Oleh Agustinus Tetiro, Ketua Kelompok Studi “Ende Bergerak”, Administrator Forum Wartawan NTT Dunia
“Saya hanya merasa benar-benar sekolah di dua tempat: Mataloko dan Cornell” (Daniel Dhakidae).
TANPA perlu mengatakan bahwa dua lembaga pendidikan lain yang pernah ditempuh Daniel Dhakidae (DD), Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero dan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, tidak mempunyai kesan yang mendalam dan kontribusi signifikan bagi rasa dan perkembangan pemikiran DD, Seminari Menengah Santo Johannes Berchmans Todabelu-Mataloko dan Universitas Cornell seringkali menjadi bahasan yang menarik oleh DD, baik lisan maupun dalam bentuk tertulis.
DD pernah cerita tentang pengalamannya di UGM. Ketika harus meninggalkan Ende/Flores, tujuannya memang ke Jawa, khususnya Jogja. DD mau belajar sastra Inggris di UGM, tetapi kemudian niatnya itu diurungkan, karena DD tidak mau menjadi murid/mahasiswa Stef Djawanai (kemudian menjadi Guru Besar Linguistik UGM dan lalu pindah ke Universitas Flores di Ende). Kenapa? “Enak saja dia mau jadi guru saya, kan kita temanan di Mataloko. Kita saling tahulah kemampuan masing-masing,” kisah DD sambil tertawa.
Ada cerita pengalaman menarik lain DD soal kuliah di UGM. “Hari pertama saya masuk kuliah Ilmu Negara, dosen bilang ‘republik’ berasal dari bahasa Latin ‘republica’. Sebagai orang yang belajar bahasa Latin, saya langsung pikir, kuliah ini bakal tidak menarik. Kesan awal yang buruk, haha,” sekali lagi DD tertawa. Mulai saat itu, cerita DD, dirinya lebih suka menghabiskan banyak waktu untuk diskusi di luar kampus ataupun kegiatan publikasi dan aktivisme lainnya.
Begitu juga dengan ceritanya tentang suatu masa yang relatif singkat di Ritapiret dan Ledalero. DD bilang, kuliah membosankan karena filsafat dan teologi yang diajarkan sangat skolastik. Oleh karena itu, dia lebih banyak menghabiskan waktu membaca di perpustakaan. “Saya suka teologi Karl Rahner dan Edward Schillebeeckx. Di masa kami di Ritapiret, ada kiriman majalah teologi dari Eropa, saat itu tulisan-tulisan Schillebeeckx menyihir saya,” kata DD.
Kendati demikian, DD tetap menaruh respek pada beberapa dosen yang mempunyai pikiran yang terbuka, salah satunya Pater Clemens Parera, SVD, pengajar Logica Minor et Maior dan Theodicea. Dalam sumbangan tulisannya untuk buku kenangan 40 tahunSTFK Ledalero, DD menulis, Pater Clemens mengajarkan bahwa doctrina et veritas adalah dua hal yang tidak senantiasa seiring dan sejalan. Selalu ada tegangan keduanya.
DD pernah menulis agak panjang tentang pengalamannya di Mataloko. Tulisan berjudul “Vita Mea in Semitis Tuis. Mengenang Seminari Santo Johanes Berchmans Todabelu, Mataloko” ini adalah persembahannya untuk semua gurunya di Todabelu: Jan Ebben SVD (rektor dan guru Latin), Coen Claessens SVD (prefek dan guru Latin), Anton Donkers SVD (guru Latin dan Ilmu Bumi), Jan Keerstjens SVD (guru menggambar), Gaspar Sa SVD (prefek), William Pop (guru Inggris dan Direktur Studi), dan lain-lain. “Semua mereka adalah guru dalam arti sesungguhnya. Setelah itu saya banyak menemukan pengajar dan sedikit sekali guru,” tulis DD.
Bagi DD, Seminari Mataloko adalah lembaga untuk pengembangan iman dan peradaban. Anak-anak didik (formandi) dari kampung bertemu dengan peradaban baru yang dibawa oleh misionaris Eropa. Tentu, hal ini tidak berarti bahwa apa yang ada di kampung dan segala tradisinya lebih rendah daripada yang dibawa oleh orang bule. Akan tetapi, sistem pendidikan sebagai alat pembebasan disosialisasikan dengan cara yang humanis kepada anak didik. Para misionaris SVD memberikan yang terbaik dari apa yang mereka punya dan alami di Eropa kepada anak-anak pribumi di pedalaman Pulau Flores.
DD sangat terkesan dengan dan menaruh minat yang besar terhadap pendidikan bahasa asing, terutama bahasa Latin dan bahasa Inggris. Faktor guru rupanya menjadi kunci. Pater Gerbrand Kramer yang menemukan mnemonic tools untuk membantu pengajaran bahasa Latin. Pater Garger dan Pater William Pop yang masing-masing sangat canggih memperkenalkan tata bahasa dan sastra Inggris. Mungkin karena itu, DD selalu bangga bahwa bahasa Inggrisnya bagus dan tidak mempunyai kendala berarti ketika studi di Amerika Serikat (AS).
