aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)
Puisi Aku Ingin memang tak terelakkan akan mengangkat nama Sapardi Djoko Damono jadi abadi. Tapi yang membuat puisi itu, dan sederet karya terkenal Sapardi lainnya, jadi punya kekuatan untuk menancapkan diri di kenangan dan memfanakan gergaji waktu adalah “lima tak ingin.”
Lima tak ingin itu adalah: tak ingin heroik, tak ingin erudite, tak ingin kosmopolit, tak ingin eksperimental, dan tak ingin religius.
Kekuatan sajak-sajak Sapardi langsung terlihat begitu kaidah “tak ingin” itu ditegakkan. Ketika terbit kumpulan puisi pertamanya, Duka-Mu Abadi, Goenawan Mohamad menyambutnya dengan sebuah ulasan panjang di Majalah Horison, No. 2 Th. IV Februari 1969, dengan judul Nyanyi Sunyi Kedua. Buat Goenawan, kumpulan Duka-Mu Abadi adalah suatu perkembangan baru, pembebasan dan penemuan kembali, tanda pertumbuhan puisi Indonesia yang sedang melepaskan diri dari masa lalunya. Masa lalu yang ingin ditinggalkan adalah masa lalu yang dipenuhi oleh sajak-sajak heroik dan “berdjoeang.”
Setelah setengah abad lebih sejak terbitnya Duka-Mu Abadi disusul dengan munculnya sejumlah kumpulan puisi lain, dapatlah dikatakan bahwa Sapardi menarik bukan hanya karena responnya terhadap masa silam, yang ikut membebaskan puisi Indonesia dari desakan pengaruh sajak-sajak heroik waktu lampau. Puisi-puisi terbaik Sapardi itu menarik bukan hanya karena mengembalikan lirisisme ke kancah perpuisian, tapi juga karena antisipasinya atas masa depan penciptaan. Bisa ditambahkan bahwa yang istimewa pada sajak-sajak Sapardi itu bukanlah karena sikap ingin leburnya dengan Tuhan, seperti yang diperlihatkan Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi, tapi pada penjarakan intelektualnya terhadap Tuhan.
Di esai bertajuk Permainan Makna yang terkumpul dalam buku Sihir Rendra: Permainan Makna (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) Sapardi mengenang masa kecilnya, dan kebutuhannya untuk menciptakan permainan makna. Ia mengaku permainan makna yang disusun dari kata-kata itu membuat ia bisa menghadapi kenyataan yang tak masuk akal. Tapi ia juga menyebut ketakinginannya menjadi kanak-kanak yang hanya asyik dengan permainan tanpa makna, sekaligus ketakinginannya untuk menjadi nabi yang cuma menyampaikan pesan makna tapi tanpa permainan. Ia hanya ingin jadi penyair yang baik. Sapardi yang konon berpikir dalam Bahasa Jawa, tentu harus mengatur kata-katanya sebaik mungkin dalam Bahasa Indonesia. Dan bersamaan dengan itu, sadar atau tidak, ia menerjemahkan ketakinginan menjadi kanak-kanak atau nabi itu ke dalam bentuk-bentuk puisi yang perlahan-lahan memenuhi “lima tak ingin” itu.
Kelak akan tampak bahwa puisi-puisi terkenal Sapardi menegakkan kaidah “lima tak ingin” itu karena mereka membantunya menciptakan ruang kosong untuk menghadapi kenyataan alam yang tak masuk akal, sekaligus mempermudah pembacanya ambil bagian untuk mengabadikan sajak-sajaknya. Selain esai Permainan Makna, sajak Catatan Masa Kecil, 3 dan Catatan Masa Kecil, 4 dapat memberi petunjuk tentang asal-usul lima tak ingin itu.
Catatan Masa Kecil, 3
Ia turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela
lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan
yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar luar semesta
dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat
memberitahukan hal itu padanya dan ia terus bertanya-tanya
sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan
ketika ia menoleh nampak ibunya sudah berdiri di belakangnya
berkata “biar kututup jendela ini kau tidurlah saja setelah semalam
suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekali perangainya”
(1971)
Catatan Masa Kecil, 4
Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua hasilnya
sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih
kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari
tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol. Dan
setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang
dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika
ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di
halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya
dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat
sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.
Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.
