Khudori Husnan, Esais dan Pecinta Buku
SEJARAH merupakan medium pembentuk identitas. Pada saat bersamaan, sejarah mendasarkan diri pada kiprah orang per orang sebagai mahluk yang hidup dalam sejarah. Oleh karena itu, penulisan sejarah intelektual di Indonesia dapat diartikan sebagai penulisan gagasan-gagasan intelektual tentang sejarah Indonesia itu sendiri.
Hubungan penulisan sejarah intelektual dengan penulisan gagasan-gagasan intelektual tentang sejarah bersifat timbal-balik hingga tak bisa dirangkum dalam sebuah rumusan, sejarahlah yang menentukan bulat lonjongnya gagasan intelektual, atau sebaliknya, gagasan-gagasan kaum intelektual yang menentukan bopeng mulusnya sejarah.
Buku Fragmen Sejarah Intelektual, Beberapa Profil Indonesia Merdeka (selanjutnya disingkat Fragmen Sejarah Intelektual) karya cendekiawan Indonesia terkemuka Ignas Kleden, persis menyoroti keterkaitan sejarah dengan subyek-subyek yang terlibat dan melibatkan diri dalam sejarah.
Bagi Ignas Kleden “ada hubungan yang bersifat terbuka dan penuh kemungkinan di antara stimuli yang diberikan oleh waktu dan tempat seseorang hidup dan respons yang diberikan oleh tiap orang terhadap berbagai stimuli itu.” Selain itu, masih menurut Ignas Kleden, “respons seseorang terhadap setiap stimulus adalah respons yang mengandung kebebasan.” (Halaman, 64).
Pandangan ini menyiratkan kesan, gerak sejarah tercipta melalui interaksi antara konteks dengan reaksi-reaksi yang tak terduga dan tak bisa ditentukan dari seseorang, dalam hal ini mereka yang disebut sebagai intelektual, terhadap konteks yang melingkupinya.
Sejarah Politik Indonesia
Fragmen Sejarah Intelektual berupaya mengulas sejarah politik Indonesia dengan mengungkap kemungkinan tren-tren pemikiran yang bertalian erat dengan berbagai diskursus dan praktik kekuasaan, khususnya di kurun waktu setelah Indonesia merdeka hingga saat ini. “Dari sejarah politik Indonesia,” tulis Ignas Kleden, “kita dapat belajar, bahwa bahkan konsep kekuasaan didefinisikan juga menurut keadaan sosial-historis suatu masa.” (Halaman. 60).
Filosof Prancis Michel Foucault melalui apa yang disebutnya sebagai “bio-politics of population,” mengenalkan pengertian baru tentang kekuasaan. Menurut Foucault antara kekuasaan dan pengetahuan tak bisa dipisahkan dan tubuh manusia paling bisa menyesuaikan diri dengan sirkulasi kekuasaan.
Kekuasaan tak lagi berada luar individu, yang menekan dan memaksa. Individu adalah bagian dari kekuasaan itu sendiri. Alih-alih bersifat menekan, kekuasaan justru bersifat produktif. Hubungan antara tubuh individual dengan tubuh sosial atau populasi, memainkan peran penting bagi terciptanya politik modern, melalui pendisiplinan ala bentuk-bentuk baru kekuasaan termasuk pendidikan.
Pendidikan yang diberikan kaum penjajah pada tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka menjadi sarana penguasaan yang sangat efektif. Tapi, pendidikan pulalah yang membuat tokoh-tokoh ini bertekad—dan kemudian berhasil— memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. “Hampir semua tokoh gerakan kebangsaan dan para pendiri Republik Indonesia,” tulis Ignas Kleden, “berjuang dengan satu keyakinan yang sama, yaitu bahwa politik nasional adalah pendidikan nasional.” (Halaman, 43).
