangkap jadi reporter, dan oleh redaksi saya ditugaskan untuk meliput di Hankam/Kopkamtib/Opstib, juga departemen Luar Negeri serta di Sekneg/Istana.
Pada awal 1976, saya menerima sebuah surat dari Pater Alex Beding di Ende, yang meminta saya melaporkan langsung kepada Kepala Kepolisian RI atas kasus pemukulan wartawan DIAN Christianus Nau oleh oknum-oknum polisi di Bajawa. Laporan kronologis kasus pemukulan dan penganiayaan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh Ben Oleona sebagai Redaktur Pelaksana dan P. Alex Beding sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi. Saya menghadap Kapolri Jend. Polisi Drs. Widodo Budidarmo di rumahnya di Kebayoran Baru dan menyerahkan langsung laporan tersebut. Kemudian saya dengar bahwa oknum-oknum polisi di Bajawa yang terlibat penganiayaan wartawan tersebut mendapat tindakan disiplin berupa teguran dari atasan.
Bertemu Lagi di Universitas Atma Jaya Jakarta
Sambil bekerja sebagai wartawan Suara Karya pada pertengahan 1976, saya mulai kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (FIPK) Unika Atma Jaya, Jakarta. Di sini saya bertemu lagi dengan Ben Oleona yang bekerja di kantor rektorat Atma Jaya bersama Dr. Gorys Keraf, pembantu rektor bidang kemahasiswaan. Rupanya setelah 4 tahun bekerja di Ende, Ben mengundurkan diri, pindah ke Jakarta dan bekerja di Atma Jaya. Di kampus ini, Ben menerbitkan majalah kampus “Atma Jaya” dan mengajak saya juga untuk ikut sebagai anggota redaksi media kampus tersebut.
Dalam 4 tahun bekerja di Ende sebagai Redaktur Pelaksana DIAN, Ben berhasil melatih dan mendidik para staf dan karyawan redaksi sehingga bisa meneruskan penerbitan majalah itu, setelah ia pindah ke Jakarta. Jabatan Redaktur Pelaksana DIAN dipegang oleh Thom Wignyanta, putera Bali yang kemudian menjadi tokoh pers di Flores.
Pater Alex Beding SVD, 96 tahun, yang kini tinggal di Biara Simeon Ledalero, Maumere, Flores, mengatakan beberapa hari lalu, bahwa Ben Oleona memang dia minta untuk jadi redaktur pelaksana DIAN. Selain karena pengalamannya bekerja sebagai wartawan majalah Penabur di Jakarta, Ben juga mempunyai pendidikan jurnalistik yang lengkap yaitu sarjana Publisistik. “Ketika kami di Ende merencanakan penerbitan majalah, saya teringat akan Ben yang sedang kuliah publisistik di Jakarta. Jadi saya ajak dia untuk ikut dalam pengelolaan majalah DIAN sebagai redaktur pelaksana. Ben itu dari Lamalera, sekampung dengan saya. Dia keponakan saya. Dia banyak membantu kami di DIAN walau tidak lama, lalu pindah ke Jakarta karena dia ingin mengembangkan karirnya di ibukota. Sebagai pimpinan DIAN dan Nusa Indah, saya merasa sangat terbantu oleh Ben selama dia bekerja dengan kami,” kata P. Alex Beding lewat telepon genggamnya.
Pada tahun 1978, ketika saya tinggal di Perumnas Depok Jaya, kami bertemu lagi dengan Ben dan keluarganya yang juga tinggal di perumahan tersebut. Saya tinggal di Jl. Komodo Raya (kemudian ganti nama jadi Jl. Arif Rahman Hakim), sedang Ben dan keluarga tinggal di Jl. Kutilang. Kami biasa bertemu di gereja St. Herculanus karena Ben juga aktif memimpin paduan suara (kor) di gereja tersebut.
