K A R L I N A S U P E L I
“Kita dapat menjadi kuat dengan pengetahuan, tetapi kita memperoleh kepenuhan melalui simpati……Namun, kita dapati pendidikan simpati di sekolah-sekolah bukan hanya secara sistematis diabaikan, melainkan sungguh-sungguh ditekan.” (Rabindranath Tagore)
Dengan kata-kata Tagore itulah Martha Craven Nussbaum membuka salah satu bab dalam bukunya, Not for Profit: Why Democracy Needs Humanities (2010). Nussbaum adalah pemikir yang paling gigih mengembangkan dan memperluas teori keadilan berdasarkan pendekatan kapabilitas, suatu pendekatan yang pertama kali di kemukakan oleh Amartya Sen.
Sen dan Nussbaum banyak bekerja sama. Nussbaum pun mengakui pengaruh Sen dalam pemikirannya, kendati dia juga menegaskan perbedaannya dengan Sen. Bagi Nussbaum, pendekatan kapabilitas Sen terlalu umum. Nussbaum yakin, pendekatan itu hanya akan bermanfaat bagi program pembangunan apabila dilengkapi dengan rumusan konkret tentang kapabilitas utama manusia sebagai tolak ukur minimum untuk keadilan sosial.
Dengan bertolak dari pertanyaan, “sesungguhnya, seseorang itu mampu melakukan apa dan menjadi apa?” Nussbaum merumuskan sepuluh kapabilitas utama sebagai syarat agar seseorang dapat hidup secara bermartabat, yaitu hidup, kesehatan tubuh, integritas tubuh, indra-imajinasi-pikiran, emosi, nalar praktis, afiliasi, spesies lain, bermain, dan kendali atas lingkungan. Apabila tidak dapat menjamin terpenuhinya kapabilitas utama bagi setiap warga, sekurang-kurangnya pada aras ambang yang memadai, masyarakat yang adil gagal terwujud. Demikian pernyataan tegas Nussbaum dalam bukunya Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (2006).
Kendati konsepsi Nussbaum seputar kapabilitas cukup berpengaruh, saya tidak membahasnya secara khusus dalam tulisan ini. Saya ingin mengemukakan perhatian Nussabaum pada peran imajinasi yang dia pandang penting untuk menumbuhkan simpati yang dikeluhkan oleh Tagore di atas. Seperti setiap kapabilitas dalam daftar Nussbaum, imajinasi tidak dapat ditukar dan tidak berada di bawah hierarki kapabilitas lainnya. Saya memilih tema ini dengan pengandaian sederhana, tanpa simpati tidak mungkin kita peduli dan tanpa kepedulian tidak mungkin kita membentuk masyarakat yang adil.
Imajinasi dan politik kemanusiaan
Bagaimanakah kita mampu memandang orang lain sebagai sesama manusia dan bukan seekor siput berlendir atau sampah masyarakat? Tanya Nussbaum. Kemanusiaan seseorang tidak otomatis tampil ketika kita berhadapan dengan orang asing. Tidak ada stempel dikening gelandangan yang dihalau dan gubuknya dibakar, yang menandai bahwa dia adalah warga negara dan bukan hama yang harus dienyahkan. Tidak sedikit orang yang memandang gelandangan, waria, penderita HIV, pekerja seksual, dan kaum homoseksual dengan rasa jijik serta tanpa rasa hormat barang secuil terhadap martabat kemanusiaan mereka.
Hormat-menghormati sudah lama menjadi kata kunci dalam politik kesetaraan yang memandu hidup sehari-hari warga di negara demokrasi. Sungguh pun penting, Nussbaum berpendapat politik hormat-menghormati tidak memadai untuk membangun politik yang adil dalam masyrakat yang sangat beragam.
Dalam From Disgust to Humanity (2010), Nussbaum memulai argumennya dengan membayangkan sesosok manusia hadir di depan kita. Kehadiran seseorang, senantiasa menghadapkan kita pada dua pilihan: memperlakukannya dia sebagai sesama manusia, atau memperlakukannya sebagai sekadar sesuatu seperti pelbagai objek di sekitar kita lainnya? Nussbaum tidak meminta kita langsung menjawab pertanyaan itu. Dia mengajak kita melatih imajinasi. Hanya dengan membayangkan bagaimana dunia tampil melalui kaca mata orang lain, kita mampu melihat dia sebagai sesosok pribadi dan bukan seonggok objek.