Meski sama-sama berpandangan pendidikan dan kemerdekaan adalah kunci, Ignas Kleden mencatat ada perbedaan pemaknaan tentang kemerdekaan dari sudut pandang politik serta dari sudut pandang kesenian dan kebudayaan. “Dalam politik,” demikian Ignas Kleden, “kemerdekaan lebih diproyeksikan sebagai tujuan perjuangan, sementara dalam kebudayaan dan kesenian, kebebasan dituntut sebagai prasyarat yang memungkinkan dan memfasilitasi usaha kreatif.” (Halaman.50).
Kekuasaan dan Kebebasan
Buku ini terdiri dari dua bagian yaitu pertama, mengetengahkan pemikiran-pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Soedjatmoko, Frans Seda, Gus Dur, dan Sultan Hamengku Buwono, dan kedua membahasa karya Sutan Takdir Alisjahbana, Ajip Rosidi, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Rendra, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Sardono W. Kusumo, Jacob Oetama, dan Pramoedya Ananta Toer.
Ignas Kleden menganggap tokoh-tokoh di muka sebagai intelektual karena mereka adalah orang-orang “yang menghadapi keadaan masyarakatnya dengan pikiran, akal sehat, dan renungan kritisnya dan kemudian mengambil sikap, menyatakan sikap itu, dan mengambil risiko untuk mempertahankannya.” (halaman 15)
Meski tidak disebutkan secara eksplisit di dalamnya, buku Fragmen Sejarah Intelektual rupanya menggunakan pendekatan genealogis yang mendasarkan pemaparannya pada pertalian antara kekuasaan dengan pengetahuan dan bertitik-tolak dari pandangan bahwa fakta adalah hasil konstruksi sosial dari realitas (Bdk., halaman 399-340). Genealogi berkehendak menunjukan bagaimana realitas dapat dipahami secara berbeda jika konstruksi politik dan situasi politik tertentu juga berbeda.
Dengan menggunakan kaca mata filsafat, sejarah, sosiologi, seni dan budaya Ignas Kleden menunjuk pada episod-episod dan contoh-contoh sembari memusatkan perhatian pada permasalahan yang mengemuka dan tampak normal dalam rentang sejarah Indonesia, kemudian dikaitkan dengan relasi-relasi kekuasaan serta pelbagai kemungkinan—sejauh masih memiliki kaitan tematik antara masa lalu dan masa kini.
Melalui Frgammen Sejarah Intelektual, Ignas Kleden menemukan tema kebebasan sebagai benang merah yang menyatukan pergulatan para intelektual dari episod setelah Indonesia merdeka hingga masa sekarang; salah satu kekhasan analisa genealogis adalah berusaha mengintervensi/membaca ulang masa lalu untuk mendiagnosa masa kini.
Kritik
Di balik penjelasan yang sangat ketat, teliti, dan terperinci dalam buku Fragamen Sejarah Intelektual ini, saya cukup heran dengan tidak dibahas dengan gamblangnya jenis relasi kuasa lain yang menyelinap dalam apa yang disebut Benedict Anderson sebagai “kapitalisme cetak” dan dampaknya pada imajinasi tentang nasionalisme dalam diri para pelopor kemerdekaan Republik Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer menarasikan persoalan di muka lewat Minke dalam novel Bumi Manusia yang mengawali petualangannya, setelah dipicu ketakjuban pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tersimbolisasikan saat Minke terpesona pada kecantikan paras Ratu Wilhelmina di selembar potret yang nota bene adalah produk kemajuan teknologi di bidang reproduksi mekanis.
Terlepas dari keheranan saya di atas, buku Fragamen Sejarah Intelektual ini tak diragukan lagi merupakan buah karya yang bermutu sangat baik dari seorang intelektual dengan kadar sesarjanaan yang cemerlang, tentang sejarah formasi inteligensia Indonesia, termasuk pergulatan-pergulatannya dalam memperjuangan, mengisi, dan mendefinisikan kemerdekaan Indonesia.
Judul Buku : Fragmen Sejarah Intelektua – Beberapa Profil Indonesia Merdeka
Penulis : Ignas Kleden
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : Pertama, Desember 2020
Tebal : xxi+460 halaman
ISBN : 978 – 602 – 433 – 687 – 5
***********