Oleh Ansel Deri, Orang Udik dari Kampung, Penikmat Sastra
TAK BANYAK PENYAIR setia mengendus kata dalam jejak sepi. Si penyair kayanya perlu semacam mantra sakti lalu menepi di sunyi puisi. Doa sudah pasti: di tempat sepi di kaki gunung, misalnya. Kadang di kamar biara. Di tengah savana. Pun di altar Gereja. Memeluknya dengan riang. Chee, salah satunya. Pasangan burung Gereja pun ia pelototi (dalam imajinasi) demi kata yang ia cari kemudian hadir dalam bait-bait. Tatkala pasangan burung bercinta pun, mata penyair ini tak sudi berpaling.
Chee Nardi Liman
Chee, si penyair dalam Sisi Lain Tuhan, mengamati burung Gereja yang tengah dalam desah. Chee, si penyair (lengkapnya Chee Nardi Liman), menyadari diri di sisi Tuhan: ia seperti manusia biasa, umat yang tak pernah bebas dari dosa. Ia (manusia, umat) adalah makluk berlumur dosa karena, misalnya, kerap selingkuh. Dan syair itu lahir dari kedalaman hatinya; lebih pas batin. Ia (penyair) -tentu juga penikmat puisi & sastra umumnya- seperti membasuh jiwa dalam syair; menyadari diri sebagai yang lemah di hadapan Sang Sabda. Katanya, “Maaf Tuhan, hamba-Mu doyan selingkuh di bangku-bangku bait-Mu,” kata Chee dalam Birahi, salah satu bait dalam Sisi Lain Tuhan, antologi puisi perdananya.
Paling kurang puluhan karya sastra (baca: puisi) Chee dalam antologi ini menegaskan satu hal: kedekatan penyair dengan Tuhan sebagai sumber inspirasi. Seketika kedekatan itu menjelma puisi-puisi religi dalam antologi bersampul gelap. Tambahan ilustrasi seorang (katakan musafir) tengah meneteng lentere di tengah gulita malam adalah perjalanan sunyi membasuh jiwa dalam doa. Karena itu lahirlah puisi-puisi religi (banyak saya lihat begitu) ringkas dengan lokus kelahiran puisi bertautan jauh satu sama lain. Kluang, Wisma Gaspar, Wanno Gaspar (apakah identik dengan Wisma Gaspar Chee?), Yogyakarta, Wisma Sang Penebus, dan Weetabula.
Adakah pembaca atau tepatnya penikmat puisi Chee tahu dari beberapa sudut negeri ini lahir puisi-puisi indah penyair muda ini? Yogya, Wetabula okelah. Yogya? Dunia tahu. Ia kota tempat domisili Raja Yogya sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X. Pun Weetabula. Di Pulau Sumba, menyebut Weetabula, identik dengan pusat karya para imam Katolik dari Kongregasi Redemptoris (CSsR). Begitu juga Sumba adalah tanah kelahiran Umbu Landu Paranggi, penyair unik bergelar “mantan Presiden Malioboro”. Umbu, penyair kuda kayu bertangan dingin yang melahirkan banyak penyair berbakat seperti budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) atau si empunya Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi AG bahkan Ebiet G Ade, penyanyi dan pencipta lagu legendaris Indonesia.
Sedang Kluang? Tentu tak banyak yang tahu di mana letaknya. Tapi tidak demikian dengan Chee. Ia (Kluang) adalah kampung nun di udik, di lereng Labalekan. Tepatnya di Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Kluang, Belabaja dan Boto adalah tiga kampung atau dusun kecil mungil di Nagawutun yang familiar dengan Boto. Boto (desa Labalimut) adalah pusat Paroki St Joseph Boto dan bekas kota Kecamatan Nagawutun tempo doeloe sebelum pindah ke Loang, kota kecamatan saat ini. Kluang adalah dusun tempat awal gedung SMP Lamaholot Boto, sekolah swasta yang didirikan para kepala kampung tahun 60-an untuk anak-anak kampung di sekitar lereng Labalekan. Tahun 1997, sekolah menengah ini diambil alih pemerintah kemudian berubah nama jadi SMP Negeri 2 Nagawutun.
Desa Belabaja, Kabupaten Lembata
Sekolah ini menjadi lahan pengabdian Josef Ribu Liman, ayahanda terkasih penyair Chee, sebagai guru. Pun kampung tempat Marselina Jawang, ibunda Chee menghabiskan waktu membesarkan ketiga anaknya: Elfri Liman, Icha Liman, dan penyair Chee. “Chee salah satu murid kami yang pintar dan rendah hati. Ia anak yang kutu buku. Kami bangga dengan alumni seperti Chee dan pilihan hidupnya saat ini. Saya sudah pesan beberapa buku Sisi Lain Tuhan agar jadi bahan bacaan adik-adiknya dan kami para guru di almamater,” kata Konrad Soni Labaona, Kepala SMP Negeri 2 Nagawutun. Setahu saya, guru Ribu Liman dan isterinya adalah aktivis sosial keagamaan. Di masanya, tatkala masih mengabdi di Boto, Ribu Liman adalah pemimpin Ibadat Sabda tatkala pastor paroki turne ke luar stasi. Begitu pula sang isteri, ibu Marselina, adalah anggota koor dan penggerak ibu-ibu di dusun ini. “Kalau liburan, anak-anak saya juga akan menghabiskan waktu liburnya di Kluang. Selain ke Lamabaka, kampung halaman dan tanah leluhurnya,” kata ibu Marselina tatkala saya sambangi di Klua(ng) suatu waktu.
Bpk. Jos Ribu Liman dan Ibu Marselina Jawang, Orang Tua Chee Nardi Liman
Elfri dan Icha Liman, Kakak dan Adik Chee Nardi Liman