ADRIANUS SUNARKO, OFM *
Pendahuluan
Di negara-negara sekular, di mana oleh banyak teori modernisasi klasik diprediksi bahwa peran agama akan lenyap, kaum beragama ternyata tetap hadir dan memainkan perannya yang khas dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau sekularisasi dimaknai sebagai yang meliputi tiga aspek (seperti dikemukakan Jose Casanova), yaitu sebagai (1) diferensiasi ranah-ranah sekular dari institusi dan norma-norma agama, (2) makin menurunnya kepercayaan dan praktik-praktik agama, dan (3) proses marjinalisasi agama ke dalam ranah yang diprivatisasikan, maka aspek pertamalah yang kiranya paling valid.2 Jürgen Habermas menyatakan hal yang sama dalam salah satu ceramahnya di Universitas Tilburg, Belanda, “Diferensiasi fungsional yang mendorong ke arah individualisasi agama tidak secara niscaya mengimplikasikan hilangnya pengaruh dan relevansi agama, baik dalam arena politik, budaya masyarakat, maupun tingkah laku sehari-hari.”3 Bahkan lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa agama dipanggil kembali ke ruang publik oleh sejumlah pemikir dalam rangka turut menyelamatkan proyek besar bernama modernisasi. Isi ideal dari proyek modernisasi rupanya tidak dapat dipertahankan bila mengandalkan sumber-sumber kulturalnya sendiri. Dalam salah satu kesempatan diskusi bersama Charles Taylor, Judith Butler, Cornel West di New York Amerika Serikat pada 22 Oktober 2009, Habermas menegaskan hal yang dalam beberapa tahun terakhir ini seringkali dikatakannya, “Kini ada cukup alasan untuk meragukan, apakah tradisi Pencerahan —dari sumber-sumbernya sendiri— masih dapat melahirkan motivasi dan gerakan sosial yang memadai untuk menjaga dan memelihara isi normatif dari modernitas itu sendiri.” Habermas memakai istilah post-sekular untuk melukiskan perkembangan baru ini.
Keadaan di Indonesia tentu saja berbeda. Memang selama zaman Orde Baru era Suharto, agama (khususnya Islam) mengalami proses marjinalisasi ke dalam ranah privat. Tetapi hal itu terjadi bukan karena masyarakat Indonesia sendiri sudah bersifat sekular, melainkan oleh karena represi dari penguasa. Maka setelah otokrasi Suharto tumbang, agama segera memenuhi lanskap kehidupan politik kita. Bahkan kita mungkin dapat berbicara tentang fakta “terlalu banyak agama” dalam kehidupan publik. Hal itu seringkali ditampilkan dalam wujud yang destruktif dan disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Keprihatinan tentang hal ini, misalnya, diungkapkan oleh Wahid Institute berdasarkan hasil penelitian mereka tentang konflik antaragama. Kenyataan maraknya hidup beragama itu memberikan tantangan tersendiri bagi teologi mengingat (1) kecenderungan privatisasi agama, (2) keterkaitan agama dengan aksi-aksi kekerasan, dan (3) tantangan bagi agama untuk menempatkan diri dalam masyarakat modern, demokratis, plural. Apa yang dapat disumbangkan refleksi teologis berhadapan dengan ketiga tantangan tersebut?
Mewaspadai Domestifikasi Allah ke dalam Ruang Privat
Dalam dialog dengan Habermas di tahun 1994, J.B. Metz menyampaikan catatan kritis tentang sesuatu yang kiranya masih relevan hingga sekarang. Menurut Metz, krisis yang dialami kekristenan di Eropa tidak hanya menyangkut institusi Gereja saja, melainkan terkait langsung dengan iman akan Allah sendiri. Untuk menamai jenis krisis yang dimaksud, ia memakai istilah “krisis tentang Allah.” Yang dimaksud bukanlah ateisme militan. Tetapi justru karena itu krisis ini tidak mudah didiagnosa. Krisis ini dialami justru dalam iklim yang ramah terhadap agama. Kata “Allah” memang diucapkan dan didengar di mana-mana (dalam pembicaraan dalam pesta-pesta, dalam klinik-klinik para ahli psiko-analisa, dalam diskursus estetis, dll), tetapi sebenarnya pantas diragukan, apakah orang sungguh berminat untuk dengan serius memberi makna yang sepadan pada kata tersebut. Paling tidak, tidak jelas sebenarnya konsep apa yang ada di balik kata “Allah” yang dipakai tersebut. Yang jelas, bukan Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub, Allah yang diwartakan Yesus Kristus. Kita dapat juga menyebut gejala ini sebagai fungsionalisasi kata atau tema Allah. Kata atau tema Allah dipakai di