Nussbaum menyebut cara pandang itu sebagai politik kemanusiaan. Inilah sikap politis yang menjalin hormat-menghormati dengan rasa ingin tahu dan penyelarasan imajinatif. Terlebih-lebih, ada ihwal yang berbeda dalam politik kemanusiaan, “sesuatu yang lebih dekat dengan cinta kasih”, demikian dia menulis dalam From Disgust to Humanity. Sebelum sampai ke politik hormat-menghormati, orang perlu terlebih dahulu belajar memikirkan orang lain dengan simpati dan imajinasinya.
Mengingat kata kemanusiaan kini dimaknai lewat banyak penafsiran, Nussbaum cukup berhati-hati. Dia menambahkan keterangan bahwa kemanusiaan yang dia maksudkan mengacu ke Adam Smith dan Cicero. Dalam Theory of Moral Sentiment (1976), Smith melukiskan bagimana ‘man of humanity’ di Eropa bereaksi ketika mendengar gempa bumi hebat melanda Cina dan menelan banyak penduduk. Smith menggambarkan dua situasi berbeda.
Pertama, “orang berperikemanusiaan itu” mengerti bahwa dia tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak memiliki jalur apa pun ke Kawasan yang tertimpa bencana. Smith membayangkan, karena tidak mempengaruhi kepentingan orang tersebut secara langsung, sesudah semua sentiment kemanusiaannya ternyatakan secara mendalam dan segala refleksi filosofisnya yang bagus selesai, “dia tidur mendengarkan dengan penuh rasa aman di atas kehancuran ratusan juta sesama manusia.“ Situasinya tentu berbeda seandainya dia tahu, oleh sesuatu sebab jari kelingkingannya akan putus besok pagi. Tentu semalam dia tidak bisa tidur.
Karena mengerti bagaimana manusia akan menanggapi situasi pertama, Smith membayangkan situasi kedua. Apakah orang itu bersedia berkorban seandainya semua kesengsaraan itu dapat dicegah dengan merelakan jari kelingkingnya? Smith menjawab dengan menunjuk ke kemampuan manusia untuk memandang melalui pengamat yang tidak memihak (impartial spectator).
Dalam pertimbangan Smith, bukan daya lembut kemanusiaan dan bukan percikan kebajikan yang sanggup menangkal impuls kecintaan terkuat manusia kepada dirinya sendiri. Dalam hati manusia, ada cinta dan efeksi yang jauh lebih kuat ketimbang itu semua. Cinta inilah yang muncul ketika seseorang membayangkan penderitaan orang lain dan menhadapi pilihan seperti di atas. Itulah “cinta kepada yang luhur dan mulia, yang gemilang serta bermartabat, dan cinta kepada keunggulan karakter,” tulis Smith.
Nussbaum merumuskan pandangan Smith sebagai kemampuan untuk membayangkan pengalaman orang lain dan berpartisipasi secara emosional di dalamnya. Nussbaum sendiri menyebutnya sebagai keterlibatan yang lentur dan murah hati dengan kesengsaraan dan pengharapan orang lain. Sedangkan dari surat Cicero kepada Atticus, Nussbaum mengadopsi pengertian humanitas yang menunjuk ke kemampuan menanggapi pengalaman orang lain dengan membayangkan pengalaman itu. Nussbaum menerjemahkan humanitas menjadi simpati – pemahaman empati sekaligus kepekaan terhadap pengalaman orang lain dan orang lain itu adalah pribadi.
Imajinasi memungkinkan kategori abstrak seperti keadilan menjadi nyata dan hidup pada saat kita membayangkan bukan orang lain, melainkan diri kita sendiri yang mengalami perlakuan tidak adil, misalnya karena identitas jender, pilihan agama, atau orientasi seksual. Bagi, Nussbaum, hanya kemampuan imajinatif yang sanggup menggerakan kita untuk memandang orang lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan sarana pada kepentingan kita.