Agak lama kami tidak bertemu, dan baru pada bulan September 1982, ketika sebagai redaktur luar negeri Suara Karya saya menghadiri suatu seminar internasional mengenai Hubungan Indonesia – Amerika di Nusa Dua, Bali, seorang wartawan Bali memberitahu saya bahwa ia bekerja dengan Ben Oleona sebagai pemimpin redaksi koran Nusra (Nusa Tenggara). Pada malam harinya Ben menjemput saya di hotel dan kami jalan-jalan untuk makan malam dan mampir di kantor redaksi dan percetakan harian Nusra di daerah Sesetan, Denpasar.
Rupanya Ben bekerja di Atma Jaya sampai pertengahan 1981, lalu mendapat tawaran untuk menjadi pemimpin redaksi koran Nusra di Bali. Menurut penuturan Josef Larantukan, seorang wartawan asal Larantuka, Flores Timur, koran Nusra sebelumnya bernama Surat kabar Angkatan Bersenjata (AB) milik Kodam Udayana, Bali. Yosef sudah bekerja beberapa tahun di koran tersebut dan kemudian Kodam Udaya mengundang investor swasta untuk menanamkan sahamnya di koran itu dan mengganti namanya menjadi koran Nusra untuk menjadi surat kabar harian umum dengan harapan akan lebih mudah penetrasi ke pasar. Ben Oleona dan team redaksi dan manajemen baru menangani penerbitan koran itu, dengan teknisi-teknisi percetakan yang didatangkan dari Jakarta. Masuknya Ben di Nusra, menurut Yosef, direkomendasikan oleh wartawan senior/redaktur Luar Negeri Kompas, Marcel Beding.
Akan tetapi rupanya perkembangan koran Nusra kurang menjanjikan, di tengah persaingan ketat dengan koran Bali Post yang sudah lebih lama eksis dan juga membanjirnya koran-koran dari Jakarta, Bandung dan Surabaya yang punya wartawan/koresponden tetap di Bali. Dua tahun kemudian koran Nusra tutup dan Ben beralih profesi dengan bekerja pada sebuah perusahaan pengembangan properti.
Rupanya jiwa dan semangat kewartawanan masih terus membara di dalam dirinya, sehingga pada tahun 1990, ketika Kompas-Gramedia lewat anak perusahaan Persda, membeli dan mengelola koran-koran di daerah-daerah, Ben bergabung dengan Persda. Dia sempat bekerja membantu pengembangan redaksi surat kabar Harian Surya di Surabaya, kemudian pindah ke surat kabar Harian Fajar di Makassar, lalu surat kabar Pos Maluku di Ambon dan surat kabar mingguan Tifa Irian di Jayapura.
Selesai kontrak dengan Persda, Ben kembali ke Denpasar dan menjadi penulis lepas (freelance) untuk berbagai surat kabar dan majalah di Jakarta seperti Kompas, Suara Karya, Jakarta Post, majalah Tempo, majalah Hidup Katolik dll. Ben juga pernah menjadi penulis tetap Tajuk atau Induk Karangan untuk Harian Bali Post.
Dari Guru ke Wartawan
Benediktus Molan Oleona Lahir di Lamalera, Lembata pada 26 Juli 1939. Ben bercita-cita menjadi guru. Itulah sebabnya setelah tamat sekolah dasar di kampungnya, dia pergi ke kota Larantuka dan masuk Sekolah Guru Bawah (SGB). Tamat SGB, Ben berangkat ke Ende dan melanjutkan ke Sekolah Guru Atas (SGA) Ndao. Pada masa itu lulusan SGB berhak mengajar di sekolah-sekolah dasar, sedangkan SGA mengajar di sekolah menengah pertama (SMP) dan juga SMA. Jadi setelah tamat SGA Ndao, Ben sempat menjadi guru di SMP Lewoleba.Tahun 1964 ia berangkat ke Jakarta untuk kuliah di STP sambil bekerja di Penabur, dan aktif di PMKRI Jakarta. Pada masa-masa itulah ia berpacaran dengan Johanita Murniati, seorang perawat RS Sint Carolus, dan kemudian mereka menikah pada 20 Juni 1971 di Jakarta.
