BNC– Wilayah pantai selatan Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, memiliki sejumlah obyek wisata unggulan. Misalnya, air terjun Lodovavo di Desa Atawai, Nagawutun. Naasnya, sejak Lembata otonom tahun 1999 ruas jalan dari Lewoleba ke Atawai atau Lamalera masih sangat buruk.
DIONISIUS DUA kerap tak habis pikir. Sejak terpisah dari Flores Timur tahun 1999, akses jalan menuju obyek wisata Lodovavo sangat buruk. Begitu pula ruas jalan ke Lamalera, Lewopenutung dan Warawatu.
“Jujur saja, kondisi jalan menuju obyek-obyek wilayah seperti Lodovavo atau Lamalera sangat buruk, minim perhatian. Hingga kini Lodovavo masih jadi wisata favorit warga lokal. Mereka harus jalan kaki dari kampung Boto, Desa Labalimut ke Atawai. Dari kampung kemudian jalan kaki ke Lodovavo,” ujar Dion Oldani, sapaan akrab tour guide saat dihubungi di Denpasar awal April 2020.
Lodovavo tak hanya akrab bagi masyarakat di kampung-kampung di lereng Labalekan, gunung tertinggi di Lembata. Namun, juga warga masyarakat di kecamatan lainnya. Warga masyarakat seperti Mingar, Lewoblolong, Tadalakar, Penikenek, Lamanepa hingga Lusiduawutun di pesisir selatan Lembata mengenal baik obyek wisata Lodovavo. Selain masih asri, sumber air baku untuk beberapa kampung di wilayah pesisir itu juga bersumber dari Lodovavo dan sekitarnya.
Sedangkan masyarakat di sekitar lereng Labalekan sudah familiar dengan Lodovavo. Kegiatan edukatif dan hiburan berbagai komunitas masyarakat selalu menempatkan Lodovavo sebagai obyek kunjungan. Para pengunjung utamanya dari desa-desa sekitar lereng Labalekan. Misalnya, Labalimut, Belabaja, Liwulagang, Ileboli, Bolibean, Puor, Imulolong bahkan Posiwatu. Selain Fai Kating, obyek wisata berupa sumber air panas di bagian barat kali Fai Snara, sebelah selatan Desa Labalimut dan Belabaja.
Obyek wisata potensial
Obyek wisata air Lodovavo memiliki banyak keunikan. Debit air sangat besar. Apalagi, pada musim hujan. Tingginya sekitar 50 meter lebih. Diapit pohon-pohon kenari dan berbagai jenis pohon seukuran dua pelukan orang dewasa. Sekitarnya bertaburan aneka stalaktit runcing dengan lobang yang lancip menambah pesona Lodovavo.
Air terjun itu menjadi muara sejumlah anak sungai seperti Wai Lator, Wai Fetem, Wai Kro, Wai Mudajen, Kideng Mirek, Wai Meran, dan Wai Mitemen. Sedangkan di bagian hulu, mengalir Wairajan dan Waimera yang merupakan pertemuan beberapa anak sungai dari lereng Labalekan melewati kawasan hutan Menator.
“Saya dua kali mengunjungi Lodovavo. Obyek wisata itu memiliki kekayaan flora dan fauna sangat besar. Masyarakat sekitar terutama Atawai dan desa-desa di lereng Labalekan perlu setia menjaga dan melestarikan hutan di hulu. Dengan demikian, pada musim kemarau debit air Lodovavo tetap stabil dan menjadi alternatif tujuan wisata yang eksotik. Selain itu, pemerintah daerah perlu melakukan intervensi melalui anggaran untuk membatu pemerintah dan masyarakat desa sekitar menata Lodovavo menjadi destinasi menarik. Ruas jalan ke obyek wisata itu perlu dibangun,” ujar Dion Ola Wutun, seorang pengunjung yang bermukim di Lewoleba.
Dion Wutun, freelance guide tingkat madya dan ASN di Lembata, menambahkan, Belabaja yang letaknya tak jauh dari Atawai, sudah ditetapkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia sebagai salah satu wilayah sasar Program Desa Wisata tahun 2009. Karena itu Atawai ini punya posisi penting sebagai subtitute object di mana orang tinggal di Belabaja sebelum melakukan wisata ke Lamalera dan Lodovavo.
“Wisatawan yang tinggal di Boto bisa melakukan half day tour untuk menikmati ekowisata Lodovavo sambil mandi di air terjun. Oleh karena itu, Lodovavo perlu dijaga dan dilestarikan alam pegunungan serta flora dan faunanya. Wisatawan akan sangat tertarik mengunjungi Lodovavo. Apalagi, obyek wisata itu memiliki legenda menarik bagi pengunjung yang suka kisah-kisah unik yang melingkupi obyek wisata itu. Karena itu akses jalan ke Atawai melalui Idalolong di wilayah pantai atau Boto di wilayah lereng gunung perlu dibangun sehingga Lodovavo tidak terpenjara dalam ketertinggalan,” ujar Dion Wutun.
Lodovavo memiliki arti. Dalam bahasa tutur dialek Imulolo, lodo berarti turun. Sedangkan vavo artinya ke bawah. Karena itu, Lodovavo artinya turun ke bawah. Selepas dari Atawai, para pengunjung akan melewati area yang akan terjal sebelum menggapai obyek wisata air terjun Lodovavo. Selain sekadar menikmati obyek wisata itu, para pengunjung terutama dari desa-desa sekitar bisa mengisi waktu mencari ikan aneka jenis, udang, belut seukuran paha orang dewasa, katak, dan lain-lain.