Politik kemanusiaan tidak mengharuskan kita mendukung pilihan seseorang atau menyetujui tindaknnya. Tuntutan politik kemanusiaan jauh lebih kecil. Kita boleh tidak setuju dengan tindaknnya dan bahkan memiliki alasan yang sah untuk menghalanginya jika kita tahu tindakannya itu akan mengakibatkan pihak lain cedera. Apa pun situasinya, itu semua tidak menghalangi kita memandang dan memperlakukan orang tersebut dengan bermartabat.
Di sinilah kita melihat radikalitas politik kemanusiaan yang ditawarkan oleh Nussbaum. Persis karena sedemikian radikal, tidak mudah bagi banyak orang untuk membayangkan, apalagi menerapkan politik kemanusiaan Nussbaum, yang dibangun sebagai landasan etis untuk membela hak-hak homoseksual.
Tentu bukan hal yang mudah ketika dalam Frontiers of Justice Nussbaum menawarkan pendekatan kapabilitas dengan metode imajinasi untuk menyusun konsepsi keadilan bagi makhluk selain manusia. Masalahnya, manusia memahami dunia melalui satu-satunya bahasa yang dia pahami, yaitu bahasa manusia. Selalu ada resiko keliru manakala proyeksi antropomorfis kita terapkan kepada spesies selain manusia. Nussbaum sendiri menyadari, tidak ada tolok ukur yang pasti untuk menjalankan metode ini dengan betul. Orang hanya dapat mencoba.
Imajinasi Naratif
Politik kemanusiaan lahir dari refleksi Nussbaum atas “politik rasa jijik” yang tidak saja melandasi kebijakan publik yang diskriminatif terhadapa kaum homoseksual, tetapi juga sikap kebanyakan orang yang mencerminkan penolakan fundamental atas kemanusiaan mereka. Politik rasa jijik juga melandasi kebencian ras, diskriminasi kelas, dan konflik antar agama. Pernikahan pasangan yang berbeda ras atau kelas sosial, misalnya, dipandang dengan penuh kebencian atau rasa jijik sebagai tindakan yang mencemarkan kemurniaan rasa atau menistakan keluarga.
Dari analisis dua jenis politik di atas itulah Nussbaum sampai ke pengertian simpati pada aras yang melampaui emosi sebagaimana yang kita pahami sehari-hari. Meminjam analisis Robert Solomon atas konsep simpati Adam Smith sebagai fenomenologi putusan moral, tampak bahwa Nussbaum, seperti Adam Smith dan Cicero, memaknai simpati sebagai wahana pemahaman atas aneka macam emosi dari sudut pandang orang pertama. Aneka emosi yang rentangnya amat panjang, mulai dari rasa sebal, jijik dan penolakan sampai ke kepedulian dan cinta kasih.
Sebagaimana yang diakui Nussbaum, perhatian pada tema ini didorong oleh pertemuannya dengan aktor drama Herbert Foster. Ketika itu, Nussbaum berumur 16 tahun berpasangan dengan Foster dalam drama My Fair Lady dan kerap berdansa dalam lakon panggung. Dia mengaku naksir berat, tetapi kemudian kecewa ketika mengetahui Foster seorang gay.
Sejak itulah dia tidak pernah berhenti memikirkan orang-orang seperti Foster. Mengapa orang yang perilakunya paling baik di seluruh teater itu justru merupakan orang yang terpaksa menyembunyikan jati dirinya? Dia mencoba membayangkan harapan, tujuan, dan makna yang mereka cari dalam hidup. Buku From Disgust to Humanity (2010) dia persembahkan kepada Foster.
Kendati tidak lagi tampil di teater, dunia sastra dan seni tetap merupakan tempat Nussbaum menggali inspirasi. Ketika mengkritik sistem pendidikan dalam Cultivating Humanity (1997) dan Not for Profit (2010), serta merumuskan konsepsinya tentang perubahan sosial dalam Political Emotions: Why Love Matters for Justice (2013), Nussbaum membahas karya sastra, music dan drama, sebagai sumber yang tiada habis untuk mendidik emosi dan merawat imajinasi. Dia menyebutnya sebagai imajinasi naratif.