mana-mana untuk kepentingan dan fungsi yang berbedabeda, entah dalam konteks diskusi ilmiah filosofis, dalam kehidupan politik maupun dalam berbagai praktik penyembuhan-penyembuhan religius. Dalam bentuk yang ekstrem fungsionalisasi Allah ini dapat mengambil bentuk pereduksian Allah menjadi salah satu faktor saja dari psike manusia (psikologisasi). Fungsionalisasi Allah ini dapat pula berupa pereduksian Allah menjadi sarana saja bagi kepentingan politis tertentu (politisasi). Dalam agama-agama (dan Gereja) serta oleh penganut agama sendiri, Allah lalu didomestifikasi. Allah “dilarang” untuk mengungkapkan tuntutan-tuntutan yang mengganggu kemapanan dan kenyamanan pribadi. Metz menegaskan, “Agama seperti ini tidak lebih dari sekadar nama untuk impian akan kebahagiaan tanpa penderitaan, obsesi mistis jiwa atau khayalan psikologis-estetis tentang ketidakbernodaan manusia.” Akibatnya, kehidupan beragama dan menggereja dibatasi ke ruang personal belaka. Di satu pihak, kehadiran agama dan Gereja memang disambut dengan gembira karena memberi jawaban bagi kerinduan dan kehausan banyak orang modern dan postmodern akan ketenangan, rasa nyaman, hiburan rohani, dan sebagainya. Tetapi kalau direduksi pada hal-hal tersebut, agama dan Gereja kehilangan peran sosial-politiknya. Agama dan Gereja seperti itu tidak akan memiliki kemampuan untuk bersikap kritis terhadap sistem yang tidak adil. Demikian pula berbagai pengalaman non-identitas dan negatif dalam hidup bermasyarakat tidak akan dapat dirumuskan secara terang benderang. Tentang hal ini Metz menyatakan, “agama seperti itu telah menjadi semacam psikologi yang buta terhadap ketakterjangkauan yang lain dan kepada dunia serta kehilangan daya gugatan politis.” Peran agama untuk menawarkan pengalaman kedamaian personal dan penyembuh luka batin tidak disangkal oleh Metz. Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa penyembuhan harus mencakup pula dimensi sosial, ekonomi dan politik. 10 “Fungsionalisasi Allah baik demi kepentingan politik maupun psikologis sebenarnya sedang memenggal Allah. Sebab, di dalam fenomena-fenomena ini orang hanya berkonsentrasi pada dimensi inkarnatoris dari Allah, pada identitas antara yang ilahi dan manusiawi, tetapi serentak dengan itu melepaskan dimensi eskatologis dari Allah. Padahal, Allah hanya tetap dihormati dan sungguh dipikirkan sebagai Allah, apabila orang tetap mengindahkan dimensi eskatoligis ini, karena dimensi inilah yang menegaskan bahwa Allah memiliki kedaulatan yang tidak dapat diobjektivasi oleh manusia.”
Keprihatinan serupa diserukan oleh Paus Fransiskus, dan karena itu teologi perlu mewaspadainya. Kita perlu waspada terhadap jenis kehidupan rohani yang menyibukkan diri dengan berbagai olah kerohanian yang rumit dan memberi kenyamanan tetapi tidak mendorong orang untuk terlibat dalam upaya membangun dunia melalui evangelisasi. Konsumerisme rohani yang lahir dari individualisme yang sempit mungkin menarik, tetapi dapat mengancam perkembangan hidup beriman yang sejati. Di satu pihak, Paus menegaskan, “Gereja sungguhsungguh membutuhkan nafas doa yang dalam, dan saya sungguh bersukacita karena di semua lembaga gereja berkembanglah kelompokkelompok doa, kelompok-kelompok para pemohon, kelompok-kelompok pembacaan sabda Allah dalam suasana doa dan adorasi abadi Ekaristi.” Tetapi di lain pihak, kita perlu waspada dan tidak terjebak dalam godaan dari banyak aliran spiritualitas dengan ciri privat dan individualistis yang kental karena tidak sesuai dengan tuntutan-tuntutan cinta kasih, maupun paham inkarnasi. Ia mengingatkan, “Selalu ada risiko bahwa saat-saat doa bisa menjadi alasan untuk tidak mempersembahkan hidup pribadi bagi perutusan. Gaya hidup yang menekankan lingkup privat dapat mendorong umat kristiani untuk lari ke dalam spiritualitas palsu.” Berkaitan dengan tantangan pertama ini sumbangan refleksi dari teologi politik dan teologi pembebasan tetap relevan. Keduanya mengingatkan kita akan dimensi dan konsekuensi sosial politik dari iman. Kalau ditempatkan dalam upaya mengembangkan teologi kontekstual, maka perlu diingat bahwa konteks hidup beriman dan berteologi itu tidak homogen dan berlapis-lapis.
