Oleh Paul Budi Kleden, SVD
Suara selalu mempunyai pemilik. Mengenal suara berarti dapat menghubungkan suara dengan pemiliknya. Kita tahu, suara ini bersumber dari mana atau siapa. Kita pun hafal, orang atau benda ini mengeluarkan suara macam mana. Suara ayah atau ibu, suara kekasih atau musuh bebuyutan, suara jengkrik di malam hari, atau suara lonceng gereja tua di kampong, pastilah suara yang mudah dikenal. Kita sudah terbiasa dengan suara-suara tersebut. Sebaliknya, kita akan merasa aneh ketika mendengar suara yang tidak diketahui sumbernya, atau saat berhadapan dengan sumber yang sudah dikenal namun mengeluarkan suara yang tidak biasa. Suara aneh di tengah malam bisa membuat kita takut. Dugaan kita menjadi liar saat mendengar suara ganjil yang keluar dari mulut saudara kita yang sedang sakit.
Mengenal suara, artinya tahu dari mana suara itu, tidak selalu mengandaikan keakraban sebuah relasi. Kita dapat mengenal dengan sangat baik suara dari orang yang amat kita benci atau dari binatang yang amat kita takuti. Sebaliknya, tidak mengenal sebuah suara tidak selalu menimbulkan rasa takut atau tidak pasti. Kita dapat terpesona mendengar suara penyanyi yang belum pernah kita kenal, atau oleh musik dari alat yang belum pernah kita lihat.
Suara bukan sekedar bunyi. Tentu saja, suara mengandaikan bunyi, tetapi berbeda dari bunyi, suara mengandung makna. Kita dapat mengatakan suara adalah bunyi yang menyampaikan pesan tertentu. Karena makna bukan hanya milik manusia, maka yang kita sebut mengeluarkan suara bukan hanya manusia. Kita menangkap suara burung, bahkan hempasan gelombang di tepi pantai dan desiran angin di hutan, kita sebut sebagai suara.
Berbeda dari mengenal adalah memahami suara. Jika mengenal suara adalah persoalan mempertautkan suara dan sumbernya, maka memahami merupakan kesanggupan untuk mengaitkan suara dengan intensi atau maksud sumber suara. Biasanya, semakin mendalam kita mengenal sumbernya, semakin mudah kita menangkap makna suaranya.
Kita amat paham, apa yang dikatakan oleh ayah dengan suaranya yang tinggi atau apa yang mau disampaikan ibu pada saat berbisik ke telinga kita. Sebuah kata yang sebenarnya berkonotasi menghina atau melecehkan, namun ketika disuarakan oleh seorang sahabat, ditangkap sebagai pernyataan kedekatan dan kehangatan. Suara gonggongan seekor anjing bisa membuat gemetar tamu yang baru pertama kali berkunjung, tapi dianggap sepi oleh tuannya. Jika kita sudah sangat mengenal seseorang, maka kita sanggup menangkap makna suara seorang kekasih juga ketika dia tidak sedang bersuara. Bukan hanya itu. Kalau kita sudah saling mengenal sangat mendalam, kita dapat memahami lawan bicara kita melampaui apa yang secara nyata dikatakannya. Kendati kata ‘senang’ yang dikatakannya, tetapi kita tahu, yang dimaksudkannya bukanlah seperti itu. Jawaban ‘tidak’ dari seorang anak ketika ditanya oleh ibunya apakah dia memecahkan gelas di dapur, ditangkap oleh ibunya sebagai sebuah pengakuan. Karena itu, kita sering mengatakan, ‘Suaramu mengkhianatimu.”
Suara berbicara tentang pemiliknya jauh lebih banyak daripada apa yang dibunyikan melalui mulut. Kita mengungkapkan jauh lebih banyak tentang diri kita dari pada sekedar kata-kata kita. Suara kita tidak gampang dikontrol. Orang lebih mudah membaca kepribadian seseorang ketika mendengar suaranya daripada saat membaca tulisannya. Itulah alasan kenapa filsuf Prancis Roland Barthes merasa enggan berbicara. Dia menyadari bahwa dia tidak dapat sepenuhnya mengendalikan suaranya dan sebab itu merasa takut. “Kata-kata yang diucapkannya sering membuat saya merasa jengah karena selalu diliputi ketakutan menjadi pusat perhatian kalau saya berbicara.” Dia membayangkan kalau sedang berbicara, orang tidak hanya memperhatikan apa yang dia katakana, tetapi juga melihat lebih dalam ke suasana bathin dan kepribadiannya. Apa yang dikatakan Barthes tentu saja berlebihan. Tidak semua suara harus dikaitkan dengan kepribadian pemiliknya. Pendengar yang baik pasti membedakan konteks. Ketika menyaksikan sebuah pentasan drama, kita tahu bahwa yang disuarakan adalah pandangan dan perasaan tokoh yang diperankan.
