Oleh Agustinus Tetiro (alumnus STFK Ledalero, Administrator Grup Wartawan NTT Dunia)
“Saya Baca Buku Marx yang Anda Ajarkan!”
Dalam tradisi kuliah filsafat dan teologi di Ledalero, kisah tentang masa lalu seorang dosen menjadi penting. Penting bukan karena diharuskan untuk tahu. Penting karena diceritakan berulang kali oleh para senior agar kita bisa sedikit mengenal sang pengajar. Misalnya, Pater Josef Pieniazek (Pater Pinon) dikisahkan sebagai genius yang menyelesaikan dua gelar magister dari Italia dan Perancis. Pater Amatus Woi SVD menerbitkan disertasinya di Jerman tentang Teologi (Politik) Harapan Jürgen Moltmann yang diberi kata pengantar oleh sang teolog. Begitulah seterusnya dikisahkan tentang para dosen di bukit sandar matahari itu.
Menjelang mengikuti kuliah Sosiologi Agama, kami diceritakan tentang sang dosen Pater Philipus Panda Koten SVD. Singkatnya begini. Frater Lipus Panda Koten pernah bersoal-jawab dan berdebat sangat hebat dengan seorang pembina (formator) di Seminari mengenai aturan di asrama dan biara. Debat itu dilakukan di aula. Mungkin karena kehabisan pembelaan, sang formator menegur keras Frater Lipus, “Anda harus bisa diatur! Siapa yang mengajar anda untuk bersikap demikian?”. Mungkin pernyataan ini berpotensi menciutkan mental sang frater.
Dengan tenang, tidak ciut, Frater Lipus berdiri dan mengangkat sebuah buku sambil mengatakan pembelaannya, “Saya belajar dari buku ini yang Pater ajarkan di ruang kuliah!”. Buku yang diangkat Lipus itu ternyata berjudul “Das Kapital” dari Karl Marx. Katanya, mulai saat itu, Frater Lipus dikenal sebagai seorang Marxis atau neo-Marxis. Itu berbahaya, dalam arti, akan suka memberontak. Banyak cerita yang kami dengar bahwa Pater Lipus sangat pintar dan amat kritis.
Mungkin karena itu, SVD kemudian mengirim Lipus untuk menyelesaikan studi tingkat magister/master di salah satu sekolah ilmu sosial paling top di dunia, London School of Economics and Political Sciences, setelah beberapa tahun menjadi misionaris di benua Afrika.
Cerita-cerita seperti ini menjadi semacam teaser dan appetizer sebelum kuliah sang dosen dimulai. Harus diakui, kuliah seperti filsafat dan teologi sangat dipengaruhi oleh kesamaan ‘frekuensi’ antara dosen dan mahasiswa. Orang kebanyakan bisa saja mengatakan dosen lulusan Jerman lebih menarik daripada lulusan Roma. Padahal dalam kenyataan tidak selalu demikian. Banyak lulusan Roma yang atraktif dan tidak sedikit tamatan Jerman yang membosankan. Lalu, bagaimana dengan dosen kita yang lulusan Inggris ini?
“Kuliah sebagai ‘Ngopi’: Dari Charles Wright Mills ke Meeting Point”
Pater Lipus masuk ke ruang kuliah kami mahasiswa semester VII (tujuh) untuk mengajar Sosiologi Agama. Badannya besar. Senyumannya lebar. Pakaiannya longgar. Tidak slim-fit seperti para pastor lain. Tidak menarik dari sisi ini. Sekali mengeluarkan suara dan cara dia memberikan penekanan pada bagian yang dirasakannya penting, saya langsung memilih untuk bertekun di kelasnya. “Gue suka gaya lo,” kira-kira begitu kesan awal saya jika dibahasakan dengan tutur anak muda zaman now.
Diktatnya sederhana. Dari daftar isi, kita bisa tahu bahwa Pater Lipus akan membedah tiga pemikir besar: Emile Durkheim (1858-1917), Karl Marx (1818-1883), dan Sigmund Freud (1856-1939). Jika demikian, apa bedanya dengan kuliah “Filsafat Ketuhanan” (semester V) dari Pater Leo Kleden yang telah memperkenalkan kita pada pemikiran dan kritik tentang agama dari tiga ateisme besar: Marx, Freud dan Nietzsche? Bukankan itu berarti bahwa kita hanya akan menerima satu kebaruan dalam pemikiran Durkheim?
