Oleh Paul Budi Kleden
Satu diktum yang dikenal luas dari Paul Klee berbunyi: “Kunst macht sichtbar,” –Karya seni menyingkapkan-. Tentu pernyataan ini tidak mengatakan banyak tentang hakikat seni, yang sanggup membedakannya dari semua yang lain. Dan di sini memang kita tidak bermaksud melibatkan diri dalam diskursus tentang hakikat seni. Dengan mengutip ungkapan di atas hanya mau dikatakan bahwa hal yang sama penting dengan hakikat adalah makna seni, yang merujuk pada apa yang ditunjukkan oleh sebuah karya seni. Hanya dengan demikian sebuah karya seni tidak selesai didefinisikan dengan sebuah refleksi atas keindahan. Sebuah karya seni bukan sekadar sesuatu yang indah, dia adalah juga sesuatu yang berbicara tentang sesuatu. Dalam arti ini, seni dapat diletakkan sejajar dengan banyak kegiatan manusia lainnya, seperti refleksi ilmiah, keterlibatan politik atau aksi sosial.
Karya seni, entah musik, lukisan, tarian atau sastra membuka mata orang untuk menangkap sesuatu yang tidak mau atau tidak dapat dilihat. Karya seni menyentakkan orang untuk menangkap realitas yang mungkin dengan sengaja atau secara tanpa sengaja didepak ke wilayah yang tersembunyi. Wajah yang sengaja di sembunyikan dinyatakan, suara yang diredam atau didiamkan diangkat. Sebuah karya seni dapat memelekkan mata orang untuk menemukan sesuatu yang luhur, yang tertimbun di bawah kesemuan keluhuran yang diobral. Apa dan mereka yang dipinggirkan dan diabaikan, menjadi pusat perhatian dan keprihatinan. Melalui karya seni orang dibantu untuk menyadari dan mengakui keindahan yang masih terpancar dalam sebuah masyarakat yang terlanjur mendapat umpatan sebagai masyrakat biadab. Juga sebaliknya, sebuah karya seni dapat mengungkapkan kebobrokan yang menyebalkan di balik kegemerlapan yang dipamerkan.
Dalam pengertian di atas, karya seni adalah sebuah medium pengetahuan. Pemirsa dan pembaca tidak hanya ditempatkan pada posisi penikmat yang hanyut dalam suasana emosional, tetapi sekaligus disapa sebagai makhluk berintelek, kepadanya disuguhkan sejumlah informasi. Namun informasi yang diberikan tidak bertujuan memperbanyak perbendaharaan pengetahuan objektif akan sesuatu, tetapi agar orang meneruskan perolehan pengetahuan dalam imajinasinya sendiri. Pengetahuan yang disuguhkan adalah rangsangan untuk sebuah petualangan imajinatif melampaui apa yang dilukiskan. Objek kesenian menarik kita kepada dirinya, untuk, setelah dibekali dengan sejuta data penting, kembali melepaskan kita ke dalam sebuah petualangan interpretasi. Sebuah karya seni menyingkapkan sesuatu, yang pada gilirannya akan menjadi awal dari sebuah proses penyingkapan yang berkelanjutan.
Kegiatan menikmati dan menginterpretasi sebuah karya seni adalah sebuah keterlibatan di dalam alur penyingkapan makna tersebut. Untuk itu memang mutlak disadari perbedaan antara tanda dan yang ditandakan, antara pernyataan dan maksud, atau antara isi dan bentuk. Apabila orang menolak makna dalam karya seni, maka orang akan berputar pada bentuk yang merangsang rasa indah dalam diri pemirsa.
Dalam diskursus tentang estetika, ada perbedaan pendapat tentang kualitas sebuah karya seni. Ada yang melihat nilai sebuah karya seni sebagai objek estetis. Pandangan seperti ini hanya memperhatikan apa yang dirasakan oleh pemirsa atau pembaca. Di sini yang menjadi kriteria sebuah objek estetis adalah entakah pemirsa atau pembaca merasa tersentuh atau tidak, entahkah sebuah karya itu sanggup membangkitkan dalam diri pemirsa atau pembaca suatu perasaan kagum yang menghanyutkan. Konsep ini dikritik karena dianggap memutarbalikan objek estetis dengan karya seni. Seharusnya, yang disebut sebagai karya seni adalah karya yang mengatakan sesuatu. Sebuah karya seni tidak berhenti di dalam dirinya.
