Pengantar : Untuk semakin mengenal tradisi semana santa, sejarah dan kebudayaan wilayah Larantuka dan sekitarnya, berandanegeri.com menurunkan beberapa tulisan sejak hari Rabu 26 Februari 2020 hingga menjelang Paskah 12 April 2020. Tulisan akan dikemas sebagai esey budaya. Ini merupakan artikel ketujuh. Semoga berguna.
Penulis : Benjamin Tukan
Portugis pindah dari Solor ke Larantuka dan membangun benteng di Sandominggo 18 April 1613. Tapi jangan dikira dengan membangun dua benteng sekaligus di Larantuka, benteng Sandominggo dan kemudian Benteng Postoh tahun 1620, Portugis sudah melupakan Solor. Justru di Larantuka, Portugis lebih serius untuk kembali ke Solor menata puing-puing peninggalan yang telah porak poranda itu.
Portugis tahu, sekalipun Belanda telah mengambil benteng Solor, Belanda sepertinya tidak serius mengurus benteng itu apalagi terlibat dalam perdagangan antar pulau di kepulauan Solor. Belanda sempat meninggalkan Lohayong –Solor 1616 dan baru kembali lagi ke tempat ini dua tahun kemudian yakni 1618. Dalam tahun 1629-1630 Belanda juga meninggalkan benteng itu.
Tapi kembali Solor itu tidak mudah. Dari Sandominggo di Larantuka, Solor hanya sejauh mata memandang. Namun, bagi Portugis untuk ke sana harus berpikir dua tiga kali karena ancaman selalu saja datang baik dari Belanda maupun dari penduduk lokal.
Tahun 1598 penduduk lokal pernah menunjukan kemarahan dan memporakporandakan benteng, lantaran Panglima Benteng Antonio Viegas memenjarakan seorang Bangsawan Lamakera D. Diogo. Belum lagi sewaktu-waktu Belanda bisa datang dan mengerahkan kekuatannya.
Kalau saja dendam terlalu kuat untuk memelihara ingatan, barangkali orang yang tak pernah dilupakan Portugis adalah seorang Belanda bernama Apolonius Scotte. Dia lah yang tahun 1613 memimpin pasukan Belanda untuk merebut Benteng Lohayong di Solor. Dengan jatuhnya Benteng inilah disusul penyerahan kekuasan Portugis ke Belanda atas Solor.
Usaha untuk kembali ke Solor memang selalu ada, namun usaha itu selalu gagal, karena Portugis sudah tidak lagi diterima di sana. Portugis sudah tidak mendapat dukungan masyarakat baik dari agama maupun perdagangan. Kenyataan ini harus diterima, hingga tahun 1636 Portugis benar-benar meninggalkan Lohayong-Solor dan selanjutnya menetap di Larantuka.
Ada semacam penyesalan sebagaimana ditulis Miguel Rangel, seorang arsitek pembangunan Benteng Solor, yang ditulisnya di Malaka tahun 1633. Ia menulis : “jika orang Beladnda tidak menghalangnya, benteng Solor telah menjadi sebuah kota yang dikunjungi semua orang dari daerah sekitarnya dan dari Malaka dan Tiongkok, dari mana pada musim hujan 1633 terakhir ini baru datang empat kapal ke Solor untuk memuat kayu cendana.”
(Catatan : Perlu diingat Miguel Rangel ini nama yang saat ini diabadikan untuk jalan di sekitaran Sandominggo kelurahan Larantuka. Miguel Rangel adalah seorang bruder Dominikan yang pada 1630 memutuskan untuk memperbaiki benteng di Pulau Solor yang telah ditinggalkan oleh orang Belanda.)
Tapi lagi-lagi Belanda terus membuntuti Portugis. Tidak saja mendesak Portugis keluar dari Solor, tapi juga dari Larantuka juga dari Flores. Pertikaian demi pertikaian terus terjadi. Tahun 1846 Belanda menyerang Flores. Pada tahun 1648 terjadi gempa bumi yang meruntuhkan benteng Solor semakin membuat Portugis tidak lagi menghiraukan Solor dan hanya berkonsentrasi di Larantuka.
Belanda tetap menginginkan konsolidasi teritorinya di seluruh wilayah Nusantara. Tahun 1850 Belanda membeli sisa-sisa benteng Portugis di Flores dan mulai berkuasa di Larantuka sejak 1851 melalui penandatanganan traactaat Dili. Bersamaan dengan itu pada 1851 datang tawaran dari Portugis Dili kepada Belanda mengambil alih benteng Larantuka dan Wureh sebagai jaminan atas pinjaman sebesar f. 80.000 kepada gubernur Portugal di Koloni Timor-Timur.
Seluruh kepulauan Solor menjadi milik Belanda sejak 20 April 1859, dengan Belanda membayar tambahan f. 120.000. Pada 1856 Portugis meninggalkan kepulauan ini termasuk Larantuka, sekalipun ratifikasi atas perjanjian itu baru terjadi pada 20 April 1859 di Lisabon. Suatu perjanjian untuk melepaskan pos-pos Portugis yang jauh dan klaim-klaimnya atas Flores dan Solor kepada Belanda, dan mempertahankan haknya atas Timor Portugis.
Sejak itu Portugis pun meninggalkan Larantuka dan tak kembali lagi.
***
Urusan masyarakat punya cerita sendiri, kemauan politik punya ceritanya juga. Di tengah pergulatan politik-ekonomi yang dialami Portugis kala itu, sejak jatuhnya Malaka ke tangan Belanda 1641, penduduk Melayu Kristen/katolik dipaksa harus keluar dari Malaka. Dalam tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu ini ke Larantuka.