Melalui beragam karya dalam bidang seni dan humaniora, mulai dari tragedi dalam teks Yunani klasik, puisi Tagore dan Walt Whitman, tuturan Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr., tulisan-tulisan Aristoteles, Rousseau, John Stuart Mill, August Comte, sampai opera Mozart “The Marriage of Figaro” (Nussbaum sendiri menyanyikan Aria Cherubino yang terkenal dari opera itu), Nussbaum mencoba menjawab pertanyaan berikut: bagimanakah kita dapat melahirkan budaya emosi publik yang akan membuat masyarakat lebih adil, lebih inklusif, lebih berbudi, dan lebih imajinatif?
Manusia tidak mungkin menghadapi dunia yang begitu rumit hanya dengan mengandalkan pengetahuan faktual dan logika. “Tahu banyak tidak membuat orang mengerti,” demikian kata Heraklitos. Sesudah mengutip filsuf yang hidup 2500 tahun yang lalu itu. Nussbaum melompat ke lagu anak-anak, “Twinkle, twinkle little star, how I wonder what you are”. Sebuah lagu sederhana yang membangkitkan rasa takjub akan misteri, sekaligus rasa ingin tahu dalam diri anak-anak.
Barangkali, anak itu kemudian membayangkan ada sesuatu yang misterius di dalam titik yang berkelip-kelip di langit, sebuah kehidupan seperti yang dia saksikan di sekitarnya. Dia kemudian belajar menaruh emosi, pikiran dan hasrat ke sosok tertentu – dalam hal ini bintang. Kelak, itu semua akan diterapkan ketika berhadapan dengan sosok berupa manusia tidak dikenal dan membantunya berelasi dengan orang-orang lain. Lirik “how I wonder what you are” juga mengenalkan anak pada keterbatasan, ketidaktahuan, dan kerentanannya sendiri. Mungkin pada perasaan takut, sedih, gembira, dan lain sebagainya, dalam batin si anak waktu dia membayangkan misteri yang bersembunyi di sana.
Dengan uraiannya yang cukup panjang tentang peran dongeng, lagu, tarian dan buku-buku sastra bagi anak-anak serta remaja sesuai usia dan tahap perkembangannya, Nussbaum hendak menunjukkan bahwa dasar bagi civic is imagining, yakni kemampuan untuk membayangkan kehidupan publik yang beradab, perlu dibentuk sejak anak-anak. Pembentukan itu tidak cukup hanya berlangsung dalam keluarga, tetapi perlu menjadi agenda politik. Artinya, kurikulum pendidikan perlu dengan sengaja dirancang untuk menumbuhkan kapasitas itu.
Apa yang disampaikan Nussbaum terkait pendidikan emosi dan imajinasi tidak sepenuhnya baru. Nussbaum sendiri memberi contoh model pendidikan yang dikembangkan oleh John Dewey di Amerika Serikat dan Tagore di India. Keduanya menekankan proses berpikir kritis dalam Pendidikan, yang oleh Nussbaum digambarkan seperti dialog Sokrates. Akan tetapi, proses itu beresiko menjadi dingin tanpa kehangatan emosi jika tidak diimbangi dengan seni. Berpikir kritis seringkali tersusun dari argumen-argumen logis melulu.
Dewey tidak mengartikan pelajarn seni sebagai latihan agar siswa mengapresiasi seni adi luhung yang lepas dari duka dan suka dunia nyata, dan apalagi mengajarkan siswa untuk percaya bahwa imajinasi hanya penting di ranah fiksi. Sebaliknya, siswa perlu mengerti bahwa karya seni hanyalah salah satu lapangan tempat mereka dapat merawat imajinasi. Lebih dari itu, mereka perlu belajar melihat adanya matra imajinatif di semua bidang interaksi mereka. Dari Tagore, Nussbaum menangkap pentingya seni dalam menumbuhkan kemampuan seseorang untuk menjelajahi batinnya sendiri dan menanggapi orang lain. Bagi Nussbaum, ini berarti pelajaran seni perlu membawa siswa bersentuhan dengan persoalan ketidakadilan jender, ras, etnisitas, dan kekayaan lintas budaya.