Karena itu sebuah karya seni mesti dibedakan dari objek estetis. Karya seni menunjukkan sesuatu, yang berbeda dari dirinya, tetapi yang tak bisa dilepaskan dari dirinya. Kita dapat menyebutnya sebagai sebuah simbol untuk sebuah makna. Makna menjiwai seluruh karya itu dan menjadikannya sebuah karya seni, sehingga karya itu mampu berbicara, memiliki makna.
Tentu serentak diingatkan bahwa dengan memahami karya seni sebagai karya yang meneruskan pengetahuan, kita tidak bermaksud mengatakan bahwa dalam sebuah karya seni kita menjumpai data-data objektif tentang sesuatu. Kita memiliki data realistis, namun kita tidak berhenti pada data-data realistis itu, sebab tujuannya adalah membawa kita melampaui data-data objektif yang ada. Memang ada karya seni yang tidak mengandung data empiris, karya itu hanya memaparkan suatu penyimpangan dari keadaan sebenarnya. Namun penyimpangan itu disadari dan dikehendaki, dan seorang pemirsa atau seorang pembaca diberi bantuan secukupnya untuk menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan sebuah kamuflase dari kenyataan empiris.
Pemaparan realistis mesti ditunjang oleh sejumlah data yang objektif, saat seorang pengarang sastra misalnya menyebutkan secara eksplisit setting ceritanya, membatasi tempat atau waktunya. Semakin dipersempit setting sebuah kisah, semaikn tinggi kebutuhan akan akurasi data yang dipaparkan, tetapi semakin dituntut pula kecakapan seorang pengarang untuk tetap menciptakan ruang simbolis di dalam kepadatan data itu. Di satu pihak kita berhadapan dengan kenyataan bahwa sebuah karya seni yang melukiskan sesuatu secara tidak benar, hanya akan menimbulkan perasaan dibodohi dalam diri pemirsa atau pembaca, dank arena itu gagal membawa misinya sebagai sebuah karya seni. Pada pihak yang lain, pembatasan yang terlampau ketat akan meniadakan ruang imaginasi dan mematikan sebuah karya seni. Sebab itu, karya seni, secara khusus seni sastra, sebenarnya hidup dari dialektika antara identitas apa yang dipaparkan dan makna yang hendak disampaikannya.
Apa yang diuraikan di atas, menemukan ungkapan hermeneutisnya dalam pengertian-pengertian dunia empiris yang menjadi referensi dan dunia potensial atau dunia proyeksi yang menjadi makna dalam filsafat Paul Ricoeur. Dunia referensi adalah dunia yang sedang dilukiskan dalam sebuah karya seni, entah itu dunia riil atau dunia imaginatf. Dunia ini adalah apa yang dibicarakan, referensi, sebuah dunia di luar relasi linguistis teks. Pada pihak lain, dunia proyeksi adalah dunia yang menjadi tujuan dari pembicaraan, dunia kepadanya seniman mengajak pemirsa atau pembaca untuk bertualang. Ini adalah makna dari sebuah teks. Makna, sense, sinn, adalah satu jaringan relasi dari unsur-unsur internal teks. Makna adalah dunia yang dicita-citakan, yang diproyeksikan oleh teks. Di dalam makna terungkap apa yang seharusnya di tengah realisme yang dihidupkan oleh apa yang ada. Dengan ungkapan lain, dunia pertama adalah subjek dari sebuah kalimat. Subjek mesti dijelaskan, sehingga orang dapat memperoleh bayangan tentang apa yang dibicarakan. Peran identifikasi subjek membantu kita mengetahui apa yang dikisahkan, peristiwa yang dituturkan. Sementara dunia proyeksi adalah predikatnya, yang membuka kembali identifikasi subjek ke arah yang lebih luas, ke sebuah dunia di depan teks.
Sebuah karya sastra membutuhkan identitas peristiwa yang tertentu, yang menjadi dasar bagi perluasan dalam pencarian makna dalam prekasi. Identitas mengandaikan adanya pengetahuan. Pengarang hanya dapat membeberkan sebuah peristiwa secara benar apabila dia memiliki pengetahuan tentang itu. Tetapi dia harus memiliki kesanggupan untuk menuturkan pengetahuan itu sedemikian, sehingga predikasi dimungkinkan. Seorang seniman harus mengetahui apa yang dikisahkannya, untuk dapat melukiskannya secara meyakinkan, dan dengan demikian menciptakan sebuah kondisi yang menjadi dasar bagi petualangan individual para pemirsa atau para pembaca.