(Sajak tanpa titimangsa, dimuat dalam kumpulan Sihir Hujan yang terbit 1984)
Pertanyaan yang diajukan di Catatan Masa Kecil, 3, dan bilangan nol yang dipercaya di Catatan Masa Kecil, 4, adalah bekal Sapardi membangun kaidah “lima tak ingin” yang dibuat jadi batu penjuru sebuah arena permainan. Ke dalam arena itu, saya bayangkan Sapardi menarik masuk dan menghadapi kekuatan besar yang membuat Amir Hamzah bersaksi dan menyeru dalam sajak Padamu Jua yang terhimpun dalam Nyanyi Sunyi: Engkau cemburu/Engkau ganas/Mangsa aku dalam cakarmu.
Bisa juga dikatakan bahwa lima tak ingin itu adalah dinding-dinding limas piramid yang dibangun untuk menjadi — meminjam larik Chairil Anwar dalam sajak Di Mesjid — ruang gelanggang kami berperang. Perang Sapardi memang tak sekeras Chairil yang Binasa-membinasa, Satu menista lain gila. Sapardi tak punya potongan untuk perang yang meledak-ledak seperti itu. Jika kita membaca sajak Catatan Masa Kecil, 3 bisa kita katakan bahwa sikap Sapardi kurang lebih adalah sikap berjarak, sikap seorang ilmuwan yang penuh perhitungan:
Ia yang turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang itu mungkin saja masih seorang kanak-kanak, tapi ia sudah memperlihatkan bakat kritis dan tak gampang terhanyut. Ia memang bertanya-tanya, tapi pertanyaan yang diajukannya adalah apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar luar semesta. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang bertahap dan terukur, yang mengenali batas dan mencoba melampaui batas: karakter pertanyaan yang kerap diajukan para ilmuwan.
Seperti seorang ilmuwan tulen, ke dalam piramid berdinding dan berlantai “lima tidak” itu Sapardi menarik masuk Sumber Tanya beserta dunia yang tak masuk akal itu dan menghadapinya dengan penuh perhitungan. Dan selaiknya penyair tulen, Sapardi menghadapinya dengan mengalirkan dua arus pemberian yang meski bergerak tenang namun mengandung kekuatan penampik waktu.
Pemberian pertama, yang memang dikerjakan oleh semua penyair besar, adalah pemberian “hidup” pada benda-benda sepele: pada angin, pada burung, lampu jalan, kabel telepon, dll. Pemberian “hidup” ini bisa juga dilihat sebagai penciptaan tandingan — yang meskipun hanya rekaan, namun berwatak puitik dan intelektual —atas ciptaan nyata yang lebih besar yang berasal dari kekuatan yang ada di luar semesta, dan di luar luar semesta.
Personifikasi Sapardi atas benda-benda itu tak cuma menghidupkan benda-benda itu, tapi juga memberi mereka laku yang subtil. Semesta kenyataan yang kita terima secara intuitif, jadi berubah radikal dalam sajak-sajak Sapardi. Diri pembaca yang semula jadi subyek, jadi pusat, yang menentukan dunia, bisa bergeser tiba-tiba jadi obyek yang tak berarti dan ditentukan oleh dunia. Sajak-sajak ini seperti mencopot mata pembaca dan meletakkan di sebuah tempat dengan perspektif yang merangsang kerja otak.
Sajak-sajak Sapardi memang bisa jadi contoh yang bagus tentang kemampuan puisi untuk memberi manusia mata ketiga dan keempat. Sains dan teknologi juga memberi manusia mata tambahan. Dengan mikroskop yang kian canggih dan teleskop yang bahkan di tempatkan di langit, manusia bisa melihat kenyataan-kenyataan baru yang menakjubkan. Hal yang sama juga dilakukan Sapardi dan para penyair besar lain. Bedanya adalah puisi mengajak kita melihat dunia ajaib yang subyektif personal, sementara sains memberi kita mata untuk menjelajahi semesta fantastis yang obyektif universal. Perbedaan ini menegaskan bahwa semesta yang disingkap dan dibentuk oleh sains dan teknologi akan jadi lebih lengkap dan memukau, makin kaya dan berharga, buat mereka yang juga bisa mengapresiasi puisi.
Selain mata, Sapardi juga memberi kita sepasang telinga atau sebuah stetoskop kebudayaan dan politik untuk menyimak detak dan percakapan yang lirih dari berbagai macam benda-benda, bukan hanya yang selama ini setia melayani manusia, entah itu Sepasang Sepatu Tua, Bola Lampu, Topeng misalnya.