Konteks dalam kontekstualisasi teologi adalah sesuatu yang tidak homogen. Di era postmodern-globalisasi ini berbagai faktor dapat secara serentak memberi pengaruh. Batas antara yang asing dan asli, yang lama dan baru tidak dapat dengan mudah ditarik dengan tegas. Konteks kita dalam berteologi dipengaruhi dan ditentukan bukan hanya oleh hal-hal yang berasal dan berkembang dari lingkup kebudayaan kita sendiri, tetapi juga oleh apa yang merupakan produk budaya lain baik dari waktu sekarang maupun dahulu. Demikian pula konteks tidak hanya ditentukan oleh faktor pribadi melainkan juga faktor politik, ekonomi dan budaya global. Pemikiran yang berasal dari wilayah lain di dunia dapat juga berguna bagi upaya kita merefleksikan iman. Tentang hal ini kita dapat belajar banyak dari para pendiri bangsa kita ketika bergulat merumuskan dasar-dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Berkat pemahaman akan kekayaan tradisi nusantara sendiri serta keluasan pengetahuan dan keterbukaan (disertai sikap kritis) pada pemikiran Barat, para pendiri bangsa kita berhasil sampai pada sebuah paham khas demokrasi Indonesia yang sesuai dengan keadaan khusus Indonesia tanpa tertutup pada tantangan-tantangan aktual.
Selain tidak homogen, konteks itu juga berlapis-lapis. Lapis pertama adalah pengalaman personal yang mempengaruhi seseorang, baik aktual maupun pengalaman masa lampau. Lapis kedua adalah kebudayaan yang merupakan pengungkapan dalam berbagai bentuk simbolisasi atas apa yang dialami manusia sebagai pribadi dan sebagai bagian dari suatu tatanan sosial. Lapis ketiga adalah lokasi sosial seseorang atau kelompok (laki-laki, perempuan, kaya-miskin, di pinggiran atau di pusat kekuasaan). Cara orang berbicara tentang Allah juga dipengaruhi oleh faktor ini. Lapis keempat adalah realitas sosial yang dinamis dan berubah yang bersifat global (misalnya, mendunianya pengakuan akan penghargaan atas martabat manusia dan hak-hak asasi manusia). Perlu diingat bahwa faktor-faktor tersebut ada secara bersama-sama dalam setiap konteks dan seringkali tidak disadari. Yang harus dilakukan dalam proses berteologi kontekstual lalu adalah mengangkat faktor-faktor tersebut ke taraf kesadaran. Refleksi atas dimensi dan konsekuensi politis iman kristiani akhirnya harus memiliki ciri preferential option for liberation. Dasar terdalam dari preferensi ini tentu saja ada pada Allah sendiri yang diimani sebagai yang menyelamatkan, membebaskan dan memerdekakan. Allah yang dimaksud adalah Allah yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, Allah yang diwartakan Kristus sebagai kasih dan perhatian pada semua yang menderita dan terpinggirkan. Paus Fransiskus menyampaikan hal ini dengan tegas dalam Evangelii Gaudium: “Tetapi kepada siapa Gereja pertama-tama harus pergi? Ketika membaca Injil, kita menemukan petunjuk yang jelas: tidak terbatas pada temanteman dan tetangga-tetangga kita yang kaya, tetapi terutama pada orangorang miskin dan orang-orang sakit, mereka yang biasanya dihina dan diabaikan, “mereka yang tidak bisa membalasmu” (Luk 14:14). Tidak mungkin ada keraguan atau penjelasan yang melemahkan pesan yang sangat jelas ini.”
Untuk zaman kita ini, kita dapat mengatakan bahwa penghargaan terhadap martabat pribadi manusia dan keutuhan ciptaan merupakan tolok ukur dalam mewujudkan preferensi pembebasan ini. Penghargaan atas martabat pribadi manusia dan keutuhan ciptaan misalnya menjadi tolok ukur dalam mendekati dan menganalisis sebuah konteks dalam keempat lapisnya tadi. Di satu pihak, kita bertanya tentang apa yang merupakan jejak Allah yang membebaskan di dalam situasi konkret tersebut. Tetapi mengingat konteks kehidupan manusia, kita tidak hanya mencari, menemukan dan mengangkat apa yang positif dalam konteks tertentu. Sebaliknya, kita perlu mewaspadai kecenderungan negatif yang sering terjadi, yaitu dominasi pihak tertentu yang mengakibatkan tersisihkannya pihak-pihak yang lain, yang lemah. Dalam konteks real seperti ini, teologi dituntut untuk tidak hanya memberi perhatian pada hal-hal yang baik dan kudus dalam konteks tertentu, tetapi juga mengungkapkan, merumuskan dan menyuarakan pengalaman negatif berupa hal-hal yang tidak adil, tidak baik dan tidak kudus.
Mengingat preferensi seperti disebutkan di atas, teologi kontekstual, misalnya, perlu selalu bertanya apakah dalam formulasi teologis yang dikemukakan terkandung makna penghormatan terhadap martabat manusia serta pemeliharaan ciptaan (atau tidak). Refleksi teologi kontekstual tidak boleh berpuas diri dengan menghasilkan rumusan-rumusan yang secara logika dapat dipertanggungjawabkan. Refleksi teologi kontekstual perlu secara sadar diarahkan agar mampu mendorong lahirnya gerakan pembebasan.
Agama Monoteis dan Kekerasan
Tantangan kedua berkaitan dengan tema agama dan kekerasan. Tidak dapat dipungkiri bahwa maraknya hidup beragama di zaman ini disertai pula dengan gejala memprihatinkan berkaitan dengan kekerasan. Banyak konflik yang terjadi ternyata seringkali dalam satu dan lain cara memiliki penyebabnya dalam penghayatan keagamaan yang berbeda-beda. Kalau demikian, prinsip anti kekerasan yang harus menjadi ciri pokok dari politik demokrasi justru akan terancam oleh kehadiran agama-agama yang berbeda dan saling bersaing.
