Fridolin Berek dan Emanuel Bria, Forum Kajian Sejarah dan Budaya Wesei-Wehali
Tanggal 26 Februari lalu kami memulai serial diskusi yang mencoba mengangkat berbagai kearifan lokal Wesei-Wehali yang selama ini menjadi praktek kehidupan secara turun-temurun akan tetapi jarang atau bahkan tak pernah diangkat ke ruang diskusi untuk untuk dibahas layaknya sebuah topik akademik di pendidikan formal. Topik yang kami diskusikan pada seri perdana diskusi tersebut tentang politik ruang ala Wesei-Wehali.
Wesei-Wehali adalah sebuah sistem nilai atau adat di dalam kerajaan tradisional Webiku-Wehali yang cukup dikenal pengaruhnya di Pulau Timor dan sekitarnya di masa lampau. Kita memang sudah tidak lagi hidup di jaman kerajaan akan tetapi tentu tidak bijaksana jika kita membuang bayi beserta air mandinya atau menghilangkan sama sekali inti sari kejeniusan para leluhur karena menerima sistem pemerintahan yang modern. Itulah alasannya kenapa kami mencoba untuk mengangkat kembali berbagai sistem nilai dan kebudayaan yang kiranya relevan untuk kehidupan di masa kini.
Kita kembali pada topik tentang politik ruang Wesei-Wehali. Seperti yang kita ketahui, semua aktivitas kehidupan berlangsung di dalam ruang (space) dan waktu (time). Tanpa keduanya kita tidak bisa mendefinisikan apa itu kehidupan. Bumi sebagai ruang adalah tempat bagi aktivitas kehidupan manusia. Konsep bumi atau “Rai Klaran” dalam bahasa Tetun sangat penting di dalam sistem nilai Wesei-Wehali bahkan bumi disapa sebagai “Ina Rai Klaran” (Ibu Bumi) dan cukup sentral di dalam berbagai praktek ritual adat. Bumi menjadi tempat kita berasal atau dalam bahasa Tetun disebut “Rai Moris Fatik”. Orang Bule juga menyebutnya “mother land” (Ibu Bumi). Dia disapa sebagai Ibu yang darinya kita dilahirkan dan ada. Karena itu ruang atau dalam hal ini bumi selain sebagai sesuatu yang material ia juga merupakan ruang spiritual. Ada semacam keterikatan manusia dan mahkluk hidup lainnya atas bumi tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
Dari aspek materialnya, bumi memiliki karakteristik geomorfologi dan topografi. Karena itu terdapat keterbatasan alamiah. Karena karakteristiknya yang khas maka sebuah ruang ditata mengikuti kecenderungan alamiahnya tersebut. Penataan ruang dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah wadah fisik dimana berbagai aktivitas manusia dan mahkluk hidup lainnya dapat berlangsung secara nyaman, produktif dan berkelanjutan (sustainable) sehingga memiliki manfaat jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Dalam tradisi Wesei-Wehali sesungguhnya telah terbangun kearifan-kearifan utama tentang bagaimana menata ruang agar berguna sebesar-besarnya bagi masyarakat namun tetap terjaga keberlanjutannya. Sejalan dengan makna tata ruang sebagai wujud struktur ruang dan pola ruang, maka sesungguhnya para leluhur Wesei-Wehali atau dalam hal ini Kabupaten Malaka sekarang telah mewariskan disiplin ilmu penataan ruang yang ajeg.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mendefinisikan struktur ruang sebagai susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan sarana dan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi dan kebudayaan masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Selanjutnya pola ruang didefinisikan sebagai distribusi pemamfaatan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
Berangkat dari dua definisi pokok ini, sesungguhnya perwujudan pola ruang dan struktur ruang dalam tradisi Wesei-Wehali, sangatlah jelas.
Struktur ruang terejawantahkan dalam penempatan pusat pemerintahan tradisional Webiku-Wehali di Laran atau daerah Betun (Ibu Kota Kabupaten Malaka sekarang) dengan pengaturan pembagian wilayah dataran rendah (Fehan) atau pesisir laut (Aintasi) dengan bagian pegunungan (Ainfoho). Selanjutnya dalam pengaturan dan penguasaan kedua wilayah itu sering juga disebut “Ferik Tasi Tehen” (Ibu penjaga Laut) dan “Ferik Foho Hun” ( Ibu penjaga gunung). Dalam perspektif penataan ruang maka pengaturan ini sejalan dengan konsep “kutub pertumbuhan” (growth pole) yang dibangun oleh ahli ekonomi Prancis, Francois Perroux. Kutub-kutub pertumbuhan tersebut terbentuk sesuai karakteristik wilayah dan kultur yang ada di tempat tersebut. Hal ini untuk memastikan agar tidak terjadi konsentrasi pertumbuhan di satu titik saja sementara wilayah-wilayah pinggiran tergerus sumber dayanya untuk mendukung pertumbuhan titik pusat tersebut.