Demikian pula saat mendengarkan sebuah kotbah, yang menjadi yang utama bukanlah suasana bathin si pengkotbah. Yang menjadi inti adalah apa yang sungguh dikatakan. Sebabitu, yang menjadi pusat perhatian bukanlah kepribadian orang yang menjadi sumber suara. Kendati demikian, apa yang dikatakan Barthes tidak seluruhnya salah.
Seorang penonton pentasan yang berpengalaman, pasti bisa membedakan apakah seorang aktor terlatih atau tidak, entahlah dia sungguh membatinkan perannya atau dia melakoninya tanpa penghayatan.
Demikianpun, umat yang mempunyai perhatian pasti dapat menilai, apakah seorang pengkotbah hanya mengulangi apa yang dibacanya entah dimana, atau menyampaikan pikirannya sendiri, kendati sambil membacakannya. Karena bagaimanapun ada relasi antara suara dan pemiliknya, maka untuk menangkap dengan baik makna sebuah suara, kita perlu mendengar dengan baik. Sumber utama dari ketidakpahaman atau kesalahpahaman adalah ketidaksungguhan dalam mendengar. Siapa yang mendengar setengah-setengah, akan juga mengerti setengah-setengah.
Ketika orang tidak mendengar sungguh-sungguh, maka akan sangat mudah bahwa dia hanya mendengar suaranya sendiri, apa yang mau dia dengar dikatakan orang lain. Dia mendengar keinginannya sendiri. Bukan ada hanya prasangka, ada pula pra suara. Sungguh mendengar suara orang lain hanya mungkin apabila orang melepaskan suaranya sendiri.
Mendengar dengan baik, memberikan telinga sepenuhnya kepada seseorang, seringkali menjadi syarat bahwa orang lain itu dapat bersuara. Seorang penulis Austria, Karl Kraus (1873-1936), pernah mengatakan, “Hab ich nur dein Ohr, find ich schon mein Wort” ( jika saya mendapatkan telingaku, aku segera menemukan kata-ku). Dihadapan telingamu yang terbuka, saya menemukan keberanian untuk mengatakan diri saya, mengungkapkan pikiran dan perasaan saya. Keterbukaan yang engkau tunjukan membantu saya untuk menemukan dan menyuarakan kata-kata saya. Orang tua dan pendidik yang mengandalkan ketakutan hanya akan menyebabkan anak-anak menjadi pendiam atau penipu. Mereka tidak sanggup berbicara atau berkata jujur.
Sr. Andriana Ellaman memberi judul untuk kumpulan puisi perdananya: S u a r a. Dalam suara pembuka penyair memberi pertanggungjawaban, kenapa judul ini dipilih:
“Suara” adalah teman paling setia kemanapun dan dimanapun kita berada…..Ada suara bergema menuntunku kembali kepada ruang tanpa tembok, membuatku mampu menuangkan nada-nada lembut yang tercecer menjadi alunan “Suara” yang akhirnya bisa membirama menyentuh dinding dengar pembaca yang terkasih.”
Baginya, suara adalah ingatan. Kita dapat mengatakan, suara adalah ingatan pertama akan pemiliknya. Mendengar suara kita teringat akan pembicaranya. Dan sumber selalu harus ada lebih dahulu. Sebab itu, suara selalu memanggil pulang, membawa kepada sesuatu di masa lalu.