Berkaitan dengan berbagai peristiwa kekerasan bermotif keagamaan dan gejala ketidakmampuan bangsa kita memaknai kenyataan plural secara positif, tidak jarang kita mendengar penegasan-penegasan berikut: pada dasarnya semua agama itu baik dan anti-kekerasan. Yang terjadi adalah politisasi agama. Agama-agama memberi ruang bagi kenyataan plural hidup bermasyarakat. Tetapi, fakta bahwa masih terjadi terus menerus kekerasan dan itu dalam berbagai bentuk yang berbeda rupanya tokh berkaitan dengan agama. Kenyataan bahwa ternyata tidak mudah juga memaknai pluralitas (agama) secara positif, menunjukkan, bahwa kiranya masalahnya tidak sederhana.
Kepada Samuel P. Huntington sering dilontarkan kritik bahwa dalam tesis clash of civilizations, ia terlalu memberi tempat yang berlebihan pada peran agama bagi terciptanya konflik. Bukan persaingan antara agama, bukan pula konflik yang lahir dari klaim-klaim mutlak agama-agama (monoteis) yang mengancam perdamaian, melainkan instrumentalisasi perasaan-perasaan religius melalui agitasi demi kepentingan politiklah yang menjadi penyebab terjadinya clash of civilizations. Tanpa menolak kebenaran kritik tersebut (bahwa yang seringkali terjadi adalah agama yang ditunggangi kepentingan politik), saya kira ada bagian dari tesis Huntington yang dapat membantu kita memahami terjadinya kekerasan yang terjadi atas nama agama dengan lebih baik.
Huntington menegaskan bahwa rupanya ada pula bentuk-bentuk instrumentalisasi kesadaran agama yang terjadi, bukan semata-mata sebagai akibat dari propaganda dan agitasi politik. Dirumuskan secara lain: Jangan-jangan struktur orang beragama itu sendiri memang rentan untuk disalahgunakan, ditunggangi kepentingan-kepentingan lain. Huntington berbicara tentang kebutuhan psikologis akan identitas (pendefinisian diri) yang juga dapat masuk dalam kesadaran religius seseorang dan kemudian mengambil bentuk/mekanisme penegasan batas dari yang lain. Hal itu menjadi parah ketika upaya penemuan identitas itu dibarengi dengan penegasan yang lain sebagai musuh. Huntington menegaskan, “Bagi manusia yang sedang mencari identitasnya dan menemukan etnisitasnya secara baru, musuh merupakan sesuatu yang diperlukan dan permusuhan yang secara potensial paling berbahaya kita temukan dalam perjumpaan antara budaya-budaya besar dunia.”
Huntington khususnya melihat kemungkinan instrumentalisasi perasaan religius keagamaan ini pada agama kristiani dan islam. Keduanya memiliki warta yang bersifat universal merangkul semua orang, tetapi sekaligus harus menerima kenyataan, bahwa banyak orang lain tidak (mau) masuk dalam kelompok mereka. Teristimewa bagi mereka (individu atau kelompok) yang secara politis, ekonomis dan sosial terancam, agama justru dapat memberi perasaan positif tentang identitas. Dalam keadaan seperti itu, Huntington menyatakan, “Agama bukanlah candu untuk rakyat, tetapi vitamin bagi mereka yang lemah.” Kita berjumpa di sini pada hemat saya dengan kemungkinan, bahwa agama menjadi “bangunan atas ideologis (ideologischen Überbau),” bukan atas basis keterasingan ekonomis (Marx) tetapi atas bentuk keterasingan yang lain yaitu bentuk pencarian identitas di mana untuk itu orang (harus) dengan tegas membedakan dan memisahkan diri dari yang lain, bahkan menyingkirkan yang lain.
Atas dasar iman monoteis akan Allah yang satu, seharusnya lahir pula etika yang universal, yang tidak memberi tempat bagi pengucilan terhadap siapa pun, yang lain. Tetapi tindakan beriman kita rupa-rupanya diam-diam (hampir) selalu disertai oleh fungsi sekunder yang laten berupa kebutuhan pendefinisian diri yang mengakibatkan pengucilan yang lain. Hal ini justru menjadi akut, manakala manusia dari berbagai kelompok (agama) hidup bersama dan pembedaan menjadi faktor yang amat menentukan. Fungsi sekunder yang laten tersebut tidak dapat didamaikan dengan isi normatif dari agama-agama monoteis itu sendiri, yang percaya akan satu Allah yang juga mencintai mereka yang lain. Karena itu sesungguhnya fungsi sekunder yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak legitim. Dalam kerangka ini, pada hemat saya, termasuk tugas teologi bahwa ia menjadi sebuah teori kritis atas kesadaran religius manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh M. Horkheimer, tugas sebuah teori kritis adalah aufklärung/pencerahan terus menerus atas kesadaran manusia, menelanjangi kesadaran manusia, khususnya bila ia merasa bahwa ia berpikir/bekerja secara otonom atau netral, dan menunjukkan, bahwa ada berbagai kepentingan dan mekanisme. Tugas teori kritis adalah senantiasa mewaspadai “godaan mengucilkan yang lain” yang diam-diam hadir dalam setiap tindakan dan kesadaran kita. Demikian pula sebagai teori kritis, teologi bertugas terus menerus membawa pencerahan bagi kesadaran religius manusia beriman akan adanya berbagai kepentingan dan mekanisme pendefinisian diri yang berlebihan dan tanpa sadar mengakibatkan tindak pengucilan pada yang lain.
