IGNAS KLEDEN dalam bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan berpendapat bahwa puisi datang kepada kita bukan lewat ide atau gagasan. “Dalam puisi, dalil filsafat Cartesian tentang manusia “saya berpikir maka saya ada” dipatahkan secara mutlak, karena yang terjadi dalam puisi adalah peristiwa yang lain sama sekali wujudnya, yaitu “saya mengalami maka saya ada”. Seperti kita tahu, pengalaman bukanlah perjumpaan intelektual dengan dunia, melainkan keterlibatan eksistensial di dalamnya. Kalau ilmu dan filsafat menjelmakan pengalaman menjadi pengetahuan, mengubah perasaan menjadi pikiran, nada menjadi notasi, rindu menjadi psikologi, intuisi menjadi proposisi dan argumentasi, maka puisi membalikkan semuanya pada posisi yang lebih asali dan lebih alami. Dalam puisi terjadi tarnsposisi pikiran menjadi pengalaman dan suasana, rindu menjadi getar dan perasaan, proposisi menjadi intuisi, dan intuisi menjadi visium tentang warna langit dan bau hutan, dan argumentasi yang tersusun rapi menjadi imaji yang liar berkejar-kejaran. Seorang ilmuwan dan filsuf berusaha menyusun pikiran dan gagasan, sedangkan seorang penyair berikhtiar menemukan makna.” (Ignas Kleden, “Puisi, Penyair, dan Intelektual Publik”, Sastra Indonesia dalam Enam pertanyaan, Grafiti 2004).
Denny JA, seorang intelektual publik yang belakangan ini mengikhtiarkan dirinya untuk Indonesia tanpa Diskriminasi, membenarkan argument Ignas mengenai puisi diatas. Impiannya tentang Indonesia tanpa Diskriminasi ia lakukan lewat karya budaya yakni dengan menulis puisi esai. Sudah dua buku puisi yang ia hasilkan. Atas Nama Cinta adalah buku pertamanya. Buku puisi keduanya ia beri judul Cintai Manusia Saja, Soal Diskriminasi Agama dan Cinta.

Sudah banyak riset akademik yang ia hasilkan melalui LSI (Lembaga Survei Indonesia). Sudah ratusan kolom yang ia tulis sejak mahasiswa. Namun menurutnya karya seni khususnya puisi adalah karya yang lebih menyentuh hati.
Peristiwa Pemboman Gereja Katedral di Makasar menjadi pelatuk bagi kita untuk mengapresiasi puisi Denny berikut ini:
SIAPA YANG MEMBELA KITA, IBU?
Dari runtuhan gereja yang dibakar
Masih terdengar lagu “Ave Maria”
Dari runtuhan Masjid yang dirusak
Masih terdengar adzan magrib
I
“Siapa yang membela kita, Ibu?”
Tanya bocah menangis kelu
Dilihatnya rumah ibadah itu
Tempat mereka berdoa selalu
Kini tersegel dan remuk
Mereka dilarang masuk
II
Siapa yang membela kita, Ibu?”
Tanya bocah takut dan pilu
Rumahnya dibakar api
Tanahnya diduduki
Mereka harus mengungsi
Dan dilarang kembali
III
“Siapa yang membela kita, Ibu?”
Tanya bocah histeris ngilu
Ia melihat ayahnya diparang
Oleh massa yang garang
IV
Bocah itu tak meminta
Orang tua yang memberinya
Bocah itu bisa Kristen agamanya
Bocah itu bisa muslim agamanya
Bocah itu bisa Hindu agamanya
Bocah itu bisa juga tak beragama
V
Namun, sekali mereka minoritas
Dan hidup di tanah yang beringas
Mereka menjadi unggas
Bagi serigala yang buas
VI
Ibu hanya menangis dan berdoa
Memeluk bocah penuh tanya
Sambil melindungi
Dari benci dan api
“Tuhan ora sare, anakku
Tuhan tidak tidur sayangku”
VII
Sambil berharap dalam duka
Lirih saja ibu berkata
Bocah dibuatnya nyaman
Dibelainya dalam pelukan
VIII
“Akan selalu lahir pejuang, anakku
Akan lahir pemikir selalu
Akan selalu lahir pahlawan
Mereka akan membawa pesan Tuhan”
IX
Dipeluknya bocah dalam duka
Dengan linangan air mata
“Jika kau besar nanti, anakku
Ingat pesamn ibu selalu”
X
“Dimanapun dirimu berada
Apapun agama dan etnis di sana
Apapun paham yang ada
Cintai manusia saja”
XI
Ibu memungut puing rumah ibadah
Puing itu raib sekejab
Dirasakannya rumah ibadah
Tumbuh di hatinya
Tumbuh di hati anaknya
*************************************
Paskalis Bataona
