Martin Aleida
Gigi laut utara menggiring kami kemari, ke laut Sawu yang hangat dan biru begini. Langit begitu rendah. Seperti hendak rebah. Lengkungnya sesekali disaput semburan air yang tegak lurus meniti dalam hembusan napas paru-paru paus pembunuh. Orang-orang yang mendiami pulau kecil di sini menyebut mereka seguni. Sementara aku dan kaumku, mereka beri nama kotoklema.
Setahun sekali kami melintas di tengah laut ini. Beberapa mil dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa. Menyediakan diri sebagai umpan yang akan menghidupi mereka selama laut utara dingin membekukan. Hubungan kami dan mereka, yang sudah berabad-abad, membuat mereka hafal bahwa paus jenis kami adalah buruan yang mudah ditaklukan. Sekali tempuling tertancap, kami bukannya melawan, malah mempermudah pertarungan. Kami tidak akan melawan sebagai mana paus pembunuh yang akan menggeliat meronta dalam darah, berputar-putar, menyiksa atau meremukkan perahu seisi-isinya. Membuat ombak marah, memerah, amisnya mencemari langit yang begitu biru, begitu damai. Terkadang di antara pemburu yang baik hati tapi tak berdaya itu ada yang mati atau tinggal terkatung-katung berminggu-minggu sebelum terdampar di benua selatan. Sementara untuk menaklukkan kami layaknya seperti mengikuti pesta besar yang pada akhirnya toh akan usai.
Begini jalannya pesta perburuhan itu. Tempuling yang sudah tertanam di jantung kami di hubungkan dengan leo, tali yang terbuat dari kapas yang dipilin dan disamak, ditambatkan ke sebatang galar di dalam perahu. Sesungguhnya kami adalah makhluk pemasrah. Kami tahu kami tahu kami adalah untuk mereka, para pemburu itu. Tetapi, kami ingin mati terhormat dengan berenang menyongsong laut lepas di mana tiada dosa. Karena kami mengejar kematian ke tengah laut, maka para pemburu itu terseret tali yang menegang, lurus-lurus menuju tepi langit. Sampai kami lemas kehilangan darah dan tenaga, lalu mati.
Para pemburu itu adalah makhluk yang menertawakan. Yang mereka kerjakan lucu. Mereka tak perlu terjun ke laut sambil menghunus pisau untuk melukai, mencabik-cabik nadi kami supaya darah menyembur lebih deras. Kami akan menemukan kematian kami sendiri demi mereka. Kami tahu, mereka tidak berbakat pembunuh. Ini cuma kesalahpahaman yang sudah berabad-abad. Kami tak pernah dipahami.
Langit begitu biru. Semburan-semburan air yang melukis dinding langit membuat hati para pengintai di pantai sana berdebur rasa riang bercampur cemas. Apalagi semburan itu tidak tampak tegak lurus mencakar langit, melainkan condong ke depan, membentuk buah pir yang sedang granum-ranumnya. Pertanda bahwa lakonnya adalah kami, kotoklema, dan bahwa pesta akan berlangsung mudah. Tubuh-tubuh manusia terpacak di atas kaki yang tegak gemetaran. Seperti hendak memecahkan urat leher mereka berseru sejadi-jadinya begitu melihat semburan napas kami yang sedang menyingkapkan hari yang baru di laut yang hangat ini. “Baleo…..! Baleo…..!” Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir di pantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit.
Manisnya hidup ini, kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa kecuali darah dan tenaga, menari-nari di semua benua. Sementara di sini, agama menemukan jiwanya yang sejati. Sesaat lalu, di pantai itu berlangsung “misa”, di mana doa bercampur dengan mantra kaum Jahiliah untuk memanggil roh kami. Oh….pekerjaan manusia yang sia-sia! Tuhan terlalu baik. Dia tak usah disembah supaya menghanyutkan kami kemari. Adalah seruan hidup kami untuk sengaja datang dan menyerahkan diri. Bukankah kami lebih kuat dari agama, kalau diingat bahwa agama dikenal penduduk pulau kecil itu hanya karena kecelakaan. Dua pastor, dengan tujuan pulau yang lebih besar terdampar ke sini. Perahu mereka diterjang badai dan gelombang yang mengamuk.