Seiring dengan berpindahnya penduduk ke Larantuka dan Larantuka dipandang sebagai tempat yang cocok untuk pengembangan misi, maka banyak barang Portugis yang berada di Malaka dialihkan ke Larantuka termasuk benda-benda gereja.
Pada tahun 1665 mengungsi pula orang-orang Portugis dari Makasar menuju Larantuka. Para pengungsi Makasar ini menyebar lagi di Larantuka, dan beberapa tiba di Konga 20 kilometer arah barat Larantuka, dan Wureh di Pulau Adonara. Dalam pengungsian ini Frei Lucas da Cruz berhasil menyelamatkan benda-benda ibadah yang sangat berharga dari Gereja S. Domingos de Surian di Makasar dan dialihkan ke Larantuka. Kemungkinan pengungsi dari Makasar inilah yang telah mendirikan Gereja Santo Domingo dan mengawali ibadah “Senyora Rosari” serta perayaan Paskah di Larantuka.
Orang Portugis yang mengungsi ini, kemudian mulai membangun perkampungan. Mereka membangun perkampungan baik di Larantuka, Konga dan Wureh. Orang-orang yang tinggal di Larantuka, Konga dan Wureh menyebut diri mereka dengan sebutan Larantuqueiros atau orang dari Larantuka.
Ketika itu, kehidupan iman umat katolik memang sungguh menantang, lebih-lebih karena kurangnya imam. Kurangnya pelayan para imam ini selain karena banyak misionaris Portugis terhalang masuk karena pertikaian politik, persoalan yang dihadapi imam-imam ordo Dominikan di Portugis, juga karena dihapusnya keuskupan Malaka dan dikembalikan ke Keuskupan Goa. Selama abad ke 17 dan 18, hanya ada dua kapal angkut Portugis yang berlayar dari Goa (India) ke Larantuka. Dalam serba keterbatasan inilah sesekali umat Larantuka mendapat kunjungan imam diosesan dari Dili. Tidak ada seorang pun wakil resmi kerajaan Portugal yang berkunjung ke Larantuka selama periode tersebut.
Kendati hidup dalam pertikaian dan keadaan serba terbatas, orang-orang Portugis yang ada di Larantuka, Konga dan Wureh ini mulai banyak memberikan pengaruh yang besar untuk daerah ini. Di antara mereka banyak yang kawin dengan penduduk setempat. Nama-nama ahli waris kerajaan Larantuka diberi gelar Don dan diikuti dengan serangkaian nama aristrokrasi Portugis.
Tidak hanya nama kerajaan, beberapa suku kecil di wilayah ini juga menggunakan nama-nama Portugis. Sebanyak 13 suku di Larantuka yang tadinya menggunakan nama suku Lamaholot berubah menjadi suku Fernandez, suku Da Silva, suku De Rosari, suku Da Costa. Juga Da Santo, Gonzales, Ribeiru, Skera, atau De Ornay. Namun demikian ada beberapa suku memang keturunan langsung Portugis.
Dalam hal penyebutan nama, di wilayah ini mulai dikenal dengan penyebutan nama keluarga bagi mereka yang dibaptis. Nama bapak menjadi nama belakang dan yang kemudian dipakai secara turun temurun. Beberapa bahasa dan istilah yang dipakaipun masih juga menggunakan nama-nama Portugis.
Bekas diplomat Portugal di Indonesia, Antonio Pinto da Franca, menginventarisasi paling tidak ada 75 kata Indonesia berasal dari Portugis. Beberapa kata mungkin terasa asli Indonesia. Sebut misalnya,- sisa dari sisa, terigu dari terigo, tempo dari tempo.Kata lain, misalnya, bangku dari banco, berandadari varanda, boneka dari boneca, kaldu dari caldo,meja dari mesa, pesta dari festa. Ada juga sekolah dari escola, pigura dari figura, dan sepatu dari sapato. Kata-kata ini pun mudah dijumpai di Larantuka.
Penyebutan untuk Nama-nama portugis dalam upacara keagamaan masih dipertahankan hingga kini, demikian juga pakaian-pakaian dan asesoris peribadatan, masih juga menggunakan warisan Portugis. Di kota ini, beberapa nama tempat memberi kesan akan tradisi Portugis termasuk menjadikan POSTO untuk sebutan pusat kota.
Dalam kehidupan rumah tangga, keluarga-keluarga yang dipengaruhi Portugis mulai menyamakan kehidupannya dengan keluarga di tempat asalnya di Portugis. Rumah mulai ditata dengan halaman rumah yang di tumbuhi bunga-bunga. Sementara dalam rumah, ibu menjadi penentu membesarkan anak-anak dan mendidik anak-anak mencintai pekerjaan rumah tangga. Patung ditempatkan di tempat khusus untuk berdoa.
Larantuka seakan menjadi tempat pertukaran kebudayaan termasuk kebudayaan Eropa abad pertengahan dengan kebudayaan Malayu dan kebudayaan Lamaholot dari masyarakat setempat. Kewajiban menjaga agama kalau pastor tidak ada diserahkan kepada “persekutuan Reinja Rosario’ dengan tugas mengajarkan katekhismus, melakukan Pembatisan , mejaga pemeliharaan kapel-kapel serta menyelenggarakan prosesi-prosesi.
***
Sekali pun melalui tradisi dan perjumpaan masyarakat tempo itu, sedikit banyak menunjukkan pengaruh Portugis atas wilayah ini, namun menurut studi yang dilakukan Didik Pradjoko, tidak pernah ada perasaan bahwa mereka dikuasai oleh pemerintah Portugal. Sesungguhnya mereka adalah kekuatan yang merdeka dan berdiri sendiri.
Ini pun dibuktikan pada tahun 1679, Larantuka menolak menjadi jajahan Portugis, (*)