Selama bekerja di Ende, Ben sempat diminta jadi dosen tamu pada Universitas Nusa Cendana Cabang Ende untuk mengajar matakuliah penulisan ilmiah. Wilhelmus Berybe, seorang guru di Kupang menuturkan bahwa ketika ia kuliah di FKIP Undana Cabang Ende, pernah mendapatkan kuliah matapelajaran penulisan ilmiah dari Ben Oleona, ketika FKIP Ende dipimpin oleh Asisten Dekan Dra Threes Kumanireng. Ketika bekerja di Unika Atma Jaya, kalau mau Ben bisa saja menjadi dosen. Tetapi rupanya dunia jurnalistik dengan ‘kebebasannya’ lebih menarik minatnya daripada pekerjaan lain, termasuk jadi guru. Namun jiwa gurunya pun tetap kelihatan ketika dia mengajari kami di Ende bagaimana bekerja sebagai wartawan. Dan juga bagaimana di tengah kesibukan-kesibukannya di bidang jurnalistik, Ben masih punya waktu melayani kegiatan gereja, baik sebagai pengurus dewan pastoral paroki maupun dirigen paduan suara yang handal. “Kami di sini mengenal Pak Ben sebagai seorang wartawan yang disegani, tetapi beliau juga aktif dalam kegiatan lingkungan gereja dan masyarakat. Di paroki Monang-maning, Denpasar, Pak Ben aktif memimpin kor dan juga jadi anggota Dewan Pastoral Paroki,” tutur Benediktus Jandon, asal Riung, Flores dan eks Seminari Mataloko, seorang tokoh Katolik di Monang-maning baru-baru ini.
Lama sekali kami tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Ben Oleona. Pada Juli 2000, saya dan isteri yang waktu itu tinggal di Kuala Kencana, Timika, Papua berlibur ke Bali. Di bandara Ngurah Rai, kami berkenalan dengan seorang staf Travel Bureau, yang mengatakan mengenal Ben Oleona, karena mereka sama-sama tinggal di perumahan Monang-maning Denpasar, dan juga sama-sama satu gereja di paroki tersebut. Ia mengatakan bahwa Ben Oleona bekerja sebagai wartawan dan juga sangat aktif di gereja, baik di Dewan Pastoral Paroki maupun sebagai pemimpin kor.
Dia juga memberi saya nomor telepon Ben di rumah, sehingga saya kemudian bisa menghubunginya dan kami janji bertemu di Kuta, di hotel Santika, tempat saya dan isteri menginap. Kami bertemu dengan Ben dan isteri serta makan malam sambil ngobrol banyak hal nostalgik baik waktu bekerja di Ende maupun di Jakarta dan juga Depok. Keesokan harinya dengan menggunakan mobil Ben, kami jalan-jalan di Denpasar dan sekitarnya, termasuk ke beberapa obyek wisata, dengan Ben sebagai guide.
Itulah pertemuan terakhir kami dengan Ben Oleona, karena menjelang akhir tahun 2000 ia jatuh sakit dan meninggal dunia pada 21 Desember 2000 pada usia 61 tahun 5 bulan dan dimakamkan di Denpasar. Saya sendiri baru mengetahui bahwa Ben sudah wafat, justru dari Thom Wignyanta di Ende, Flores. Suatu hari di tahun 2001 atau 2002, saya menelepon Thom untuk menanyakan sesuatu hal. Tetapi dari seberang, Thom malah bertanya kepada saya, “Pak Ben sudah meninggal, Ans sudah dengar?” Saya kaget, karena memang belum mendengar dan mengetahui hal itu. Biasanya saya kadang-kadang suka menelepon Ben, tetapi karena kehilangan nomor teleponnya, saya tidak bisa lagi menghubunginya.
Ketika membuat tulisan ini, saya teringat akan kedua orang senior, mentor dan guru saya, dari siapa saya belajar bekerja: Dari Ben Oleona saya belajar bekerja sebagai wartawan, dari Thom Wignyanta saya belajar mengerjakan buku-buku baik sebagai penulis, penerjemah dan penyadur. Ben orang Lembata, Flores memilih berkarya di Bali sampai akhir hayat, sedang Thom, orang Bali memilih berkarya di Ende, Flores sepanjang hidupnya. Terima kasih, Seniors. Reqiescant In Pace!
Bogor, 24 Februari 2020