Sapardi memang mengerjakan dengan sangat bagus teknik yang sudah dilakukan oleh para penyair sejak dahulu kala: menjadi tukang sihir yang memberi hidup lewat kata dan dengan itu memperkaya dunia. Tapi ia tak cuma memberi hidup pada benda-benda mati, ia juga membuat kehidupan benda-benda itu bisa bertahan lama di benak pembacanya. Para penyair memang mengandalkan teknik mnemonik seperti rima, tapi Sapardi tak cuma menggunakan perangkat literer yang sudah ada. Ia menemukan perangkat literer baru, yang lebih canggih dari rima. Perangkat literer temuan Sapardi itu agaknya berasal dari khazanah matematika, karena jelas sejajar dengan sejumlah konsep matematis, khususnya barisan geometri dan simetri terbalik.
Penggunaan perangkat matematis ini punya kaitan yang menarik dengan sajak Catatan Masa Kecil, 4. Di larik keempat bait pertama, tertulis: Sejak semula ia sayang pada angka nol. Sajak ini ditutup dengan penegasan di bait kedua yang hanya berisi satu baris kalimat: Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.
Angka nol yang disayang dan dipercaya itu memang tak hadir telanjang di sajak-sajak Sapardi, tapi ia muncul memukau dalam bentuk barisan geometri, yang tampak jelas pada sajak-sajaknya yang sederhana dan rapi. Barisannya memang tidak horizontal dengan suku yang sejajar dalam larik, tapi vertikal dengan suku yang berurut turun dari bait ke bait. Dalam satu sajak, bisa terlihat beberapa barisan. Karena suku barisan literer Sapardi ini berubah pada tingkat dimensi dan kualitas, bukan sekedar penambahan atau pengurangan kuantitas, maka barisan itu lebih dekat ke barisan geometri dan bukan ke aritmetika. Barisan ini umumnya memang bergerak dari dimensi yang besar ke yang kecil dan menyarankan langkah menuju ke nol, atau dari yang fisik ke non fisik bergerak menuju ke kekosongan.
Sajak Aku Ingin mengandung empat barisan yang masing-masing terdiri dari dua suku, sesuai dengan jumlah baitnya. Suku baris pertama adalah kata (bait pertama) dan suku berikutnya adalah isyarat (bait kedua). Kata adalah satuan yang masih mengandung bunyi dan intonasi yang menuntut gerak, setidaknya gerak otot bicara; sementara isyarat adalah satuan yang tak lagi mengandung bunyi dan intonasi, dan mungkin hanya tersisa gerak. Suku baris kedua adalah kayu (bait pertama) yakni benda fisik yang masih bisa disentuh, diikuti oleh awan (bait kedua) yakni massa yang terbentuk dari uap air yang mengambang di cakrawala dan tak lagi bisa dijamah. Suku-suku baris ke tiga, yakni api dan hujan, memang tak langsung terlihat aspek barisannya, tapi kita bisa melihat gerak menurun dalam hal temperatur. Barisan menurun itu tampil kuat pada baris keempat, yang sukunya adalah abu (bait pertama) yakni benda yang masih mungkin dijamah dan dicerap indra, yang kemudiaan diikuti tiada (bait kedua) yang sama sekali sudah tak lagi bisa dicerap.
Kehadiran barisan itu muncul paling jelas dan paling indah dalam sajak Pada Suatu Hari Nanti, yang saya cantumkan di halaman akhir. Pada tiga bait sajak itu, kita lihat subyek berubah dari fisik ke non-fisik, yakni dari jasadku di bait pertama, ke suaraku di bait kedua, dan akhirnya ke impianku di bait penutup. Jasad adalah massa yang masih bisa dijamah, dan jika diusap masih mungkin menimbulkan bunyi. Suara adalah fenomena sekuder yang tak lagi bisa dijamah, sedangkan impian sudah benar-benar tak tercerap secara indrawi. Sejajar dengan subyek yang berubah bentuk dari yang indrawi ke non-indrawi itu, obyek sajak juga berubah secara berurut, dari satuan yang besar ke satuan yang kecil, yakni dari bait di untai pertama, lalu larik di untai kedua, dan dengan huruf di untai penutup. Buat saya, sajak Pada Suatu Hari Nanti adalah sebutir berlian yang diasah dengan sangat bagus, dan di dalam struktur yang keras, rapi dan bening itu, tampaklah bagai tarian dua barisan Sapardi dengan indah bergerak pelan menuju kekosongan.