Di sinilah letak dilema yang dapat ditemukan dalam sebuah karya seni, secara kuhusus sastra. Seorang pengarang dapat melukiskan secara sangat mendetail sesuatu, tanpa membiarkan kita mengetahui apa yang sebenarnya hendak dikatakan dengan pelukisan itu. Pelukisan yang sekian mendetail dapat menjadi alasan bahwa sebuah karya gagal sebagai karya sebuah karya sastra karena tidak memberikan ruang untuk imajinasi pembaca, sekaligus tidak berhasil sebagai suatu karya ilmiah karena masih tetap mencoba memberi ruang kebebasan bagi pemirsa dan pembaca.
Bahaya seperti ini cukup besar dijumpai dalam diri para pengarang yang mencoba menuliskan sesuatu yang belum banyak dikenal. Terdorong oleh hasrat untuk memberikan sebanyak mungkin pengetahuan, seorang pengarang dapat menjejali pembaca dan pemirsa dengan sekian banyak informasi. Tak ada ruang tersisa untuk memberikan arah ke mana semua hendak menuju.
Penyingkapan kedua dunia dan bahaya yang terkandung di dalam upaya penyingkapan itu dapat dicermati kalau kita membaca novel ini. Ata Mai, Sang Pendatang adalah satu bentuk penyingkapan yang membawa orang kepada beberapa kenyataan yang tersembunyi atau disembunyikan. Novel ini menyingkapkan sebuah wilayah dari suatu kelompok masyarakat yang belum banyak menjadi pusat perhatian dalam percaturan politik dan kalkulasi ekonomi berskala besar. Secara cukup detail pengarang membawa kita ke beberapa kota dan desa di Flores. Memang terkadang pengarang terjebak dalam keinginan besar untuk melukiskan sebanyak mungkin hal yang dianggap baru dan penting diketahui pembaca, sehingga dapat muncul kesan, novel ini tak banyak berbeda dari sebuah laporan perjalanan dan mendekati sebuah jurnal peneliti antropologi. Selain itu, kegiatan penelitian yang demikian dinamis melompat dari satu aktivitas yang lain, tidak memberi waktu untuk pembaca untuk berdiam diri. Novel seakan mewartakan suatu aktivisme di tengah pengagungannya akan keheningan dan ketenangan alam pedesaan.
Tetapi mungkin di sinilah letak keunggulan dari novel ini, yakni teknik pemilihan tokohnya. Pengarang memilih Lila, seorang peneliti sebagai tokoh utamanya, dan bagi seorang peneliti antropologi, keterbukaan bagi hal-hal yang baru, kekaguman dan minat yang besar akan kebudayaan yang dijumpai adalah syarat yang utama. Kita di bawa oleh pengarang untuk mengalami bersama peneliti berbagai macam hal baru yang dilihat dan didengarnya.
Mengetahui, mengenal sesuatu berarti menangkap secara lebih tajam berbagai nuansa yang terdapat di dalamnya, menjadi sadar dan mengakui bahwa sesuatu itu jauh lebih kompleks dari kesan awal tentangnya. Dunia referensi, tentangnya pengarang hendak menawarkan kita sejumlah pengetahuan, memiliki juga sekian banyak nuansa.
Di dalam novel ini pengarang membawa kita untuk mengetahui dan mengenal kompleksitas kenyataan dan permasalahan suatu kelompok masyarakat yang sedang berada dalam satu tahapan perubahan. Biasanya, semakin jauh suatu kelompok masyarakat dari jangkuan perhatian kita, semakin mudah kita jatuh dalam stereotipe kalau hendak menilai mereka. Dengan relatif mudah kita akan menggunakan kategori-kategori besar untuk mendeskripsi-kan mereka. Tokoh Bimo dalam novel mewakili cara pandang jarak jauh yang menggeneralisir. Akan segera menjadi nyata, bahwa di bawah bayang-bayang kategori besar itu banyak individu kehilangan individualitasnya. Keberagaman warna sebuah masyarakat hilang dalam pandangan yang menyamaratakan. Dengan kesadaran yang patut dipuji pengarang mengarahkan perhatian kita pada satu kelompok masyarakat. Terkesan kuat bahwa pengarang berusaha melawan satu cara pandang yang menggeneralisir itu.