Bahwa godaan kebencian dan mengucilkan “yang lain” dapat masuk bahkan dalam aktivitas religius berupa doa dapat dilihat dalam ungkapan jujur pemazmur berikut, “Dan bagiku, betapa sulitnya pikiranMu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya … Sekiranya Engkau mematikan orang fasik, ya Allah, sehingga menjauh dari padaku penum-pah-penumpah darah, yang berkata-kata dusta terhadap Engkau, dan melawan Engkau dengan sia-sia. Masakan aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya Tuhan, dan tidak merasa jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau? Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku (Mazmur 139: 17-22).”
Di lain pihak —dalam doa yang sama— terlihat, bahwa pemazmur mampu meng-ambil sikap kritis terhadap godaan pengucilan tersebut dengan membiarkan diri dikoreksi oleh Allah sendiri. Melanjutkan doanya ia berseru, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139: 23-24). Dengan kewaspadaan akan mekanisme-mekanisme pendefinisian diri yang berlebihan yang juga melekat dalam kesadaran religius kita, mungkin hidup beragama kita tidak menjadi terlalu rentan untuk dimanipulasi, dimanfaatkan oleh (atau sebaliknya memanipulasi dan memanfaatkan) kepentingan-kepentingan (politis) yang tidak legitim.
Agama dalam Masyarakat Modern, Demokratis dan Plural
Pertimbangan ketiga ini berkaitan dengan konteks khas Indonesia sebagai masyarakat yang plural yang sedang berupaya membangun demokrasi. Secara khusus para penganut kaum beragama dituntut untuk menempatkan diri secara tepat agar tidak jatuh pada ekstrem yang satu (tidak perduli pada hal-hal berkaitan dengan masyarakat dan politik) atau pada ekstrem yang lain (campur tangan agama yang berlebihan atas perkara kenegaraan). Bagaimana seharusnya relasi antara agama (yang beraneka) dan negara? Bagaimana peran agama di ruang publik ditata dan diwujudkan dengan tepat sehingga tidak terjadi dominasi dan represi dari mayoritas atas minoritas atau sebaliknya? Rasionalitas iman macam apa yang perlu dikembangkan agar kehadiran agama dalam masyarakat plural dapat diterima?
Tanpa menyangkal peran faktor-faktor lain, dari pihak kaum beragama sendiri dituntut sebuah proses belajar tertentu supaya dapat menempatkan diri dalam tatanan masyarakat demokratis dan plural secara tepat. Diskusi Habermas dan Ratzinger di München beberapa tahun lalu juga bergulat dengan masalah tersebut. Bagaimana peran agama dalam diskursus politik pada era postmetafisis (Habermas)? Bagaimana seharusnya agama menempatkan diri dalam masyarakat modern sekaligus plural? Dapatkah kita memberi pendasaran rasional bagi kedudukan agama dalam sebuah masyarakat yang menganut sistem politik demokratis, di mana kekuasaan politik harus bersikap netral terhadap berbagai pandangan hidup dan agama yang ada?28 Bagi agama-agama monoteistik khususnya yang memiliki klaim-klaim absolut, hal ini merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah. Tentang hal ini Ratzinger misalnya menegaskan, “Setelah metafisika berakhir, kita berada dalam kesulitan untuk memberi pendasaran rasional atas iman kristiani.” Kaum beragama perlu mengembangkan pola rasionalitas beriman tertentu yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara tepat dalam ruang publik masyarakat plural dan demokratis.
Secara lebih rinci, Habermas menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga tantangan pada kaum beragama yang harus dijawab, kalau ingin turut mengembangkan demokrasi dalam masyarakat yang kompleks dan plural. Jawaban itu akan menjadi sikap dasar yang diandaikan harus ada dan memungkinkan kaum beragama untuk berpartisipasi dalam kehidupan demokratis sesuai dengan norma-norma demokrasi. Habermas berbicara tentang perlunya kaum beragama untuk belajar menemukan “posisi epistemis” (rasionalitas iman) yang tepat berhadapan dengan tiga tantangan modernitas berikut. Pertama, warga beragama harus menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Itu bisa dikatakan berhasil bila warga beragama secara sadar mampu menunjukkan keterkaitan pandangan-pandangan religiusnya dengan pandangan dari agama dan keyakinan lain, tetapi sekaligus tidak mengabaikan atau mengorbankan klaim tentang kebenaran dari agama/keyakinannya sendiri. Kedua, warga beragama harus menemukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Perlu diperlihatkan, bahwa tidak terjadi pertentangan antara hasil kemajuan ilmu pengetahuan dengan pandangan mengenai hal yang bersangkutan berdasarkan iman. Ketiga, warga beragama harus memiliki sikap yang tepat terhadap prinsip, bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah argument-argumen yang berdasarkan akal budi dan dapat dimengerti oleh semua pihak. Proses belajar dalam hal ini berhasil bila mereka mampu menunjukkan, bahwa prinsip kesetaraan setiap dan masing-masing individu serta prinsip moral universal tidak bertentangan dengan isi dogmatis agamanya secara keseluruhan.
