BNC,- Industri Korean Pop (K-Pop) saat ini mewabahi dunia. Keseriusan pemerintah Korea Selatan yang mendukung masyarakatnya sepenuh hati mengubah industri seni menjadi gurih. Sarat dengan pundi-pundi materi dan popularitas. Kesuksesan ini yang coba dirintis Perpustakaan Nasional yang berkeinginan industri suara menempatkan porsi yang pantas termasuk royalti bagi pelaku seninya.
Bahasan ini yang mengemuka pada Focus Group Discussion (FGD) antara Perpusnas dengan produsen karya rekam suara yang diwakili oleh Ketua Presidium Indonesia Music Forum, Buddi Ace, Ketua Karya Cipta Indonesia, Dharma Oratmangun, perwakilan musisi, Rahman Syarief, dan pengamat musik, Bens Leo, yang digelar secara physical distancing di Jakarta, pada Rabu, (5/6).
“Masalah hak cipta dan royalti merupakan hal yang sering dikeluhkan oleh para pelaku seni,” terang Bens Leo mengawali pembahasan.
Bens lalu mengisahkan beberapa tahun lalu ia bercakap dengan salah seorang musisi dari daerah yang mencoba mendaftarkan hak cipta karyanya ke salah satu kementerian terkait. Singkat cerita, si pekerja seni tersebut mengurungkan niatnya dengan alasan biaya. Bagaimana dengan pelaku seni yang memilih jalur indie?.
Nah, keberadaan UU SSKCKR Nomor 13 Tahun 2018 seperti membawa angin segar perubahan bagi industri musik. Mereka merasa negara telah hadir, apalagi jika menyangkut hak cipta. Artinya, setiap karya tidak hanya disimpan, dikelola, dilestarikan, tapi bahkan mereka tidak perlu dikenakan biaya untuk hal-hal tersebut. Perlakuan yang sama juga diberikan kepada musik-musik tradisional.
Hal lain yang menjadi keinginan pelaku seni di industri suara adalah bagaimana karya mereka bisa dinikmati secara massal, misalnya melalui channel YouTube. Mereka berharap jika karyanya dinikmati banyak orang dan berhasil mencapai viewers tertentu, royalti bisa mereka peroleh.
“Harapannya sih, Perpusnas bisa menjadi pionir agar para musisi dapat lebih sejahtera ketika diunggah ke YouTube karena ada nilai ekonominya (baca : royalti),” terang Bens.
Senada dengan Bens, Ketua Presidium Indonesia Music Forum, Buddi Ace, juga mengharapkan hal serupa. Namun, untuk bisa sejajar dengan K-Pop masih jauh karena Buddi merasa industri musik belum ada karena ekosistemnya belum berjalan. Meski demikian, Buddi menyarankan agar negara melalui Perpusnas bisa menjadi mitra (partner) YouTube karena di YouTube sedang ada program YouTube Partner Program yang sudah berjalan sejak 2020.
“YouTube Perpusnas bisa menjadi bagian dari program YouTube partner program apabila sudah berhasil mencapai subscribe diatas 100.000, jam tayang melebihi dari 4.000 jam. Jika konten ini berhasil dihidupkan selain reward pemberian anugerah, saya meyakini di masa mendatang akan banyak yang berbondong-bondong menyerahkan karyanya,” terang Buddi.
Di samping itu, Buddi juga menyampaikan gagasan menarik agar setiap karya yang telah diserahkan di Perpusnas tidak hanya disimpan melainkan juga dapat diceritakan melalui pembuatan ensiklopedia musik Indonesia.
Para peserta FGD sepakat bahwa komitmen untuk meningkatkan industri musik bukan hanya dari sisi ekonomi semata, tetapi juga harus bisa menjadi salah satu indikator peradaban dan mengikat perbedaan (pemersatu).
“Kita bisa berkolaborasi membuat inovasi yang lebih milenial dan saya setuju dengan ide pembuatan ensiklopedia,” tambah Dharma Oratmangun.
Menanggapi sejumlah masukan, Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando, merasa ide memasukkan setiap karya musik ke dalam channel YouTube bisa saja dilakukan, namun Syarif Bando merasa hal ini perlu dinegoisasikan kembali dengan YouTube Indonesia. “Jika proyek ini berjalan, maka tujuan Perpusnas mensejahterakan dan memberi manfaat (melalui pemberian royati) bisa terwujud,” kata Syarrif Bando.
Bahkan, inovasi gagasan pembuatan ensiklopedia musik Indonesia diapresiasi Kepala Perpusnas. Bahkan, secara tersirat akan melibatkan para pustakawan dan masuk ke dalam kegiatan Perpusnas di 2021.
Sumber : perpusnas.go.id / Hartoyo Darmawan / Fotografer ; Hartoyo Darmawan