Ketajaman mata seorang peneliti menyingkapkan tabir pandangan tentang suasana kampung yang tak bernoda, dalamnya warga masyarakat hidup dalam satu keharmonisan yang membahagiakan. Pandangan yang nostalgis tentang masyarakat desa di perhadapkan dengan sebuah pemaparan yang hidup tentang berbagai ketegangan dan ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat desa. Secara khusus perhatian kita diarahkan kepada nasib kaum perempuan dan anak-anak yang kurang diperhatikan. Dengan ini, novel ini tidak hanya mengundang untuk melihat satu wilayah dan sebuah kelompok masyarakat yang berada dipinggiran perhatian pada tingkat nasioanal, tetapi juga membuka tabir peminggiran yang juga terjadi di dalam masyarakat desa itu.
Pada awal kedatangannya masih ditulis kalimat seperti ini sebagai kesan pertama:
Sesungguhnya mereka orang-orang kaya, yang berlimpah kasih sayang dan persaudaraan. Kehidupan yang tenteram karena di tempat ini uang tidak menjadi Dewa. (hlm. 87).
Setelah mengalami sejumlah peristiwa Lila mesti mengatakan:
Hampir enam bulan berada di Flores, dan mengalami berbagai peristiwa. Hidup bukan sesuatu yang mudah, bukan sekedar kesenangan menerima gaji berbelanja di pertokoan atau menghabiskan uang dengan berekreasi atau membeli benda-benda koleksi dan hobi. Banyak hal mewarnai kehidupan. Ibarat pelangi, selama ini hanya warnah putih dan merah yang kulihat, tetapi di Flores aku mengenal warna jingga, hijau, biru dan ungu. (hlm. 420).
Selain itu, pengarang mengantar kita untuk menyadari banyaknya perubahan yang tengah terjadi karena mobilitas manusia dan arus informasi. Juga seorang peneliti, yang merekam apa yang dikira masih asli pada sebuah masyarakat, mesti menyadari bahwa kehadirannya sedang membawa perubahan ke dalam tatanan sosial itu. Di tengah gelombang perubahan yang tak terelakan itu, apakah satu kebudayaan asli akan tergilas dan hanya direkontruksi menjadi objek sebuah tontonan? Keseluruhan novel mengungkapkan sebuah dilema antara keinginan untuk mempertahankan kebudayaan yang sudah dibangun leluhur dan ketakberdayaan menemukan bentuk yang memadai untuk menyelamatkan kebudayaan itu dalam konteks yang berubah. Menulis sastra seperti ini adalah satu upaya untuk menyingkapkan apa yang pernah ada sedang berubah. Namun sebuah transformasi budaya yang kreatif tidak dapat dilaksanakan hanya dengan dokumentasi. Ada contoh yang mesti mengingatkan kita:
Di halaman belakang terdapat contoh bangunan rumah adat suku Lio yang dibuat dengan sempurna, tetapi kemudian terlantar tanpa perawatan, berdebu, terbakar matahari, dan tersapu angin laut yang membuatnya kusam. Ke-beradaannya hanya sebagai tanda bukti bahwa kota ini mpunya contoh rumah adat. (hlm. 24).
Satu proses pengenalan yang menerobos sekat-sekat kategori-kategori besar untuk menangkap perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam satu kolektivitas, akhirnya bermuara pada kisah cinta antara Lila dan Sam, seorang pemuda Flores. Tampaknya pelukisan kisah cinta itulah yang menjadi inti dari novel ini. Petualangan Lila, si Ata Mai, si orang asing di Flores, bukan hanya dan bukan terutama pergumulan seorang peneliti sosial yang berhadapan dengan sekian banyak pengalaman baru, tetapi agaknya pergolakan batin seorang perempuan yang terlibat dalam sebuah jalinan percintaan dengan seorang lelaki dengan sebuah latar belakang yang berbeda. Dunia batin seorang perempuan, yang terombang-ambing antara janji karier seorang wanita post-modern yang ditawari pekerjaan di Kanada, disingkapkan secara cukup jelas. Pada pihak lain, kita berhadapan dengan Sam, seorang lelaki yang tertutup dan penuh teka-teki.