Kalau ketiga pengandaian posisi epistemis tadi berhasil dipelajari, kaum beragama akan dapat memenuhi tuntutan deliberatif dalam demokrasi. Kita tahu bahwa prosedur demokrasi memiliki kekuatan legitimasinya bukan hanya karena ciri inklusifnya, melainkan juga karena ciri deliberatifnya. Kalau pengandaian tentang posisi epistemis yang tepat dimiliki, kaum beragama akan dapat menerjemahkan visi dan bahasa keagamaannya ke dalam bahasa universal yang dapat dipahami setiap warga negara. Dalam deliberasi yang mendahului pengambilan keputusan politik, kontribusi-kontribusi kelompok agama perlu diterjemahkan dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa yang dapat diterima publik. Kalau tidak, khususnya dalam masyarakat plural seperti Indonesia, akan terjadi kekacauan pemahaman satu sama lain mengingat berbagai macam kelompok partikular (etnis dan agama) yang memiliki bahasa masing-masing yang khas dan belum tentu dipahami oleh orang dari kelompok lain. Sebaliknya, bila kelompok-kelompok partikular (etnis dan agama) rela dan mampu menerjemahkan bahasa partikular mereka ke dalam bahasa yang dapat dipahami kelompok lain, maka nilai-nilai dan sistem epistemis kelompok-kelompok tersebut dapat disumbangkan menjadi bahan wacana dalam ruang publik demokratis bersama. Di sini teologi dapat memainkan peran untuk turut menyediakan pendasaran rasional atas keyakinan-keyakinan religius yang dihayati. Dengan demikian kelompok-kelompok agama akan dapat keluar dari keterbatasan bahasa kelompoknya sendiri dan mengungkapkan nilai-nilai dan sistem epistemis mereka dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh warga negara yang berasal dari kelompok budaya dan agama yang berbeda.
Kalau proses penerjemahan tersebut berlangsung dengan baik, maka kelompok beragama dapat memberi sumbangan penting lain bagi makin kokohnya perkembangan masyarakat demokrasi, karena dengan demikian terbangun solidaritas antar warga dari beraneka latar belakang budaya dan agama. Kita mengetahui bahwa solidaritas antar warga masyarakat yang merupakan dasar penting bagi bangunan politis sebuah negara liberal sebenarnya terbangun mula-mula secara pra-politis dalam relasi primordial yang baik antar berbagai kelompok budaya dan agama. Di lain pihak, demi kokohnya bangunan negara modern dan demokratis ciri primordial dari solidaritas tersebut perlu ditransformasi menjadi solidaritas yang bersifat nasional (dan internasional), yang mengatasi kepentingan kelompok masing-masing. Dalam hal inilah banyak negara berkembang menemui kesulitan, termasuk Indonesia. Ignas Kleden menegaskan, “[T]ransposisi solidaritas pra-politis menjadi solidaritas politis, tidak berlangsung tuntas, dan mereka yang merasa kalah dalam politik nasional, kembali mencari perlindungan dan rasa aman dalam solidaritas komunal yang pra-politis dalam kelompok budayanya masing-masing.” Dalam keadaan seperti itu para pembuat keputusan politis dalam ruang publik resmi lalu akan membuat keputusan atas dasar pertimbangan-pertimbangan berdasarkan agama dan budayanya. Tetapi dengan demikian prinsip netralitas agama berkaitan dengan pandangan hidup dan agama yang memang plural dilanggar. Kuasa negara lalu dapat disalahgunakan oleh kelompok mayoritas agama atau budaya tertentu untuk memaksakan pandangan-pandangan mereka sendiri. Dengan demikian proses demokrasi dilukai dengan menghindari deliberasi yang wajar dan terbuka.
Berkaitan dengan ketiga tantangan untuk menemukan posisi epistemis yang tepat sebagaimana dirinci Habermas tersebut di atas, Konsili Vatikan II bagi Gereja Katolik memainkan peran yang amat penting. Pada hemat saya, Konsili Vatikan II membuka kemungkinan untuk menemukan posisi epistemis yang tepat yang dituntut oleh masyarakat demokratis yang plural.41 Posisi epistemis pertama berkaitan dengan sikap terhadap kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup lain. Tentang hal ini Nostra Aetate, misalnya, menegaskan: Gereja katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (NA 2).