Nussbaum benar bahwa nalar dan argument-argumen logis saja tidak cukup. Tidak banyak yang sebetulnya kita capai apabila argumen-argumen yang masuk akal tidak sampai menggerakan emosi dan mendorong orang untuk bertindak. Di bilik terdalam manusia, argumen-argumen rasional sering kali kalah. Barangkali itulah alasan mengapa para filsuf Stoa mengarahkan perhatian mereka ke emosi dan Hume mengatakan nalar semata-mata budak hasrat. Nussbaum sendiri percaya, hanya jika emosi dan hasrat dapat dibuat untuk mengerti, orang memperoleh alasan untuk mengubah tindakannya.
Oleh karena itu, tawaran Nussbaum berisiko menjadi proses yang terpenggal di tengah jalan kalua orang berhenti di pemahaman kognitif dan reaksi afektif. Proses itu haya menemukan kematangannya ketika pemahaman, keyakinan, emosi dan hasrat yang terbentuk melalui pendidikan terjelma dalam praktek ragawi berupa kebiasaan untuk bertindak. Di dalam praktek itulah akan terlihat apakah pendidikan berhasil mencerahkan budi, menumbuhkan kepedulian dan belas kasih serta mengasah nurani.
Di sini kita diingatkan pada tradisi pendidikan humanis yang mulai tumbuh sejak akhir periode Renaisans. Sesungguhnya, apa pun bidang yang kita pelajari, sejauh pendekatannya menekankan cura personalis yang menjalin secara sistematik aspek batin (akal budi, emosi, hasrat) beserta tahap reflektif dan evaluatifnya, dengan aspek ragawi (komitmen untuk bertindak) dan aspek dunia sekitar (konteks historis dan aktual), daya-daya imajinasi, belas kasih, dan kepedulian dapat menemukan lahan untuk tumbuh dengan subur.
Dengan pendekatan itu, seorang siswa yang sedang mempelajari suatu gejala alam atau peristiwa sejarah tertentu, misalnya, tidak saja diajak untuk bertanya apa, bagaimana, dan mengapa demikian. Dia juga diajak untuk memahami perasaan yang muncul sesudah mengalami dan mengetahui fakta tertentu. Mungkin dia takjub, seperti Kepler terpesona oleh laju gerak planet yang mengedari matahari sampai-sampai menuangkannya dalam tangga nada dan melahirkan musik langit. Atau, barangkali dia kecewa seperti Copernicus, yang tidak puas dengan sistem Ptolemaios yang sama sekali tidak indah dan bahkan buruk bagaikan monster. Dari kekecewaan itu lahir model tata surya yang sekarang kita kenal.
Pendidikan humaniora tidak hanya mengajarkan siswa membayangkan dan memeriksa relasi antar fakta, konsep dan asas, tetapi juga membiasakan siswa berdiaolog dengan batinnya sendiri dan bertanya, tilikan apa yang dia dapat? Bagaimana dia bereaksi terhadap tilikan itu? Nyamankah dia dengan reaksi itu? Mengapa? Apa makna bagi kehidupan dia sehari-hari? Bagaimana itu semua mempengaruhi tindakan dia selanjutnya? Sesudah membayangkan kesengsaraan banyak orang akibat perang, misalnya, apakah dia akan berusaha mengurangi konflik dengan teman-temannya? Bagaimana dia berencana melaksanakannya.
Apakah kemampuan imajinasi itu diperoleh lewat seni dan sastra seperti disampaikan oleh Nussbaum, ataukah lewat ilmu alam atapun bidang-bidang lainnya, dalam pendapat saya, adalah perkara penataan kurikulum yang seimbang. Faktor yang lebih menentukan adalah pedagogi yang diterapkan. Simpati dan belas kasih tidak mustahil lahir dari pelajaran ilmu-ilmu kealamaan. Ilmu-ilmu yang terkesan “keras” itu, sejauh dijalankan dengan kemampuan imajinatif yang kaya, dapat membuka ruang-ruang emosi yang tidak kala hangat dibandingkan yang datang dari seni, sastra, dan bidang-bidang humaniora lainnya.