Tentu saja berbeda. Pater Leo membedah tiga ateisme besar itu sebagai seorang pengajar filsafat. Dalam filsafat, manusia adalah makhluk multi-dimensional. Itu artinya manusia tidak boleh direduksi hanya ke dalam satu dimensi saja. Penegasan ini berdampak pada evaluasi Pater Leo atas ketiga ateisme itu. Marx terlalu menekankan kelas. Freud terlalu menekankan libido, alam bawah-sadar dan sisi psikologis manusia. Nietzsche kemudian dipandang sebagai pemberi tilikan dari ilmu kebudayaan dan kesenian. Dalam evaluasi terhadap ketiga ateisme ini juga, Pater Leo benar-benar hadir sebagai imam Katolik yang belajar filsafat. Misalnya, untuk menilai Marx, Pater Leo harus menyebut beberapa ajaran sosial gereja (ASG) yang membantah tudingan Marx.
Pater Lipus tidak demikian. Pada sub-judul diktatnya, dia telah dengan sengaja memberi tambahan “Pendekatan Reduksionistis Terhadap Agama”. Jadi, dari awal kita sudah (diberi) tahu bahwa kita tidak akan berbicara tentang manusia sebagai makhluk multi-dimensional. Durkheim menaruh perhatian pada fakta sosial non-material terakhir: agama. Agama itu produk manusia, terutama bersumber pada kasus yang disebut totemisme. Marx harus menciutkan manusia sebagai makhluk ekonomi-politik untuk memberinya ruang analisa dan penjelasan yang lebih mendalam. Freud melihat manusia sebagai makhluk seksual.
Apa benar raksasa di pemikiran sosial seperti Durkheim, Marx dan Freud tidak tahu-menahu bahwa manusia adalah makhluk multi-dimensional? Tentu saja tidak. Pendekatan reduksionis memang merupakan jalan yang dipilih oleh ilmu-ilmu sosial. Pilihan itu menjadi keharusan agar ilmu-ilmu sosial di luar ilmu filsafat bisa berkembang. Itulah penciutan dan sekarang kita tahu bahwa penciutan tidak selalu buruk. Penciutan bahkan menjadi syarat utama agar suatu pembelajaran bisa dimasukkan ke dalam suatu metode dan berpotensi untuk terus berkembang. Kita tidak bisa belajar ilmu hukum kalau kita tidak bisa menerima bahwa manusia adalah makhluk yang bisa memahami aturan. Kita tidak bisa belajar psikologi kalau kita tidak menerima bahwa manusia sebagai makhluk berdimensi psikis. Kita tidak bisa belajar ilmu agama kalau kita tidak menerima bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Dan lain-lain.
Pendekatan reduksionis seperti ini mungkin tidak terlalu menarik untuk filsafat, tetapi kontribusinya amat penting dan tidak tergantikan bagi perkembangan pembelajaran tentang manusia dan dunia, juga untuk pengembangan filsafat itu sendiri di tengah derap perubahan dunia. Kuliah seperti ini bagi mahasiswa filsafat yang telah lulus dari kuliah “Filsafat Manusia”, yang bersumber utama dari filsafat Kristiani, sepintas lalu mungkin akan terlihat membosankan.
Akan tetapi, jika kuliah dengan pendekatan reduksionis dibawakan oleh seorang ilmuwan sosial seperti Pater Lipus Panda Koten, kebosanan yang dibayangkan membeku dalam kulkas di dapur asrama. Pater Lipus tidak memberikan kita barang beku dan dingin, tetapi menyajikan kopi hangat pengetahuan yang dia sebut imajinasi sosiologis (sociological imagination).
Pada bagian awal diktatnya, Pater Lipus menarik minat kita kepada studi dan cara berpikir sosiologis sebagai suatu investigasi terhadap tindakan yang sering dilakukan manusia seperti minum kopi di pagi hari. Pater Lipus jujur bahwa ide ini pun bukan murni darinya. Provokasi imajinasi sosiologis tentang aktivitas minum kopi itu datang dari sosiolog Charles Wright Mills (1916-1962) dalam bukunya berjudul “Sociological Imagination” yang terbit pada 1970. Penyelidikan sosiologis terhadap kopi menyingkapkan beragam proses sosial yang terkait. Pertama, lebih daripada minuman yang menyegarkan, kopi bernilai simbolis sebagai bagian dari kegiatan sosial sehari-hari. Seringkali ritual yang terkait dengan minum kopi lebih penting daripada mengonsumsi minuman itu sendiri. Misalnya, bagi banyak orang, secangkir kopi pagi adalah bagian utama dari rutinitas pagi mereka, bagian penting untuk memulai hari. Sementara ‘bertemu dengan seseorang untuk minum kopi’ (meeting someone for coffee) biasanya bukan hanya tentang minum kopi, tetapi juga untuk sosialisasi dan interaksi sosial, yang menawarkan banyak hal bagi sang sosiolog.