Dengan posisi seperti itu kita dapat mengatakan bahwa Gereja Katolik di satu pihak berhasil menunjukkan keterkaitan positif pandanganpandangan religiusnya dengan pandangan dari agama dan keyakinan lain. Di lain pihak Gereja sekaligus pula menegaskan keyakinan mendasar dari iman kristianinya sendiri (misalnya berkaitan dengan posisi istimewa Yesus Kristus dalam sejarah keselamatan). Posisi epistemis kedua yang dituntut berkaitan dengan sikap terhadap otoritas ilmu pengetahuan. Proses belajar dalam hal ini dapat dikatakan berhasil, bila kaum beragama mampu merumuskan hubungan antara isi dogmatis agamanya dengan pengetahuan sekular sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pertentangan antara hasil kemajuan ilmu pengetahuan dengan pandangan berdasarkan iman mengenai hal yang bersangkutan. Secara eksplisit pengakuan Gereja Katolik atas otonomi dan otoritas ilmu pengetahuan dapat kita temukan misalnya dalam artikel dari dokumen Gaudium et Spes berikut ini: Memang sangat pantaslah menuntut otonomi itu. Dan bukan hanya dituntut oleh orang-orang zaman sekarang, melainkan selaras juga dengan kehendak Sang Pencipta. Sebab berdasarkan kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikurniai kemandirian, kebenaran dan kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mempunyai tata-susunannya sendiri (GS 36).
Berkaitan dengan posisi epistemis ketiga kita dapat menunjuk pada penegasan Vatikan II tentang kebebasan beragama (Dignitatis Humanae). Setelah sebelumnya menolak hak kebebasan beragama dan kemudian menerimanya sebagai keburukan yang hanya pantas ditoleransi demi sesuatu lain yang lebih penting, pernyataan Vatikan II mengenai kebebasan beragama dapat dipandang sebagai pembalikan kopernikan dalam sikap Gereja Katolik. Hak kebebasan beragama tidak dilihat hanya sebagai sesuatu yang ditemukan oleh Gereja, melainkan secara eksplisit ditegaskan sebagai sesuatu yang berakar dalam martabat pribadi manusia (ipsa dignitate personae humanae). Hak kebebasan beragama adalah hak asasi yang dimiliki setiap orang terlepas dari keyakinan agama, asal usul etnis apapun. Kebebasan beragama di satu pihak dipandang sesuai dengan iman kristiani, khususnya pandangannya tentang manusia. Tetapi hak itu dimiliki tidak karena seseorang beragama kristiani, melainkan karena ia adalah manusia.
Proses belajar dalam menanggapi ketiga tuntutan posisi epistemis (rasionalitas iman) tersebut di atas tidak boleh terjadi semata-mata karena tekanan dari luar, melainkan harus lahir dari dinamika di dalam agama itu sendiri dan tidak bertentangan dengan identitasnya. Memang pada akhirnya, dinamika hidup dan praksis iman kelompok agama sendirilah yang menentukan, apakah proses belajar berhadapan dengan tantangan modernitas tadi dapat dikatakan berhasil. Apakah bentuk agama yang sudah dimodernkan itu masih dianggap sebagai sesuatu yang sesuai dengan hakekat agama sebagaimana diwahyukan? Ataukah hakekat agama hanya dapat diwujudkan secara fundamentalistis, tanpa keterbukaan terhadap kritik akal budi? Tetapi dalam keseluruhan dan dinamika proses belajar tersebut refleksi para teolog dapat memberikan sumbangan yang penting.
Penutup
Teologia negativa adalah ungkapan yang kiranya telah menjadi salah satu ungkapan paling trendy dan dengan mudah dapat ditemukan dalam lautan publikasi teologis baik yang populer maupun yang lebih serius/ilmiah. Ada kebenaran yang hendak disampaikan melalui ungkapan tersebut. Ungkapan teologia negativa menunjuk pada kebenaran bahwa Allah selalu lebih besar dari pada kemampuan kita untuk memahami serta mengungkapkan-Nya dalam kata-kata. Corak ungkapan kita tentang Dia selalu berciri analogi: benar tetapi sekaligus tidak benar, karena Allah tetap jauh lebih besar dari segala konsep yang kita miliki sebagai makhluk terbatas. Di lain pihak, kita perlu waspada agar ungkapan yang sangat populer tersebut tidak dimengerti secara keliru. Teologia negativa tidak boleh dimengerti sedemikian mutlak sehingga pembicaraan kita tentang Allah tidak mengandung kebenaran sedikit pun. Kalau demikian, ke dalam kata Allah kita lalu dapat menerapkan segala macam atribut. Gambaran kita tentang Allah dapat menjadi kabur dan kalau demikian Allah dapat digunakan dengan semena-mena untuk membenarkan berbagai tindakan kita, bahkan kalau itu berupa kekerasan seperti ditunjukkan para pelaku bom bunuh diri.