Selain barisan yang bergerak konsisten menurun dari awal menuju kekosongan, ada juga barisan yang tampak bergerak datar, tapi akhirnya juga mengarah ke kekosongan. Barisan datar seperti ini tampak misalnya pada sajak yang tak kalah terkenal di bawah ini:
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
Baris pertama yang menyusun Hujan Bulan Juni adalah baris yang sejajar karena suku-sukunya punya arti yang hampir sama. Baris ke dua juga boleh dikata sejajar, dan suku-sukunya adalah kata kerja pasif. Rintik rindu dan jejak kaki adalah citraan tentang hal-hal yang pernah menjadi bagian diri, yakni rintik yang sudah terlepas dari himpunan, dan jejak kaki yang juga sudah bukan bagian dari diri. Adapun yang tak terucapkan adalah sesuatu yang bahkan tak sempat untuk menjadi sesuatu, tak sempat atau tak mungkin menggumpal jadi kata yang bisa terlepas dari sumbernya. Suku yang tak terucapkan ini memberi semacam anjlokan yang mempertegas kekosongan yang kehadirannya sudah disarankan dengan sangat kuat oleh dua suku baris ketiga sebelumnya, dan dua baris yang lainnya. Tiga barisan ini gampang mengingatkan kita pada gagasan wu wei dalam khazanah pemikiran Tiongkok, yakni “nir-tindak,” inaction, yang konon dianggap sebagai puncak kekuatan dan kebijaksanaan.
Barisan dalam sajak-sajak Sapardi ini, yang dapat kita katakan sebagai perangkat literer temuan Sapardi yang istimewa, sungguh lebih canggih dari rima. Satuan dasar pembentuk rima adalah bunyi pada suku kata, sementara satuan dasar pembentuk barisan Sapardi adalah arti pada kata. Yang pertama auditoris, yang kedua semantik. Meskipun sama-sama perangkat mnemonik untuk membantu memori, rima itu umumnya bekerja mengejar efek bunyi dan musikal, kadang juga efek emosional. Barisan Sapardi, yang juga bisa mengandung rima, bekerja lebih jauh lagi menjangkau efek kognitif yang merangsang penalaran, bahkan efek epistemik yang menggugah pengetahuan. Yang menarik adalah bahwa Sapardi tak pernah menulis tentang perangkat literer temuannya ini, meskipun ia menggunakannya dalam banyak puisinya. Barisan sejajar yang saling mempertegas, terlihat juga misalnya pada:
Dalam Doaku
dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
ketika matahari mengambang di atas kepala, dalam doaku
kau menjelma pucuk pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana
dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di
ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang
tiba tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi,
dan bulu-bulu mataku
dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
atasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu
(1989)
Ada paduan dua barisan yang segera tampak pada sajak Dalam Doaku. Yang pertama adalah barisan setara yang merujuk pada waktu yang bergerak dari saat menjelang fajar hingga ke puncak malam. Yang kedua adalah barisan geometri yang bermula dari langit yang maha luas dan berada di luar si aku lirik, kemudian menurun ke pucuk cemara. Suku barisan selanjutnya memang tampak bergerak ke atas menjadi burung (bait ketiga) bahkan angin (bait keempat), namun pada akhirnya barisan itu menurun, mengerut dan memadat. Pada saat lingkaran waktu berdoa lima kali sehari itu melengkapkan diri, langit pun menggumpal menjadi denyut jantung.
Barisan yang bergerak itu memang juga dimainkan oleh Sapardi. Ia tak selalu membiarkan barisannya berhenti di nol atau kekosongan, tapi memutar balik suku barisan terakhir dan mengembalikannya ke suku barisan pertama. Dengan cara seperti ini, barisan pun — meminjam larik-larik dari sajak Melipat Jarak — jadi melengkung seperti tanda tanya, buru memburu dengan jawabannya. Sajak-sajak semacam ini menciptakan sirkuit, seperti misalnya pada puisi:
Bayangkan Seandainya
Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini
bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit
berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya;
bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini
bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu
menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik dari
bulu-bulunya;
bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini
bukan wajahmu tetapi pohon rambutan di halaman rumahmu
yang menggoda burung itu untuk hinggap di lengannya;
bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini
wajahmu sendiri yang itu juga, yang tak kunjung habis meski
telah kaukupas dengan ganas selembar demi selembar setiap hari.
