“Penulis tidak hanya membutuhkan kepintaran, tetapi juga keberanian untuk menulis.” ( Dumupa Odiyaipai ).
Hari itu di antium Roma, selepas bertubi-tubi masalah menghantam Cicero, ia memanggil Tiro, pengawal setianya. “Apa satu-satunya senjata yang kumiliki Tiro?” Cicero bertanya, lalu menjawabnya sendiri, “ini,” ujarnya sambil menunjuk bukunya Kata-Kata. Caesar dan Pompeius punya tentara, Crassus punya harta, Cloudius punya pengawal di jalan. Satu-satunya tentaraku adalah kata-kata. Dengan bahasa aku meninggikan derajat dan dengan bahasa aku akan bertahan.
Fragmen sejarah ini dapat di baca pada episode terakhir novel brilian Conspirata. Dan sejarah memang mencatat bahwa “Kata-Kata” lah yang membuat nama Cicero abadi sebagai orator Romawi yang paling brilian dan dikenang oleh sejarah selama lebih dari 2000 tahun. Ia menjadi orang pertama yang meraih jabatan tertinggi di republik Romawi, tanpa modal harta melimpah atau dukungan jabatan turun temurun(Dea Tantyo, 2017).

Buku Kata yang Menghidupkan, Kumpulan Kata Inspiratif yang ditulis Yakobus Odiyaipai Dumupa adalah buku yang ke-10 yang ditulisnya. Sebelumnya ia telah menulis 9 buah buku yang terdiri dari buku umum, novel dan puisi. Uniknya, anak dari pasangan suami-istri Amatus Dumupa dan Theodora Goo ini menulis dan menerbitkan buku dalam situasi dan kapasitas apapun yang dimuainya sejak masih kuliah, menganggur, menjabat sebagai anggota Majelis Rakyat Papua, hingga menjabat sebagai Bupati Dogiyai.
Naskah dalam buku Kata yang Menghidupkan merupakan kumpulan kata-kata inspiratif yang telah ia tulis dan dipublikasikan secara lepas di media sosial facebook. Lelaki asal suku Mee ini, karena kegemarannya membaca, rupanya memahami betul bahwa seringkali seseorang dihargai bukan karena kedudukan, melainkan kekuatan kata-kata. Banyak tokoh dunia dikenang bukan karena harta atau kedudukan, tetapi dari apa yang mereka perbuat dan ucapkan. Sokrates, Cicero, Dalai Lama, Confucius, Mahatma Gandhi, adalah tokoh-tokoh yang pada zamannya bukan berlatar belakang orang kaya dan berkedudukan. Mereka adalah orang-orang sederhana tetapi ‘kata-kata’ mereka memiliki daya, kekuatan untuk merubah peradaban.
Tradisi Membaca dan Menulis Inspirasi dari Hatta
Menulis adalah kebiasaan orang-orang besar. Orang-orang besar menjadikan menulis sebagai tradisi. Tradisi membaca dan menulis juga melekat pada diri Bung Hatta. Sepanjang 77 tahun masa hidupnya, ia sudah membaca dan mengoleksi 80 ribu judul buku. Rasa cinta Mohammad Hatta terhadap buku benar-benar mengangumkan. Ke mana Hatta tinggal menetap ke situ pula ribuan buku itu ikut serta. Ia dan buku ibarat dua sejoli. Saat meminang Rahmi Rachim, Hatta menyerahkan mas kawin yang unik: buku karangannya sendiri Alam Pikiran Yunani. Buku ini ditulis saat Hatta di buang ke Boven Digul. Di Boven Digul, disela-sela waktunya yang tertib, Hatta menyempatkan memberi kursus kepada orang-orang buangan sesamanya. Kursus itu tidak hanya menyangkut masalah politik, ekonomi dan sosiologi. Namun juga filsafat. Menurut Hatta, filsafat meluaskan pandangan serta memepertajam pikiran. Dari bahan-bahan kursus filasafat itulah lahirlah buku Alam Pikiran Yunani.

Yakobus Odiyaipai Dumupa, penulis buku yang produktif ini juga adalah seorang pemimpin yang menimba spirit kepemimpinannya dari membaca dan menulis. Kemampuan intelektual seorang pemimpin diukur dari kemampuan menulisnya. Menulis adalah jalan untuk menyelami kehidupan dan memaknai keberadaan diri. Dalam semangat menulisnya, Yakobus Odiyaipai Dumupa, mungkin membatinkan pepatah Latin ini “Verba Volant, Scripta Manen”—Lisan Sementara, Tulisan Abadi—.
“Pikiran dan hati yang baik merupakan kombinasi yang dahsyat. Namun jika engkau menambahkan lidah atau pena yang terasah, maka engkau memiliki sesuatu yang istimewa.” (Nelson Mandela)


Paskalis Bataona