Suara mengaitkan hari ini dengan yang kemarin, menyadarkannya bahwa langkah hari ini ada dalam sebuah jalinan erat dengan yang sudah mendahului. Suara adalah kenangan. Sebab itu, dalam puisi pertama dalam kumpulan ini penyair kita menulis:
Suara bagiku adalah sebuah jalan panjang
Jalan pulang kepada Nurani
Jalan pulang kepada Cinta
Jalan pulang kepada Ada
Namun, panggilan pulang dalam suara bukanlah sebuah penyanderaan dalam dunia masa lalu. Sebab, kenangan, memoria, menyimpan dalam dirinya kekuatan maha dahsyat untuk melangkah maju. Daya juang tidak hanya datang dari rasa ingin tahu menguak tabir masa depan, tetapi juga dari keberanian untuk menyusuri jalan pulang, ke masa lalu. Di masa lalu kita akan temukan tekad yang pernah dibulatkan dan janji yang sudah diikrarkan. Juga masa lalu mengandung gema banyak suara dari mereka yang terpangkas masa depannya karena ditekan dan diperlakukan tidak adil. Masa lalu memanggil dan merupakan sebuah panggilan. Sebab itu, suara adalah jalan pulang untuk dapat melangkah maju, bukan sekedar untuk mewujudkan impian sendirian, tetapi sebagai sebuah perjalanan untuk merealisasikan harapan banyak orang yang mimpinya terpotong terlampau muda. Dalam panggilan sebagai seorang biarawati, penyair kita menimba banyak kekuatan dari mengambil jalan pulang kepada orang tua. Dalam puisi ‘Dipanggil’ penyair kita menulis:
Lihat Ayah
Lihat Ibu
Lihat Kasih
Ikutilah Suara itu!
Memang banyak dari puisinya berbicara tentang suara. Suara ayah tidak dapat dilupakan, sebab
Dengan puji-pujianmu
Terus berbisisk di telingaku,
Suara lantang cinta bacamu
Telah menyusup dalam relungku
(Puisi ‘Bapa’). Suara tenunan sang ibu terekam kuat pada pita kaset kenangan seorang gadis kampung, sementara
Kata terucap dari bibirmu,
Tertulis pada setiap lembar doa rindu
(Puisi ‘Mama’). Mengenang orang-orang terkasih adalah mendengar suara mereka, mengingat kisah yang mereka tuturkan.
Engkau terlampau pergi
Semoga bekas tapakmu tak tersapu angin,
Biarlah ia tertinggal di sini
(Puisi ‘Pesan’).
Kampung Mudalerek di Lembata yang jauh memanggil pulang, untuk tetap tinggal dalam pelukan kenyamanan masa kanak-kanak, tetapi adalah panggilan yang mengingatkan akan kesederhanaan dan kepolosan, darinya penyair berasal.
Berdiri engkau di antara bukitan hijau
Pada lembah yang tak enteng dipandang jauh
Suara manismu memanggil pulang
Segenap anak yang kemarin kau kandung
(Puisi ‘Mudalerekku Tercinta’).
Ada suara kereta api di stasiun Termini, pula suara anak jalanan yang bingung tentang masa depannya. Tidak terkecuali bulan Desember yang akan segera pamit pun punya suara dengan gaung yang terus membahana. Tentang dambaan jiwa penyair kita menulis:
Ku rindu suaramu
Sapamu
Ku rindu senyummu
Hadirmu………
Kusisishkan diriku di tepian sungai
Berusaha menghadirkan suaramu,
Lewat gemercik air
Kau ingin berbicara
Berbagi,
Mendengarkan,
Namun kata tak punya makna
Hanya hembusan angina yang tercipta
(Puisi: ‘Dambaan Jiwa’).
Sebagai orang yang menyadari diri dipanggil untuk sebuah model kehidupan dan pelayanan khusus, penyair bermadah tentang panggilan Ilahi:
Sapa-Mu bernafaskan lembut,
Kala raga serasa sarat
Bisik-Mu merasuk dalam kalbu……..
Ini aku pancaran suara-Mu
Tunjukkan jalan-Mu, kucoba telusuri
Beri aku kuat-Mu
Gemuruh Suara-Mu kuikuti
( Puisi: ‘Suara Ilahi’).
Suara Tuhan yang memanggilnya dari ladang sang ayah di Mudalerek, Lembata, membangunkannya dari mimpi yang diterimanya tentang masa depan.
Penyair ini menunjukan karakter amat kuat sebagai seorang pendengar yang intensif. Dia mendengar untuk mengerti. Kendati dia sendiri sadar sepenuhnya, mengerti itu mudah. Orang mesti mengambil waktu untuk mendengar dengan baik. Sebab itu, dalam puisi ‘Mengerti’? penyair kita menulis:
Mengerti?