Dengan teknik seperti ini pengarang novel menunjukkan bahwa yang menjadi Ata Mai bukan hanya dia yang datang dari luar. Ada pula orang asing di lingkungan sendiri, malah di dalam keluarga sendiri. Sebaliknya, persoalan kedekatan tidak terutama ditentukan oleh rahim yang melahirkan dan tanah yang memberi makan. Jika yang asli dapat dikonotasikan dengan yang dikenal, padanya orang merasa krasan, maka dapat terjadi bahwa yang asing menjadi asli, dan yang asli justru menjadi asing. Yang asli tidak selalu berarti yang jauh dan ditolak, dan yang asli tidak identik dengan yang dekat dan bersahabat. Berbagai pengalaman kepahitan telah mengunci hati Sam, menjadikannya orang yang sulit didekati dan dipahami, juga oleh orang tua dan saudarinya sendiri. Pada pihak lain, novel ini melukiskan, betapa dua perempuan yang berbeda asal namun seusia, Inez, saudari Sam, dan Lila, dapat sekian cepat menjadi sahabat yang sangat akrab.
Namun adalah terlalu naïf untuk mengatakan bahwa persoalan asing dan asli hanyalah masalah relasi antara dua manusia. Lingkungan dengan stereotipenya masih mempunyai peran yang sangat menentukan. Dengan menjadi sahabat dari Inez dan kekasih dari Sam, Lila belum menjadi seorang asli yang memahami semuanya dan bersahabat dengan semua orang di kampung. Tetap ada orang yang menolaknya, bukan hanya para rival Sam dan keluarganya, tetapi juga sejumlah orang yang memandang kehadirannya sebagai sebuah ancaman untuk keamanan kehidupan mereka. Sementara itu, masih ada banyak hal yang terus tersembunyi, yang tak tersingkap, yang tak dipahami. Lila menolak dan menunjukkan ketak-mengertiannya atas sikap Inez yang terlampau merendahkan dirinya sendiri sebagai perempuan.
“Kalau kau melamar ke Pemda bisa jadi camat, “candaku. Inez mencibirkan bibir
“Aku perempuan, susah mendapat posisi di daerah seperti ini, laki-lakilah yang menjadi camat atau bupati.” (hlm. 62).
Praktik penomorduaan perempuan adalah satu hal yang ditolaknya dan karena itu menjadikannya asing di tengah kaum laki-laki dan sebagian perempuan yang terkondisi oleh sistem yang didominasi kaum laki-laki. Selain itu, yang bertahan sebagai sebuah teka-teki yang tak terjawab adalah Sam. Lelaki yang dikasihimya itu adalah satu sosok yang asing dan tak terpahami, juga pada kunjungannya yang kedua ke Flores, setelah meninggalkannya selama tiga tahun.
Ata Mai menyingkapkan kenyataan, bahwa akan selalu ada sesuatu yang asing, yang tak terpahami di dalam setiap perjumpaan. Ketegangan yang diciptakan di dalam novel ini antara keriangan dan keringanan persahabatan yang cepat dan mudah antara Lila dan sejumlah besar tokoh lain, dan kesulitan untuk mendekati dan sungguh-sungguh memahami Sam, mengungkapkan kemustahilan sebuah obsesi bahwa manusia bisa mengenal secara paripurna. Selalu ada yang tersisa, yang asing. Setiap orang adalah Ata Mai bagi orang lain, dan bagi dirinya sendiri. Setelah menerima akhir yang menyedihkan dari kisah-kasih mereka, Lila mengatakan kepada dirinya sendiri:
Betapa munafiknya, satu sisi diriku menantinya tetapi, sebagian lain menolaknya. Sejauh ini hidupku selalu beruntung dan nasib baik selalu menyertaiku. Sekarang aku merasa dikalahkan oleh seorang gadis kecil yang bukan siapa-siapa! (hlm. 530).
Sikap paling tepat berhadapan dengan yang asing itu, adalah menghormati.
Sastra memang menyingkapkan, tetapi ada bagian dalam diri manusia yang masih tersembunyi, yang tak kuasa disingkapkan, juga tidak oleh sastra. Yang dapat dibuat sastra adalah menyadarkan orang akan adanya wilayah yang belum tersingkapkan ini dalam setiap orang. Kalau kita berbicara tentang dunia di depan kita, dunia yang diproyeksikan oleh pengarang, maka boleh jadi elemen ini yang hendak digarisbawahi, bahwa kita perlukan sikap saling menghargai secara tulus. Kita boleh dan harus selalu berusaha menemukan sebanyak mungkin kesamaan di antara kita, tetapi kita tidak akan pernah sampai pada sebuah pengenalan paripurna akan manusia. Yang rahasia, yang patut dihargai dan yang diterima kekhasannya, bukan hanya kebudayaan yang beragam, tetapi juga setiap diri manusia yang dijumpai.
=====================
*Tulisan ini adalah Kata Pengantar dalam Novel Ata Mai, Sang Pendatang, Galang Press