Rujukan positif dalam berteologi tetap penting, khususnya di tengah maraknya hidup beragama yang disertai dengan keanekaragaman pola penghayatan yang bahkan bertentangan satu sama lain. Pilihan beriman (kristiani) tertentu berarti pilihan pada sebuah cara pandang/paham tertentu tentang hal-hal yang sangat mendasar: tentang apa dan siapa itu realitas (termasuk Realitas Tertinggi), tentang bagaimana kita harus berperilaku. Dalam artikel ini telah diperlihatkan bahwa berdasarkan iman kristiani dimungkinkanlah penghayatan hidup beragama yang tidak terbatas pada lingkup privat saja, yang tidak dapat didamaikan dengan kekerasan dan dapat menempatkan diri dengan tepat di tengah masyarakat modern, plural dan demokratis.
*************************
*Sumber Tulisan Majalah DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016
*DAFTAR RUJUKAN
Böckenförde, Ernst-Wolfgang. “Der säkularisierte Staat. Sein Character, seine Rechtfertigung und seine Probleme im 21. Jahrhundert.” In Religiöse Überzeugungen und öffentliche Vernunft, herausgegeben von Franz-Josef Bormann/Bernd Irlenborn. Freiburg-Basel-Wien: Herder, 2008, SS. 325-345.
Budi Kleden, Paul. “Ratzinger tentang Tema Politik.” Dalam Dialektika Sekularisasi. Diskusi Habermas – Ratzinger dan Tanggapan, diedit oleh Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko. Yogyakarta/Maumere: Penerbit Lamalera dan Ledalero, 2010, hlm. 129-259.
“Yang Lain” sebagai Fokus Berteologi Kontekstual di Indonesia.” Jurnal Ledalero Vol. 9, No. 2 (Desember 2010): 157-175.
“Otoritas Para Penderita. Penderitaan Sebagai Locus Theologicus dalam Kondisi Postmodern menurut J.B. Metz.” Dalam Menerobos Batas. Merobohkan Prasang Jilid 2, diedit oleh Paul Budi Kleden dan Robert Mirsel. Maumere: Ledalero, 2011, hlm. 351-374
Fransiskus. Evangelii Gaudium. Sukacita Injil. Terj. F.X. Adisusanto SJ dan Bernadeta Harini Tri Prasasti. Jakarta: DokPen KWI, 2014.
Habermas, Jürgen. “Religion in der Öffentlichkeit.” In Zwischen Naturalismusund Religion. Philosophische Aufsätze, herausgegeben von Jürgen Habermas. Frankfurt: Suhrkamp, 2005, SS. 119.
Habermas Jurgen “Dialektik der Säkularisierung.” Blätter für deutsche und international Politik 4/2008: 33-46.
“The Political.” The Rational Meaning of a Questionable Inheritance of Political Theology.” In The Power of Religion in the Public Sphere, edited by E Mendieta/J. Vanantwerpen. New York: Columbia University Press, 2011, pp. 15-33.
Horkheimer, Max. “Traditionelle und kritische Theorie.” In Kritische Theorie, herausgegeben von Max Horkheimer. Frankfurt: Fischer-Taschenbuch-Verlag, 1977, SS. 521-575.
Huntington, S.P. Kampf der Kulturen. Die Neugestaltung der Weltpolitik im 21. Jahrhundert. Überzetzt von Holger Fliessbach. München-Wien: Europa Verlag, 1996.
Kleden, Ignas. “Masyarakat Post Sekular: Relasi Akal dan Iman serta Tuntutan Penyesuaian Baru” (Ceramah dalam rangka Studium Generale Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 16Agustus 2010).
“Democracy and Interfaith Values.” www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id= 270 0 1 4 C; diunduh pada 12Februari 2011.
Latif, Yudi. Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011.
Metz, Johann Baptist. “Gotteskrise. Versuch zur ‘geistigen Situation der Zeit.” In Diagnosen zur Zeit (mit Beiträgen von Johann Baptist Metz, Jürgen Habermas u.a.), Düsseldorf: Patmos Verlag 1994, SS. 76-92.
Ratzinger, Joseph. Glaube Wahrheit Toleranz. Freiburg: Herder, 2003.
Rumadi. “Prolog. Mengawal Pluralisme di Tengah Kegamangan Negara.” Dalam Politisasi Agama dan Konflik Komunal. Beberapa isu penting di Indonesia, diedit oleh Rumadi/Ahmad Suaedy. Jakarta: The Wahid Institute, 2007, hlm. 1-45.
Sunarko, A. “Gereja Katolik tentang Demokrasi.” Dalam Agama dan Demokratisasi: Kasus Indonesia, diedit oleh S.P. Lili Tjahjadi. Jogjakarta: Kanisius 2011, hlm. 99-129.
Sunarko, A. “Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis-Multi-kultural.” Dalam Multikulturalisme. Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia, diedit oleh A. Eddy Kristiyanto, OFM dan William Chang, OFMCap. Jakarta: Penerbit OBOR, 2014, hlm. 23-46
Sutanto, Trisno S. “Menyelamatkan Sekularisasi, Menyelamatkan Agama. Catatan tentang Masyarakat Post-Secular”: Makalah dalam Diskusi Komunitas Salihara, Desember 2010.