Lewat fisika, mislnya, alam terbayangkan sebagai sebuah jaringan yang semua simpulnya saling terkait – mulai dari ledakan supernova di galaksi terjauh sampai ke protein yang menyusun sel-sel benak dan memungkinkan Anda membaca naskah ini. Gambaran alam seperti itu mengajak siswa mengimajinasikan kerapuhan manusia, kesetaraan, dan ketergantungannya, baik terhadap sesama manusia maupun spesies lainnya serta alam secara keseluruhan. Bukankah keprihatinan melampaui belas kasih dan kemanusiaan seperti ini yang diharapkan oleh Nussbaum ketika dia menawarkan pendekatan kapabilitas terhadap makhluk yang bukan manusia?
Membayangkan Indonesia
Negara ini berdiri di atas kemampuan para pendirinya membayangkan Indonesia yang dicita-citakan pada permulaan abad ke-20. Sesudah imajinasi itu terwujud secara politik melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pendiri republik ini tidak berhenti berimajinasi. De facto Indonesia sudah lahir. Akan tetapi, bagaimanakah membangun Indonesia yang bukan hanya terdiri dari gerombolan jutaan orang, melainkan dihuni oleh himpunan warga negara. Warga negara macam apa kah yang dibayangkan.
Salah satu tujuan Pendidikan adalah menjawab pertanyaan itu. Tentu bukan tanpa alasan bahwa para pendiri republik bertekad “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan bukan sekadar mencerdaskan orang perorang. Di dalam tekad itu tidak hanya terkandung pengertian pendidikan untuk seluruh rakyat. Tekad itu bertujuan mentranformasikan cara hidup setiap warga negara Indonesia, sehingga dia tidak lagi memandang, berpikir, merasa dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etnik, budaya dan agama tertentu, tetapi hidup bersama berdasarkan prinsip-prinsip civic.
Dengan ingatan akan sejarah Indonesia sejak masih dibayangkan itulah refleksi Nussbaum membuat kita semakin risau. Sudah lama para pendidik yang serius memikirkan masa depan anak merasa prihatin dengan kecenderungan banyak pihak yang menjadikan pendidikan sebagai sekadar mesin produksi tenaga yang laku di pasar kerja. Pendidikan menjadi sarana untuk mencetak para tukang yang dilatih untuk hanya memikirkan hal-hal praktis yang bernilai ekonomis. Alih-alih menerapkan tolok ukur pendidikan untuk menilai mutu pengelolahan pendidikan, para birokrat menerapkan nalar ekonomi dan nalar industri. Mutu pendidikan didefinisikan berdasarkan kepuasan pelanggan dan lembaga-lembaga pendidikan pun sibuk berburu ISO versi pendidikan.
Ketika orang dididik untuk terbiasa memikirkan hal-hal yang punya nilai ekonomis belaka, dia kehilangan kemampuan menciptakan piranti intelektual untuk mengembangkan daya-daya abstraksi. Sebuah bangsa yang warganya miskin dalam kemampuan berpikir abstrak, tidak mungkin memiliki imajinasi yang melampaui batas-batas sempit kepentingannya sendiri atau kelompoknya, apalagi menciptakan imajinasi kolektif tentang sebuah negara-bangsa tempat warganya saling peduli dan tergerak untuk membayangkan kesengsaraan orang lain sebagai pengalamn kesengsaraannya.
Mengertilah kita mengapa Nussbaum menimbang imajinasi, seperti juga emosi dan belas kasih, penting untuk membangun keadilan.
***************
Karlina Supeli, dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Sumber Tulisan Majalah BASIS No 05-06 tahun ke-64, 2015
Sangat mencerahkan. Terima kasih banyak atas tulisannya yang luar biasa