(2009)
Sirkuit yang terbentuk di sajak ini bermula, tentu tak perlu dikatakan, pada “wajahmu” yang terpampang di cermin pagi ini. Tapi sajak ini membujuk kau di bait pertama untuk membayangkan bahwa wajah yang terlihat di cermin itu bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit. Di bait kedua si kau dibujuk untuk membayangkan wajah yang terlihat di cermin itu bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu. Di bait ketiga si kau kembali dibujuk untuk membayangkan wajah yang terlihat di cermin itu bukan wajahmu tetapi pohon rambutan di halaman rumahmu yang menggoda burung itu untuk hinggap di lengannya. Setelah si kau dibawa terbang melayang-layang, bermain dan menari menyusur barisan geometri yang bergerak turun dari langit ke awan, dari atas kota ke halaman rumah, mendadak di bait terakhir si kau dibujuk untuk membayangkan wajah yang terlihat di cermin itu adalah wajahmu sendiri yang itu juga, yang tak kunjung habis meski telah kaukupas dengan ganas.
Bait terakhir ini melengkungkan barisan dan membuatnya jadi sirkuit tertutup yang bisa berubah menjadi siklon kognitif yang dengan ganas mengangkat pikiran pembaca yang imajinatif terburai dan terlepas dari pengetahuan dirinya yang dikira mapan. Sajak ini mengubah kebenaran yang sudah sangat jelas dan karena itu tak pernah dipertanyakan, menjadi problem yang minta dipikirkan, menjadi gatal yang menuntut digaruk. Dan karena tak ada jawaban bagi problem yang dihamparkan itu, maka problem itu, tepatnya sajak itu, dapat menjadi godaan yang terus berputar dan bertahan di otak selama otak tersebut bisa bekerja normal.
Jika barisan yang menuju nol atau kekosongan itu mengendapkan perasaan suwung, nyaman dan mantap, maka barisan yang menjadi sirkuit ini adalah strategi untuk menciptakan pain, nyeri, untuk memicu badai, brainstorming.
Di Restoran
Kita berdua saja, duduk. Aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput —
kau entah memesan apa. Aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras —
kau entah memesan apa. Tapi kita berdua
saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
(1989)
Sajak di atas menghadirkan cara lain Sapardi menorehkan nyeri. Ironi yang tajam sudah terasa di bait pertama dimana si Aku (dengan A kapital) dan si kau, ke restoran berdua, tapi seperti tak punya koneksi satu sama lain. Keduanya ada di dalam gelembung masing-masing meski mungkin duduk berdekatan, mungkin berhadapan. Si Aku mungkin ingin membangun suasana romantis dengan mula-mula memesan ilalang panjang dan bunga rumput. Tapi usahanya tak berbalas karena pasangannya entah memesan apa. Nyeri mulai menggores kuat ketika si Aku kembali memesan sesuatu yang jauh dari restoran itu yakni batu di tengah sungai terjal yang deras. Di untai kedua, si Aku yang mestinya jadi subyek penentu itu bahkan akhirnya hanya memesan sesuatu yang haram ada di restoran itu, sesuatu yang tak terpikirkan dan justru ingin dihilangkan ketika orang mengunjungi restoran, yakni rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, rasa lapar yang asing itu.
Simetri terbalik antara judul dan isi sajak ini, dengan kontrasnya yang menusuk itu bisa meninggalkan efek kognitif yang tak putus di benak pembaca. Dan buat mereka yang merindukan cinta dan kebersamaan, yang terikat dengan pasangan yang kehadirannya justeru membuatnya merasa kian terasing, efek itu bisa nyaring lengkingnya.
“Lima tak ingin” yang ditopang bentuk-bentuk matematis bersahaja, telah mengarahkan Sapardi membuat komposisi yang juga sederhana, lalu menggarap dua unsur yang mempengaruhi memori manusia dan sangat penting bagi keberlangsungan hidup organisme: pain dan pleasure. Sajak-sajak Sapardi itu kerap menghadirkan dua hal penting ini sekaligus, tapi dengan timbangan yang berbeda. Sajak Aku Ingin atau Hujan Bulan Juni adalah jenis yang lebih berat ke pleasure, sementara Metamorfosis, Topeng, Catatan Masa Kecil 2 atau Tiga Percakapan Telepon adalah sajak yang lebih berat ke pain.