Kedua, kopi mengandung kafein, obat yang merangsang kerja otak. Orang menyeruput kopi untuk membangunkan konsentrasi, atau sekadar untuk ‘melek’ (give them a lift). Banyak orang merasa seolah-olah tidak bisa melewati hari-hari biasa tanpa asupan kopi. Kopi, seperti alkohol di Inggris, merupakan minuma legal. Sementara, ganja dan kokain ilegal. Masing-masing komunitas dan masyarakat memiliki aturan berbeda tentang aturan ini. Pertanyaan mengapa aturan seperti itu muncul dan mengapa berbeda dari budaya yang satu ke budaya lain, menarik bagi sosiolog.
Ketiga, ketika kita minum secangkir kopi, kita masuk dalam serangkaian interaksi sosial dan ekonomi global yang kompleks yang menghubungkan kita dengan jutaan orang lain di negara lain. Ada rantai produksi global besar yang terkait dengan kopi. Kopi ditanam di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, biasanya oleh petani yang sangat miskin, kemudian dibeli dalam jumlah besar oleh distributor lokal, dan kemudian biasanya dikirim ke Eropa untuk dipanggang dan digiling, dan juga dikemas dan diberi merek tertentu. Jika ditambah dengan proses yang terjadi di kedai kopi, ada 6 rantai dari petani kopi ke konsumen.
Keempat, secara historis, produksi dan konsumsi kopi terkait dengan sejarah kolonialisme, periode di mana kekuatan Eropa menginvasi Asia, Afrika dan Amerika Latin dan mendirikan koloni yang mengkhususkan diri pada tanaman tertentu (seperti teh, kopi, gula dan pisang) untuk diekspor kembali ke ‘negara induk’ (mother countries). Kopi yang ditanam dalam jumlah besar di negara-negara seperti Kolombia dan Indonesia adalah warisan era kolonial.
Kelima, minum kopi mengikat kita ke dalam hubungan dengan beberapa korporasi terbesar di dunia seperti Nestle dan Starbucks, yang (dituduh) mengeksploitasi pemetik kopi dengan membayar sangat sedikit kopi yang mereka beli untuk memaksimalkan keuntungan mereka, sehingga ‘kopi seperti biasa’ (coffee as usual) melanggengkan kapitalisme global. Tentu saja, sekarang ada ‘kopi perdagangan yang adil’ (fair trade coffee): membeli kopi mempertimbangkan pilihan etis. Keenam, ada kekhawatiran teranyar tentang dampak lingkungan dari menanam kopi. Ketika produk apa pun ‘berskala pabrik’ (factory farmed) berpotensi menghabiskan tanah dn mengurangi keanekaragaman hayati di area lokal, termasuk polusi yang terkait dengan pengiriman produk beberapa ribu mil di sekitar dunia.
Provokasi seperti ini mustajab bagi anak muda seperti kami saat itu. Maka, tempat ngopi di kampus yang diberi nama “Meeting Point” menjadi tempat pertemuan yang menyenangkan untuk membicarakan ide-ide secara lebih santai tetapi tetap mendalam. Sambil menyeruput (sambil mengkritik korporasi produsen?) kopi, para mahasiswa bisa memilih buku-buku yang juga dijual di sana, membaca, ataupun berdiskusi.
Jika baru empat atau lima tahun anda begitu terpesona dengan kafe, ngopi sambil bicara ide dan filosofi, kami telah melakukannya sejak belasan tahun lalu. Dan, Pater Lipus, entah dia sendiri tahu atau tidak, adalah salah satu provokator. Dari tempat ngopi itu, kelompok teater terlahir, naskah drama menemukan jejak awal, cerpen dan prosa mendapatkan bentuknya secara tertulis, skripsi dan tesis mungkin menemukan jalan keluarnya.
Penutup Sekadarnya….
Ketika saya diminta mengajar mata kuliah Agama di sebuah kampus internasional di Jakarta, saya minta petunjuk sosiolog Ignas Kleden. “Kamu punya dua pilihan: mengajarkan ajaran agama tertentu, Katolik misalnya, atau mengajar suatu fenomenologi agama,” kata Ignas. Pilihan saya tentu saja jatuh pada mengajarkan fenomenologi agama. Karena, mahasiswa saya sangat beragam asal-usulnya, mulai dari anak orang kaya di Jakarta dan Bekasi, anak diplomat dari Eropa hingga anak saudagar India di Tanah Abang.
Dan, salah satu sumber saya adalah diktat Pater Lipus. Saya memilih dengan sengaja suatu pendekatan penciutan, tanpa perlu menciutkan mental mahasiswa dengan istilah-istilah filsafat yang memusingkan. Tetapi, saya melakukan apa yang tidak dilakukan Pater Lipus: membiarkan mahasiswa mengikuti kuliah sambil ngopi!
Terima kasih Pater Lipus untuk semua jasamu, terutama untuk semua provokasimu di ruang kelas belasan tahun lalu. Surga untukmu. Selamat ngopi bareng Tuhan!.