Oleh Bur Rasuanto
DISKUSI “Refleksi Kebudayaan” yang diadakan Institut Kesenian Jakarta September 1995 diberitakan pers suasananya cukup bersiram hujan tanda seru. Dr. Ignas Kleden yang bertindak sebagai moderator, berhasil membuat catatan yang cukup jelas mengenai pokok-pokok yang dibicarakan.
Namun, catatan Ignas yang terbit bersambung di Kompas 26-27 September 1995 “Dari Apologetik ke Dialog, Beberpa Kesimpulan Refleksi Kebudayaan” tidak hanya melaporkan “fakta”, tapi sekaligus menampilkan pemikiran Ignas Sendiri. Catatan ini akan mencoba menanggapi secara terbatas catatan Ignas: terbatas pada aktualitas topiknya, pada jarak terjauh dengan pandangan Ignas dalam catatannya itu, dan pada halaman yang tersedia.
Interpretasi
Menurut Ignas, perhatian besar telah diberikan forum diskusi terhadap kontroversi pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Ignas menyimpulkan bahwa yang menjadi titik perdebatan di sini adalah masalah kebenaran. Yaitu saling berhadapannya “dua jenis kebenaran yang amat berbeda hakikatnya, yaitu kebenaran sejarah dan kebenaran moral”. Ignas berpendapat, “pihak yang menentang hadiah berdiri di atas asas kebenaran sejarah”, sementara Pramoedya berpegang pada “kebenaran moral”.
Perbedaan antara “kebenaran sejarah” dan “kebenaran moral” itu berulang-ulang dijelaskan Ignas dengan berbagai cara. Mengutip Jurgen Habermas, Ignas menyebut kebenaran sejarah termasuk kebenaran pengetahuan (epistemische wahrheit), sedang kebenaran moral berkenaan dengan kejujuran sikap (moralische Warhefttigkeit). Bagi yang berdiri di atas kebenaran sejarah diingatkan bahwa fakta sejarah adalah satu hal, tetapi interpretasi atas fakta sejarah itu merupakan hasil tarik-menarik antara kenyataan obyektif dan pemahaman subyektif.
Pertanyaan yang segera muncul di sini: dengan alasan apa Ignas bisa menyimpulkan bahwa pihak yang memprotes hadiah berdiri atas asas kebenaran sejarah, sedang Pram berdiri atas kebenaran moral? Kalau masalahnya interpretasi, Ignas lupa membedakan dua macam interpretasi: interpretasi etis (atau politik, kalua mau lebih sempit) dari interpretasi metedologis (yang sifatnya akademis). Weber akan menyebutnya interpretasi etis dan interpretasi rasional.
Interpretasi rasional harus “netral”, interpretasi etis dibayangi emosi, empati, singkatnya: sudah bertolak dari sikap tertentu. Kesahihan interpretasi rasional dipertanggungjawabkan oleh metodenya; kesahihan interpretasi politik dipertanggungjawabkan oleh pengandaiannya. Sejarah versi resmi umumnya untuk memuaskan interpretasi politik. Dan argument seperti waktu itu negara dalam “bahaya” atau “saya hanya mendukung politik Soekarno”, juga interpretasi (kalau bukan manipulasi).
Tetapi, dalam kontroversi ini saya kira interpretasi atas fakta sejarah tidak begitu signifikan. Yang berhadapan di sini masih para pelaku sejarah itu sendiri. Mereka sendiri adalah bagian dari fakta sejarah itu. Kalau sekedar kebenaran “sejarah” fakta yang ada tidak memerlukan interpretasi yang berbelit-belit. Faktanya jelas, bahannya cukup, tertulis, saksi-saksi masih banyak yang hidup, begitu pun korban-korbannya.
Esensi Masalah
Kekeliruan hampir semua pandangan yang dikemukakan sekitar pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya itu, menurut saya, karena esensi masalahnya dipahami sebagai pertikaian mengenai masa lalu, dan bukan sebagai bagian dari proses suatu diskusi besar yang belum selesai antara dua posisi pemikiran budaya. Ignas rupanya terjebak dalam kekeliruan yang sama.
Kekeliruan itu melahirkan kesimpulan seakan terjadi polarisasi antara yang menentang yang dipersonifikasikan pada Taufiq Ismail/Rendra dan kawan-kawan, lawan pendukung yang dipersonifikasikan pada Arief Budiman, dan sekarang kebenaran sejarah vs kebenaran moral.
Arief dan kawan-kawan memang bertentangan dengan Taufiq/Rendra dan kawan-kawan dalam satu hal ini. Tetapi itu hanya mendemonstrasikan kuatnya komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip yang mereka yakini yang pernah membuat mereka menderita: kebebasan berpikir dan berbeda pendapat, termasuk pendapat mengenai “lawan”. Perbedaan hanya dalam satu hal itu, konsisitensi dengan persamaan mereka menuntut larangan terhadap karya-karya Pram dicabut dan hak-haknya dipulihkan. Buat saya yang menjadi tanda tanya justru sikap Pram: dengan senang hati menerima hadiah dari Lembaga yang disebutnya sendiri sebagai antek imperialisme-neokolonialisme.