Seperti halnya pendapat Perrouks, para leluhurWesei-Wehali telah mengatur ruang dengan baik bahkan sampai pada sub-sub kutub pertumbuhan. Di wilayah pegunungan telah ditentukan empat sub kutub pertumbuhan yang dikenal dengan sebutan “Hat Mota Ulun” (Empat Hulu Sungai). Demikian juga di wilayah pesisir laut telah ditentukan empat sub kutub pertumbuhan yang dikenal sebagai “Hat Mota Ain” (Empat Hilir Sungai). Masing-masing kutub pertumbuhan dan subkutub pertumbuhan ini telah diarahkan untuk dibangun sesuai karakteristik dan potensi masing-masing agar memiliki daya dukung dan daya tahan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat di masing-masing wilayah tersebut.
Dalam pengaturan pola ruangpun sebenarnya secara turun-temurun sudah dipetakan dengan baik fungsi-fungsinya mulai dari pemukiman, fungsi budidaya dan fungsi konservasi. Berbagai istilah dalam budaya Wesei-Wehali, sebenarnya telah menunjukkan pengaturan pola ruang ini antara lain :
- Leo (kampung) : permukiman penduduk yang umumnya dibatasi dengan pagar kampung. Di luar pagar kampung, bukan lagi fungsi permukiman namun fungsi budidaya utamanya untuk budidaya pertanian seperti kebun dan sawah.
- To’os (kebun): kebun masyarakat umumnya berbatasan langsung dengan wilayah hutan.
- Alas (hutan) : hutan umumnya tidak sembarang dirambah karena benar-benar sebagai wilayah konservasi. Hutan dibiarkan tumbuh alamiah dan menjadi hutan adat. Hutan-hutan adat ini kemudian menjadi wilayah konservasi seperti hutan Kateri dan hutan mangrove di wilayah pesisir laut.
Untuk menciptakan ruang yang mampu mewadahi semua aktivitas di atasnya secara berkelanjutan maka titik imbang fungsi konservasi dan fungsi budidaya harus dipertahankan. Kearifan lokal Wesei-Wehali sudah menunjuk wilayah-wilayah konservasi yang di kemudian hari juga diakui oleh negara sebagai kawasan lindung seperti hutan Kateri dan hutan Mangrove di wilayah pesisir laut. Meskipun demikian, dalam perkembangannya hutan-hutan adat ini sudah mulai dirambah oleh para penebang liar dan merubah pemanfaatan lahan kawasan hutan menjadi ladang dan lain-lain. Selain itu hutan Mangrove di wilayah pesisir laut sebagai titik transisi ruang darat dan laut perlu tetap dikonservasi.
Untuk kepentingan konservasi hutan maka pola kerjasama antara masyarakat adat dengan pemerintahan setempat harus diperkuat. Sesungguhnya konsep dasar pola kerjasama ini termaktup dalam konsep dasar program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dikembangkan oleh Perum PERHUTANI. Sistem PHBM ini dilaksanakan dengan jiwa BERSAMA, BERDAYA, dan BERBAGI yang meliputi pemanfaatan lahan atau ruang, waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumber daya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial.
Dalam konteks pelibatan masyarakat adat yang secara turun-temurun telah bermukim di wilayah hutan konservasi maka prasyarat awal yang perlu dilakukan adalah agar pemerintah daerah mengangkat kembali peran sentral masyarakat adat beserta strukturnya dan mulai menjalankan kembali hukum-hukum adat yang relevan untuk menjaga kelestarian hutan adat. Menghadirkan kembali struktur adat dan hukum-hukum adat sesungguhnya telah dijalankan juga di berbagai daerah di Indonesia. Di Provinsi Bali misalnya dikenal Desa Pakraman (Desa Adat), di Sumatra Barat dikenal Wali Nagari dan banyak istilah di daerah lain. Dalam hal ini, kearifan Wesei–Wehali semestinya bisa menjadi inspirasi pembangunan dan penataan wilayah Kabupaten Malaka.
Dengan memetakan secara jelas mana wilayah yang harus dikonservasi dan mana yang bisa dibudidayakan maka akan lebih mudah dilakukan penataan ruang di kabupaten Malaka. Untuk ruang budidaya perlu ada pusat bisnis dan pusat administrasi pemerintahan (Central Business District) serta wilayah-wilayah penyokong (hinterland) sesuai karakter sektor unggulan yang ada di wilayah-wilayah tersebut misalnya pertanian, perikanan dan seterusnya. Sementara wilayah-wilayah yang harus dikonservasi perlu terus dipertahankan karena memiliki fungsi utama untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Sebagai langkah awal untuk pembangunan pusat ibu kota kabupaten Malaka maka harus didahului dengan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Ibu Kota Kabupaten Malaka yang hingga kini belum ada. Selain RDTR Ibukota Kabupaten Malaka, perlu disusun juga beberapa RDTR seperti RDTR Kawasan Perbatasan, RDTR Kawasan Pantai Selatan Malaka dan lain-lain. Dalam proses penyusunan tersebut peran aktif masyarakat adat di dalamnya sangat penting karena menata ruang sama dengan menata peradaban.
**********************************