Semangat akademik dan penjelajahan ilmiah dipompakan di lembah Sasa ini setelah angkatan mereka mendapat julukan “Studenten von Leipzig Universitaet” dari Patter Jan Ebben. Setelah itu, Pater Alex Beding “meletakkan batu-batu pertama kehidupan intelektual” dengan beberapa gebrakan. Pertama, “merevolusi pengajaran kesusasteraan dari memorizing the literature ke experiencing literature” yang disertai dengan membangun perpustakaan dengan koleksi buku-buku sastra terbaik dari masa ke masa. Kedua, “menghidupkan kegiatan tulis-menulis dengan menerbitkan majalah Florete yang terkenal itu. Beberapa wartawan dan tokoh nasional asal Flores adalah mantan jurnalis Florete: mantan direktur eksekutif VOA Frans Padhak Demon, jurnalis senior Alex Dungkal, mantan dubes Alo Lele Madja, mantan jurnalis Kompas Ansel da Lopez, mantan jurnalis MetroTV Walfred Andre, jurnalis senior Abraham Rungamali, jurnalis senior John Don Bosco, dan lain-lain.
Ketiga, mendirikan Akademia St Agustinus yang dirancang sebagai suatu debating club. Untuk keperluan salah satu debat awal, DD menyiapkan sebuah ceramah bertajuk “Fungsi Sosial dan Budaya Seni Tari”, yang diakui DD, “inilah paper saya yang pertama di muka bumi”
Dari ketiga gebrakan akademik di atas, ketahuilah bahwa penekanan ada pada pengembangan intelektual, khususnya humaniora. DD menulis, “Pendidikan seminari memang didasari oleh artes liberals, di mana bahasa, sastra, filsafat menjadi dasar-dasar pendidikan demi membela humanitas yang tidak lain daripada kebudayaan. Semua ini selalu membekas dalam pendidikan setiap orang di seminari”
Kendati tidak disebutkan DD dalam tulisannya, orang yang memahami sistem pendidikan seminari akan langsung tahu tentang 5S sebagai dasar, prinsip, arah dan tujuan pendidikan: Scientia (ilmu pengetahuan), sapientia (kebijaksanaan), sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan) dan socialitas (persaudaraan, kemasyarakatan). Inilah yang memungkinkan para lulusan seminari (lebih) unggul dalam beberapa hal, terutama pada zaman ketika DD masih remaja di Flores.
Saya tidak akan banyak masuk pada kesaksian DD tentang studinya di Cornell. Pasti ada banyak orang yang sudah tahu tentang hal itu. DD sendiri pernah bercerita bahwa atmosfer kuliah di Cornell telah memungkinkannya berkembang dan matang sebagai peneliti dan intelektual, terutama dalam pertemuannya dengan beberapa cendekiawan yang menaruh perhatian besar pada Indonesia dan Asia untuk beberapa bidang seperti politik dan media massa. “Saya memilih minor filsafat dan sangat suka pada sesi diskusi di Cornell yang memungkinkan kita menulis hal lain sama sekali daripada bahan kuliah, terutama tentang tokoh-tokoh kontroversial,” ujar DD. Beberapa papernya yang pernah dibawakan di Cornell tentang tokoh-tokoh kemudian disertakan pada bukunya “Menerjang Badai Kekuasaan”.
Sampai di sini, ketika kemudian orang mengenal DD sebagai ilmuwan sosial, analis politik dan intelektual, kebanyakan orang kemudian hanya mengenal DD sebagai alumnus UGM dan Cornell. Padahal, menurut kesaksian DD sendiri, bakat dan kemampuan untuk menjadi akademisi telah ditempa di sebuah sekolah menengah di pedalaman pulau bunga di kepulauan Nusa Tenggara.
DD sendiri sampai di akhir hidupnya mengaku sangat bangga dan mencintai almamaternya Seminari Mataloko. Begitu juga, Daniel Dhakidae adalah salah satu kebanggaan sekolah milik gereja itu. Dalam sebuah makan siang bersama, kami pernah mengeluh soal mahalnya biaya kirim (ongkos) buku ke Mataloko. DD menaruh perhatian besar pada sekolah yang terletak di kecamatan Golewa Kabupaten Ngada itu. Bahkan, seri-seri Majalah Prisma hampir selalu dikirimkan ke sana sejak lama. Yang terakhir, DD meminta saya tanya alamat email kepala perpustakaan Seminari Mataloko, Romo Nani Songkares, agar bisa dikirimkan e-paper seri Prisma terbaru.
Akh, saya kemudian berkhayal, seandainya pemerintah tahu, Menko PMK sadar dan Menteri Pendidikan mau sedikit melihat bahwa sistem pendidikan seminari bisa menjadi model bagi pendidikan menengah pada umumnya, tentu tidak untuk mengatakan sebagai yang sempurna, kita mungkin akan mempunyai banyak generasi emas yang cerdas dalam banyak aspek. Belum terlambat, juga perhatian pemerintah bagi sekolah-sekolah swasta seperti seminari yang saat ini harus diakui menghadapi banyak tantangan (finansial).
RIP Daniel Dhakidae. Terima kasih untuk inspirasi, terutama keteladanan akademik dan daya tahan di hadapan kekuasaan. Surga bagimu!