Karena itu, esensi masalah di sini bukan perbedaan antara kebenaran sejarah vs kebenaran moral seperti yang disimpulkan Ignas. Esensi masalahnya adalah perbedaan mengenai prinsip-prinsip dasar yang bisa dijaring dari berbagai prespektif dan dataran. Ignas telah membawa diskusi ke dataran moral, dan kita coba ikuti arah ini. Obyektivisme vs relativisme moral.
Bidang moral adalah salah satu wilayah eksistensial manusia yang dicakup oleh satu dari tiga pertanyaan Kant: Was soll ich tun (Apa yang harus saya lakukan). Jawabannya adalah nilai baik/buruk (moral values) apabila mengenai orang, dan benar/salah/wajib (moral obligation) apabila mengenai tindakan.
Ignas, kembali mengutip Habermas, menunjukkan bahwa kebenaran moral berhubungan dengan truthfulness (kebaikan/kejujuran}, kebenaran etis berhubungan dengan rightness (yang benar/salah). Tetapi, dari prespektif etika konsensus (discourse ethics) – begitulah ajaran moral Habermas biasa disebut -, yang dimaksud Habermas justru sebaliknya: etik yang berkenaan dengan pertanyaan evaluatif, dan moral berkenaan dengan pertanyaan normatif.
Habermas membedakan tiga macam pertanyaan yang berkenan denga laku praktis: pragmatik, etik, dan moral, yang masing-masing menampilkan aspek tujuan (purposive), nilai-nilai baik (good), benar/salah yang terejawantah dalam prinsip adil (just).
Pertanyaan pragmatik berkenaan dengan laku yang dari semula sudah bertujuan. Kalau tujuan saya memenangkan pemilu, tak usah hirau disebut kampanye terselubung atau serakah kekuasaan. Kalau saya hirau, saya sudah memasuki wilayah etik atau moral (sejak Machiavelli, politik itu memang berpisah dari etika). Pertanyaan etis berkenan dengan nilai ideal dalam konteks budaya atau anutan tertentu, yang dapat ditarik ke pertanyaan siapa saya/kita? Dan mau jadi siapa saya/kita? (Who I/We want to be).
Pertanyaan moral berkenan dengan keadilan dalam tata interaksi sosial. Hanya pertanyaan moral, dan bukan pertanyaan pragmatik atau etis, yang memberikan jawaban berlaku umum. Karena itu, konsensus nasional pada masyarakat majemuk modern haya mungkin pada wilayah moral, yang oleh Habermas dipandang koeksistensif dengan masalah keadilan.
Apabila kontroversi kita dudukan pada dataran moral, perbedaan dapat dilacak dari perbedaan paham yang sudah cukup tua: obyektivisme vs relativisme moral. Relativisme moral mengaggap moralitas selamanya subyektif dan karena itu relatif. Obyektivisme mengakui moralitas subyektif dalam situasi konkret atau konteks tertentu. Tetapi, bagi obyektivisme ada norma-norma dasar obyektif yang berlaku umum, seperti keadilan atau yang berkenaan dengan hak-hak dasar manusia. Di lihat dari etika konsensus Habermas, relativisme moral itu hanya berada dalam wilayah pragmatik, sedang obyektivisme moral mencakup semua pragmatik, etik, dan moral.
Paham relativisme moral mewarnai Eropa abad ke-19, pengaruh dari hasil-hasil penelitian antropologi budaya. Marxisme adalah penganut relativisme itu sebagai konsekuensi teori Marx bahwa moralitas suatu mayarakat adalah moralitas kelas yang berkuasa yang ditentukan kelas yang mendominasi ekonomi. Relativisme Marxisme ini bergerak kian ekstrem pada setiap tahap reduksi dirinya.
Dimulai dari Marx sendiri mereduksi ajarannya dari filsafat ke politik, kemudian Lenin mereduksi politik Marxisme ke partai yang direduksi lagi ke kekuasaan. Inilah Marxisme-Leninisme yang di tahun 1934 melahirkan “realisme sosialis”, doktrin relativisme moral di bidang seni yang sejak tahun 1950-an dikemabangkan Pramoedya dan kawan-kawan di Indonesia.
Relativisme moral, jika diikuti, membawa kosekuensi berbahaya. Tetapi, kesahihan pendirian ini sudah lama dibantah, dari segi etik sendiri maupun epistemologis. Kata orang, kalua moralitas semuanya relatif, apa istimewanya komnisme dan mengapa orang harus percaya padanya?
Baik Arief Budiman maupun Taufiq/Rendra menurut hemat saya sama-sama berpegang pada obyektivisme moral. Perbedaan yang mereka perlihatkan justru membuktikan persamaan mereka dalam berpegang pada prinsip-prinsip kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Sebaliknya Pram, entah masih berpegang pada relativisme moral, atau tidak berpegang pada apa-apa lagi.
Bur Rasuanto, Pernah Menjadi Wartawan Tempo, Menulis Buku Saya Berambisi Menjadi Presiden, Keadilan Sosial.
Sumber Tulisan: dari buku Saya Berambisi Menjadi Presiden, Bur Rasuanto, Penerbit Kompas.