Tetapi baiklah kalau “misa” memanggil roh sudah terlanjur diniatkan. Niat selalu suci. Namun, misa itu tetaplah misa yang ganjil. Lihatlah, di situ tak ada gereja. Cuma ada kapel dan altar yang terbuat dari batu gunung yang ditatah, dionggokan dengan rasa hormat di pojok dusun. Lelaki dan perempuan mengenakan sarung dan baju terbaik. Mereka berdiri dengan tertib. Kuping mereka tampak lebih besar yang mereka tadahkan dengan baik-baik, untuk menyimak pastor yang sedang memimpin misa yang digelar di atas pasir di bibir pantai. Di bibir pantai….Pujian setinggi angkasa dan permohonan yang mengiba-iba kepada Roh Kudus diperdengarkan untuk mengundang kami, para paus, yang diharapkan datang bergulung-gulung dalam jumlah yang akan membuat laut menjadi hitam. Mengalun pula doa bagi orang yang meninggal dan hilang dalam perburuan yang ganas tahun kemarin, atau berabad-abad yang silam, agar mereka mendapatkan belaian kasih dan pengampunan Allah di surga.

Ini desa nelayan tiada duanya. Malam-malam terdengar orang mengaji Injil. Kata-kata Ilahiahnya melintasi pintu dan jendela-jendela rumah yang tak pernah ditutup supaya kecipak ikan masuk leluasa. Dan hidup benar-benar terasa duniawi karena dibeberapa sudut tercium aroma tuak dan ceracau mereka yang mabuk.
“Baleo….! Baleo…..!” Dalam hitungan sekecipak air laut, selusin perahu bercadik meluncur dan dikayuh kuat-kuat. Hati para pemburu itu dikuasai keinginan untuk meratah daging kami, mereguk minyak dan darah kami. Begitu sulitkah sebuah pengertian? Seakan seratus tahun tak pernah cukup untuk memahami bahwa kami melintas di sini untuk memenuhi panggilan penyerahan diri, pengorbanan untuk berlangsungnya hidup mereka di pulau yang kering sengsara. Lamalera!

Pandanglah si Lamafa, pemegang tempuling yang berdiri di haluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegangi tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam. Kalau kami dipahami dengan benar. Kalau saja mereka mengerti bahwa hidup kami memang buat mereka, tak seharusnya hati seorang lamafa adalah campuran kecemasan dan keberanian. Orang semanis dia tak seharusnya menyimpan hasrat membunuh. Sama seperti tidak seharusnya anak-anak kami berniat membunuh kami supaya bisa menyusui di puting susu kami. Kami bukan makhluk yang haus darah sebagaimana manusia di Jawa dan Bali yang memangsa saudaranya sendiri, berpuluh tahun yang lalu, ketika kami sekaum sedang menjelajahi laut selatan. Menjijikan. Ada jenderal yang bangga telah membinaskan orang tak bersenjata, tak bersalah, jutaan jumlahnya. Jung pecah yu yang kenyang, kata peribahasa. Sesudah pembantaian itu, langit pun tahu siapa yang mati kekenyangan.
Langit semakin biru. Garis pantai terputus-putus terlindung haluan perahu yang menderu, beradu cepat mengejar kami. Para pemburu maju bersama perahu mereka yang begitu sederhana, yang tak pernah berubah sejak ratusan tahun yang lampau sejak kami saling bertemu. Memang, seharusnya seperti itulah. Berangkat dengan doa. Bertolak dengan kesederhanaan. Melaut membawa perut yang hanya sejengkal. Tidah seperti pemburu di daratan lain, yang datang dengan kapal-kapal besi. Tempuling mereka bukan bambu, tapi meriam.
Setengah mil dari iringan-iringan kami, tempuling pertama sudah dihunjamkan si lamafa sekuat-kuatnya dengan seluruh tubuhnya ikut mencebur ke laut. Mata senjata itu tertancap persis di jantung seguni jantan. Dalam sekejap perahu berputar seligat gasing. Ekor si jantan berkelabat menghantam perut perahu. Ombak membalun. Darah menyebar darah! Tapi, tak aka nada hiu yang punya nyali untuk mendekat karena pemburu itu akan terjun membantu si lamafa dengan membawa duri (pisau) dan menikam hiu yang mendekat. Laut menggelora , gulungan ombak memerah kusumba. Paus pembunuh itu tetap tak rela mati dibunuh. Berputar-putar dia mengitari perahu. Ekornya melibas, menggapai-gapai. Pagi ini, tempuling, duri (pisau panjang) sudah mencabik-cabik tubuhnya, tapi baru menjelang malam nanti darah timpas dari nadinya.
Di laut sini, jantan menunjukkan kelaki-lakian mereka yang tiada duanya. Mereka memilih mati daripada betinanya yang dibunuh. Di musim kemarin, jantanku sengaja menyerahkan diri, membiarkan jantungnya dirajam tempuling, agar aku dan kaumku bisa meneruskan perjalanan menghanyutkan diri di laut yang hangat ini, aku sudah memohon dia supaya menjauh. Menjauh……Aku percaya, kematianku takkan menyebabkan kepunahan kotoklema. Para pembunuh itu manusia sederhana yang menyambut seruan hidup untuk memuliakan para janda dan si miskin dengan mempersembahkan daging kami kepada mereka. Usus mereka terlalu pendek untuk melenyapkan kami semua. Mereka bukan orang-orang berkulit putih atau kuning, yang memangsa kami bersenjatakan kapal-kapal besi bermesiu di belahan dunia di utara sana.