Selain dengan jenis memori yang berhubungan dengan persepsi indrawi, puisi-puisi terkenal Sapardi sungguh bisa juga dikaitkan dengan memori semantik, yakni bagian dari memori eksplisit atau deklaratif. Jika jenis memori pertama itu membuat sajak-sajak Sapardi jadi mudah tertancap di ingatan lewat pencerapan indrawi, maka memori jenis kedua itu bisa membantu sajak-sajak tersebut tercipta ulang dan berkembang di benak para pembacanya lewat bantuan khazanah kebudayaan dan pengetahuan.
Puisi bagus yang gampang diingat adalah benda ajaib yang sangat berharga bukan hanya buat mereka yang ingin mencipta. Buat mereka yang terutama ingin mencipta, dengan penuh cinta, dan tak gentar pada keharusan cinta, puisi bagus yang sederhana dan mudah diingat itu mirip rumus matematis sederhana yang memang juga sebuah ekspresi estetis, dan mungkin diterapkan di seluruh jagad. Tentang keharusan cinta, termasuk cinta kepada Pencipta, Sapardi menuliskan sajak berikut:
Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta
/1/
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
/2/
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
/3/
mencintai-Mu
harus menjelma aku
(Sajak tak bertitimangsa dimuat dalam kumpulan Arloji yang terbit 1998)
Sajak ringkas ini menegaskan lagi jarak intelektual yang terentang ke arah Sang Mu — penjarakan yang membuat Sapardi Djoko Damono jadi berbeda dari Amir Hamzah dan Chairil Anwar, seperti yang sudah disinggung di depan. Bagi sajak ini, mencintai-Mu memang harus menjelma aku, di mana aku adalah semacam bayangan dari sekaligus koreksi atas Mu, meski dengan magnitude yang berbeda. Si aku memang tak mungkin menyamai Mu dalam hal kebesaran, tapi ia mungkin bisa menandingi dalam hal kemasukakalan, keadilan dan keabadian ciptaan. Kemasukakalan telah coba dibangun dengan sajak-sajak yang indah dan terukur. Kemasukakalan itu mencakup keadilan juga. Jika pun keadilan tak dapat diciptakan sepenuhnya dalam sajak-sajak Sapardi, setidaknya keadilan dan harapan terhadapnya telah dihadirkan dengan indah dan subtil.
Seraya menjadi pencipta yang adil dan masuk akal, Sapardi juga ingin jadi pencipta dengan ciptaan yang abadi. Sapardi tentu tahu bahwa mustahil ia abadi di dunia, tapi ia tahu, dan berjuang, untuk membuat karya-karyanya abadi di tengah kehidupan pembacanya. “Lima tak ingin” yang dibantu dengan struktur matematis yang membantu kerja memori itu adalah senjata Sapardi untuk menjadi abadi.
Selain pemberian kehidupan pada benda-benda mati yang membangkitkan berbagai sensasi kognitif, ada satu pemberian lagi yang tak semua tukang sihir, penyair, atau bahkan Tuhan (dalam pemahaman sebagian umatnya) sanggup berikan. Yakni memberikan diri sendiri, menghapus jejak keagungan dan kebesaran diri, untuk membesarkan sesuatu yang bukan diri sendiri. Sajak-sajaknya yang memanfaatkan deret yang bermula dari satuan besar menuju satuan kecil, dari subyek yang fisik menuju non-fisik, menyarankan gerakan menuju kekosongan, dari ada menjadi tiada, dari gunung menjulang yang merobohkan diri jadi lapangan hijau berumput yang maha luas. Di kekosongan itulah sajak-sajaknya membuka diri bagi pembacanya untuk menciptakan semesta makna baru.
Puisi-puisi terbaik Sapardi, yang cerdik memanfaatkan khazanah matematis itu, tak hanya memberi kita momen puitik, tapi juga petunjuk menangkap dan menciptakan sendiri momen-momen puitik itu. Kaidah “lima tak ingin” itu kembali menjadi penting karena kaidah itu mempermudah pembaca untuk juga jadi penyair, jadi pencipta. “Tak ingin erudite, tak ingin kosmopolit dan tak ingin eksperimental” itu misalnya telah menghasilkan sajak-sajak dengan kata-kata yang sangat sederhana, bukan kata-kata sulit atau jargon akademis dengan bentuk yang tampak liar. Pembaca jadi nyaris tak punya kesulitan, tak perlu buka kamus, untuk memahami puisi-puisi Sapardi. Kaidah “lima tak ingin” itu bahkan mungkin membantu pembaca kreatif yang ingin coba menciptakan ulang atau membayang-bayangi puisi Sapardi.