Mengerti itu sulit
Jika tiada ingin
Tak meminjam waktu
Tak menyendeng kuping
Ya! Mengerti itu sulit
Dia mendengar suara dalam batinnya. Telinganya dipasang untuk menangkap getaran dari alam. Sejarahnya adalah rangkaian suara yang memberi dorongan untuk terus melangkah maju. Relasinya terbentuk dari kata, yang terucap pun yang tak tersampaikan.
Tuhan, yang dalam Kitab Kejadian mencipta dengan daya suara-Nya, yang dalam prolog Injil Yohanes disebut sebagai Sabda, kata yang abadi yang turun untuk memasang tendanya di tengah-tengah antara manusia, oleh penyair disapa sebagai Angin dengan getaran suara yang lembut.
Kita baca dalam puisi ‘Menamaimu Angin’:
Ku menamaimu Angin
Getar lembut suaramu
Membawaku nikmat musik hutan
Hijau dan luas membentang
Orang yang mendengar dengan baik, yang menangkap apa yang dipesankan sesama, alam dan sejarah, kembali dapat mengangkat suaranya untuk semuanya itu. Dia menjadi suara bagi yang kehilangan suara, entah karena kehilangan keberanian atau tersebab oleh arogansi orang lain. Juga menyuarakan perasaan-perasaan yang dianggap terlampau sederhana untuk disuarakan.
Menulis puisi adalah memberi suara. Kualitas pemberian suara ditentukan oleh kesanggupan dan kerelaan untuk sungguh mengidentifikasikan diri dengan mereka atau apa yang disuarakan. Jika tidak, orang hanya menyampaikan keinginannya sendiri sambil mengatasnamai orang lain.
Demikian pula, kekuatan sebuah puisi amat ditentukan oleh peyelaman ke dalam realitas dan kesanggupan untuk menemukan kata dengan diksi dan daya majas yang kuat. Puisi akan terkesan tawar ketika kata yang dipilih terdengar terlampau bombastis untuk menyampaikan pesan yang dimaksudkan.
Saya mendapat kesan, sebagian besar puisi-puisi Sr. Andriana mengutamakan pilihan kata yang sederhana, yang memungkinkan orang dengan mudah mengikutinya. Dengan mudah orang-orang yang sedanga berada di perantauan, mereka yang mencintai alam, dan terutama mereka yang hidup dan melayani Tuhan secara istimewa serta para pendukung mereka, menemukan di dalam puisi-puisi ini pengalaman mereka sendiri, pengalaman akan suara yang memanggil pulang supaya dapat melangkah lebih pasti ke masa depan.
Kita tidak harus memiliki kemampuan istimewa untuk menikmati puisi-puisi ini. Suara adalah panggilan, tetapi suara juga adalah jawaban. Sr. Andriana merasa mendengar ada suara yang memangilnya untuk menjalani hidup atas cara istimewa.
Dan suaranya sudah diberikan untuk menanggapi panggilan itu. Dia sudah mengikrarkan janjinya untuk setia pada jalan ini. Tidak hanya itu, Suara panggilan itu pun menjadi sumber inspirasi baginya untuk menulis puisi.
Sr. Andriana adalah seorang biarawan penyair. Dan puisi-puisinya adalah suara yang memanggil para pembaca untuk berjalan pulang, sebab
Suara adalah jalan pulang bagiku
untuk melihat kembali kata terucap
langkah yang tercetak di setiap jejak,
kisah terpatri pada setiap sejarah
sembari………………..
memetik hikmah yang terpoles
(Puisi ‘Suara’).
Kita dipanggil untuk menimba lagi kekuatan dari masa lalu yang tidak pernah menjadi terlampau jauh untuk direngkuh, dari kisah-kisah para leluhur yang pernah didengar, dari janji dan ikrar yang pernah disampaikan. Kiranya suara, Sr.Andriana ini pun memanggil lebih banyak lagi perempuan tidak hanya untuk menjadi penyair, tetapi juga menerbitkan karyanya, sebab suara itu lebih bergaung ketika disampaikan kepada dunia.
********
*Tulisan ini adalah ‘P r o l o g’ pada buku puisi S u a r a, Karya Sr. Andriana Udjan Ellaman, DST, Penerbit Kandil Semesta.