Berkelabat aku menikung, semakin jauh dari jantanku. Sekali ekorku berdebur mengepak udara, tubuhku meluncur bearatus meter ke bawah permukaan laut. Ketika aku muncul kembali para pemburu itu terperanjat bukan kepalang melihat ekorku mengegol-egol di buritan. Kuapungkan tubuhku. Dan peledang (perahu) pemburu itu menempel seperti bayi yang mungil di punggungku. Tak ada jerit ketakutan di antara mereka. Bukan karena keberanian, tapi karena adat mengharamkan suara dalam perburuhan.
“Jangan tikam e…..! Kamu jangan jadi pengecut ……Betina….Jangan bunuh betina! Dia bagus seperti Yesus.” Kudengar seseorang berbicara tertahan. Pasti ada pengkhianat di antara pemburu. Sebab adat melarang mereka melontarkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan pulang menghela hasil buruan yang sudah tertambat di sisi perahu, juga tak boleh ada kata. Apalagi menyebutkan daratan seperti Adonara, Larantuka. Bisa bikin perjalanan pulang bakalan lama, sejauh jarak daratan yang disebutkan. Suatu ketika ada yang ngomel: “Apa saya bicara Belanda sehingga kamu orang tidak mengerti?” Gara-gara umpatan itu, pantai seperti Eropa jauhnya.
Tapi, suara di haluan itu, seruan si lamafa itu, boleh dimaafkan dewa-dewa karena ini memang kejadian luar biasa. Aku, kotoklema, paus berbobot 40 ton sedang menyerahkan diri bulat-bulat. Supaya laut tidak berdarah-darah lagi.
Langit biru, laut senyap. Di punggungku, perahu dengan delapan pemburu yang berserah diri kencang menjelajah ke pantai. Dengan tertempel di punggungku, muncung perahu deras menyisir ombak ditingkah gemercik air di ujung cadik. Layar yang terbuat dari daun gebang dibiarkan saja kuncup, tak ada gunanya.
Dalam tatinganku perahu seisi-isinya tambah menepi. Sekali ekorku melibas, daguku sudah akan mendarat di pasir pantai. Di haluan, kudengar si lamafa mengutuk dirinya dengan kata-kata yang tak bisa kupahami. Dia terisak-isak. Kupikir dia menangis sambil memegangi ujung haluan. Mencium kayu itu, kayu yang beberapa hari sebelum perahu itu melaut, diselimuti dengan anyaman daun lontar, diperlakukan seperti manusia.
“Anna,” si lamafa memuja. “Maafkan aku. Memang aku membelai pipi Leoni dan sembunyi-sembunyi kasih dia jepitan rambut dari plastik yang selalu dia pakai. Bikin dia senang. Aku lupa sumpah di depan pastor kamu satu-satunya istriku. Sampai mati…..”

Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku di pasir. Orang-orang mengerumuniku. Menepuk-nepuk perutku yang buat mereka kokoh seperti bukit yang tak bisa dirobohkan. Penuh daging dan lemak, lebih dari cukup untuk lauk mereka setahun. Semua merapat ke tubuhku. Kecuali si lamafa, yang merasa malu karena mata tempulingnya sia-sia. Dia menuntun dirinya menjauh.
Si lamafa bercerita kepada istrinya tentang jalannya perburuhan yang gagal, tetapi membawa pulang seekor paus sebesar rumah. “Dia kotoklema betina. Seperti kamu. Dia menyerahkan diri. Juga seperti kamu. Dan menuntun kami pulang. Seperti kamu. Aku malu pada kamu Anna……..”
Anna Margaretha Cuma mengais-ngaiskan kaki di pasir. Matanya haus menatap kerumunan orang di pantai. Ia kepingin menjamah perut mamalia itu, tanda terima kasih. Bersyukur untuk daging dan lemakku, juga untuk penyerahan diriku yang telah menyadarkan suaminya pada sumpah dan cinta pertama.
**************
*Catatan: Penulis cerpen ini , Martin Aleida, menulis tentang ikan paus dan Lamalera dengan sangat bagus walaupun beliau belum pernah berkunjung ke Lamalera.
*Sumber: Buku Kata-kata Membasuh Luka, Penerbit Kompas, 21 Juni 2019
Luar biasa tulisannya Bapa Iko… Mantap