Seiring dengan itu, kaidah “tak ingin religius” yang mencegah sajak-sajak Sapardi menempelkan lambang dan ungkapan dari khazanah agama yang dianutnya itu, jelas membuka diri seluas-luasnya pada semua pembaca tak peduli apapun keyakinan dan ketakyakinannya. Yang menarik adalah bawa sajak-sajak yang tak ingin religius itu justru berhasil menunjukkan bahwa religiusitas itu sungguh bisa juga direngkuh bukan lewat jalan agama.
Ringkasnya, jika sebelumnya kaidah “lima tak ingin” itu telah membantu Sapardi menjinakkan chaos dan merapikan dunia, maka kini, kaidah “lima tak ingin” itu sekaligus membantu Sapardi menurunkan palang pintu bahasa sehingga sebanyak mungkin pembaca bisa masuk ke kancah penciptaan yang ikut dihamparkan oleh puisi-puisinya. Tentang apakah “Barisan Sapardi” itu benar-benar temuan yang orisinal, atau hasil pencurian kreatif yang memang watak penulis besar, seperti kata TS Eliot, biarlah telaah lain yang akan uji. Yang jelas adalah bahwa dengan cara yang memukau, puisi-puisi Sapardi telah ikut menunjukkan kemampuan kata sebagai pembebasan. Kata, yang demikian biasa dan sederhana, yang dapat dihimpun oleh siapa pun dengan melimpah bahkan sejak masih kanak-kanak, memang modal kultural manusia yang paling berharga karena punya kekuatan luar biasa untuk diolah menyiasati dan menyusun ulang dunia.
Pembaca yang terus mencipta adalah hal penting dan berharga buat Sapardi, sehingga bahkan seorang pensiunan yang tinggal menyongsong mati pun, seperti yang dikisahkan dalam Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro, masih juga terus digoda untuk tidak memadamkan indra, untuk kembali mencipta: membayangkan dirimu pangeran yang lain dari yang dulu dibayangkan nenekmu tentangmu. Hanya dengan penciptaanlah memang, Kita abadi: memungut detik demi detik, ciptaan demi ciptaan, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa, lupa ruang dan waktu, tenggelam dalam keasyikan yang intens. Yang fana memang adalah waktu. Ciptaan abadi.
Jika pun Sapardi dan kuasanya tak dapat hilang sama sekali dari sajak-sajaknya, ia jelas menyingkir dari pusat dan memilih jadi kawan bahkan mungkin abdi yang mendampingi pembaca untuk maju ke tengah dan menduduki tahta penciptaan. Entah sebagai abdi, sebagai kawan, atau sebagai guru besar yang dicinta, sajak-sajak terbaik Sapardi takkan merelakan kita sendiri, akan tetap mensiasati dan tak letih-letihnya mencari, agar kita tetap mencipta dan memfanakan waktu. Saya bayangkan Sapardi Djoko Damono akan tersenyum senang jika karya-karyanya membuat pembacanya, yang telah mendapat mata tambahan dari seni dan sains, tumbuh jadi pencipta yang bahkan lebih besar dari si penyair sendiri.
Pada Suatu Hari Nanti
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(1991)
Jakarta, 17 Agustus 2020
———————————————————————
*Daftar Pustaka
* K.A. Stroud. Matematika Untuk Teknik, Jakarta: Erlangga, 1991. Alih bahasa: Erwin Sucipto
* Sapardi Djoko Damono. Hujan Bulan Juni: Pilihan Sajak, Jakarta: Grasindo, 1994
* Sapardi Djoko Damono. Hujan Bulan Juni: Pilihan Sajak, Jakarta: Editum, 2000
* Sapardi Djoko Damono. Mata Jendela, Jakarta: Editum, 2010
* Sapardi Djoko Damono. Kolam, Jakarta: Editum, 2010
* Sapardi Djoko Damono. Ayat-Ayat Api, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
* Sapardi Djoko Damono. Sihir Rendra: Permainan Makna, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
*Sumber Tulisan Sastra Indonesia.com
Top of Form
Bottom of Form
Top of Form
Bottom of Form
Top of Form
Bottom of Form