“Pernah ada warga yang meninggal akibat keseterum listrik genset saat menangkap ikan dan udang. Korban dievakuasi ke darat sebelum dibawa ke kampungnya. Korban meninggal di tempat dan dipercaya sebagai ungkapan amarah penjaga Lodovavo. Meski demikian, Lodovavo tetap dikunjungi warga karena obyek wisata itu termasuk yang digandrungi di selatan Lembata. Selain itu, jaraknya ke obyek wisata sekitar 500 meter dari Atawai, melewati hutan yang masih asri,” kata Gerard, warga Atawai.
Gebrakan Gubernur Laiskodat
Pesona Lodovavo dan destinasi wisata lainnya di Lembata jika dilihat belum serius diperhatikan baik oleh Pemerintah Kabupaten Lembata maupun Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur selama 20 tahun Lembata menjadi kabupaten otonomi. Meski demikian, baik kabupaten maupun provinsi menempatkan pariwisata sebagai sektor unggulan dalam menambah pemasukan daerah. Selain itu, akses jalan menuju destinasi wisata mulai diperhatikan.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskdat sudah menunjukkan keseriusan membantu Pemkab dan masyarakat Lembata membuka akses jalan Waijarang menuju Tewaowutung di pesisir selatan Lembata. Langkah ini tentu menjawab kerinduan warga yang sudah 20 tahun lebih menikmati akses jalan ke desa-desa, termasuk obyek wisata unggulan seperti Lodovavo dan obyek-obyek wisata lainnya seperti Lewopenutung di beranda Laut Sawu.
Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur Dr Jelamu Ardu Marius, M.Si mengakui, potensi wisata Lembata luar biasa besar. Semua memikili daya tarik tersendiri. Sebut saja Lamalera, Pantai Bean, Tanjung Atadei, Pantai Labala, Wuloandoni, Jontona, Mingar, Lolong, dan lain-lain.
“Pak Gubernur Viktor Laiskodat dan Pak Wakil Gubernur Jos Nae Soi menjadikan pariwisata sebagai penggerak utama, prime mover ekonomi daerah. Sejak 2019 beliau berdua giat mempromosikan berbagai potensi wisata NTT di luar negeri. Kegiatan promosi itu baik melalui festival di sejumlah negara di Eropa, Amerika, Selandia Baru maupun negara-negara lain. Tujuannya agar para wisatawan manca negara kenal dan tertarik mengunjungi destinasi kita di daerah-daerah seperti Lembata,” ujar Marius, mantan Kepala Dinas Pariwisata NTT, yang sangat fasih berbahasa Inggris.
Wisatawan yang berkunjung di Lembata tentu juga dimudahkan akses jalan yang baik, termasuk kesiapan masyarakat dalam memberikan pelayanan prima. Masyarakat juga perlu menyiapkan makanan khas desa, fasilitas mandi, cuci, dan toilet yang bersih agar wisatawan betah menikmati liburannya.
“Tahun 2020, Pak Gubenur NTT sudah mengalokasikan anggaran bersumber dari APBD NTT untuk membantu membangun ruas jalan di pesisir selatan Lembata. Kita harapkan agar setiap tahun meningkat dan masyarakat merasakan manfaatnya. Tentu disesuaikan kemampuan karena kabupaten dan kota lain juga perlu diperhatikan,” lanjut Marius.
Sekadar tambahan. Lodovavo adalah salah satu obyek wisata yang selama 20 tahun otonomi masih terkungkung di tengah nama sejumlah obyek yang mengharumkan nama Lembata. Misalnya, desa nelayan Lamalera yang terkenal dengan tradisi lefa, perbutuan paus secara tradisional berpijak pada kearifan lokal. Lamalera tak hanya fa,iliar di tingkat nasional, namun manca negara.
“Lodovavo juga tentu menjadi perhatian semua pemangku kepentingan. Kita akan bekerjasama dengan semua pihak, termasuk media agar ikut mempromosikan wisata Lembata agar makin dikenal,” kata Marius.
Lodovavo bisa dikunjungi melalui jalan darat kurang lebih 26 kilo meter dari Lewoleba, kota Kabupaten Lembata menuju Atawai. Bila menggunakan kendaraan umum, setiap pengunjung dipungut biaya Rp. 30 ribu per orang. Namun, jika menggunakan jasa motor sewaan, setiap orang mengeluarkan ongkos sewa sebesar Rp. 100 ribu. Bila perjalanan hanya sampai di Boto, maka perjalanan ke Atawai akan dilanjutkan dengan jalan kaki atau menyewa bus kayu dengan ongkos Rp. 10 ribu per orang.
“Dari Atawai, para pengunjung bisa leluasa menikmati makanan khas seperti jagung titi, emping jagung, ubi-ubian, dan air kelapa segar sebelum menuju Lodovavo. Selain itu pengunjung bisa leluasa membeli souvenir berupa sarung atau selendang hasil kerajinan warga dengan harga yang tak membuat kantong terkuras,” ujar Gerard menambahkan. (Germanus Wisung/adv)