• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Rabu, Mei 14, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

BERITA, CERITA, BERITA – untuk setengah abad umur Majalah “Tempo”

by Redaksi
Desember 19, 2021
in OPINI
0
BERITA, CERITA, BERITA – untuk setengah abad umur Majalah “Tempo”
0
SHARES
9
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

Oleh Goenawan  Mohamad

PADA suatu siang, 50 tahun yang lalu di gedung tua di Senen Raya 83, ketika kami menyiapkan nomor pertama Majalah Tempo, saya dengar seseorang bergumam: “Majalah ini hanya akan berumur tiga bulan.”

Saya kaget, sedikit. Yang bersuara adalah  B, salah seorang  anggota tim yang disiapkan mengelola administrasi majalah baru nanti. Tapi saya pura-pura tak mendengar.

“Jangan-jangan dia betul”, kemudian  saya ceritakan pesismisme itu kepada T, seorang teman.

“Tenang saja”, jawab T. “Mungkin  tiga bulan lagi Tempo  bubar, tapi kalian  sudah membuat sejarah.”

“Jangan-jangan kau  betul,” kata saya, sedikit terhibur.

Setengah abad kemudian, ternyata B salah dan  T bisa saya katakan betul.  Tempo membuat sejarah karena pada dasarnya  ia muncul secara baru dan  separuh nekad.

 

****

 

Tempo lahir dan mengubah corak majalah. Sebelumnuya, sebuah berkala mingguan adalah sejenis toko-serba-ada.

Star Weekly, misalnya, yang terbit di Jakarta sebelum dibreidel Presiden Sukarno di tahun 1960, bisa memuat uraian panjang tentang filsafat sejarah Arnold Toynbee, tapi juga cerita bergambar tentang pendekar Sie Djin Kui;  ada ulasan peristiwa internasional tentang konflik Terusan Suez,  tapi ada juga   resep membuat ketupat-tahu ala Magelang. Majalah Panyebar Semangat, yang terbit di Surabaya  dalam bahasa Jawa juga demikian:   ada  laporan dari daerah-daerah (rubrik Njajah desa milang kori), ada juga  komik lucu “Mas Klombrot” dan cerita detektif gubahan Any Asmara yang  jagoannya bergelar “raden mas”.

Tempo sama sekali di luar model toko-serba-ada itu. Isinya hanya   “berita”. Tak ada rubrik dapur, teka-teki silang, atau cerpen. Kalaupun ada rubrik “Agama”, yang ditulis di sana bukan khotbah, melainkan  berita tentang, misalnya, malapetaka di musim haji di Arab Saudi. “Kesehatan” tak memuat petunjuk mencegah asam urat, melainkan tentang kabar berhentinya wabah cacar di dunia.

Waktu kami mulai bekerja, kami tak tahu adakah pembaca akan tertarik dengan cara baru menyampaikan informasi itu.  Tempo disiapkan  tanpa didahului survei. Ia meloncat di dalam gelap.

Mungkin itu yang dimaksud T sebagai “membuat sejarah”.  Tempo sebuah inovasi. Dalam arti tertentu: eksentrik.

 

***

 

Tapi tak benar Tempo lahir begitu saja dari kepala saya dan teman-teman.  Jauh sebelumnya, di tahun 1933, di  Amerika Henry Luce menciptakan majalah Time.  Mingguan ini begitu berhasil hingga jadi model bagi majalah lain: Newsweek di Amerika,  L’Express di Prancis, Der Spiegel di Jerman.

Time juga model bagi Tempo: ia memperkenalkan berita sebagai cerita dan membuat informasi sebagai stimuli.  Saya tertarik  “filsafat” ini: pembaca tak cuma dianggap kantong plastik yang akan dijejali data, fakta, angka. Pembaca diajak bertualang dalam kejadian.

Perjalanan tualang itu berlangsung di dalam dan melalui bahasa.

Bahasa bukan hanya mengisahkan dunia, ia  juga membentuk dunia. Tak selalu gampang. Sebab sering bahasa punya  hubungan  dengan sesuatu yang tak selamanya nyaman: kekuasaan.  Sejak akhir 1950-an, bahasa Indonesia berubah. Ia hanya berperan   dengan  satu pola, jadi bahasa politik yang dikuasai doktrin.  Ia bukan lagi bahasa yang hidup dari percakapan yang leluasa. Ia  sulit jadi bahasa yang kontemplatif, atau kocak, atau  bermain-main,  penuh hal yang tak terduga.

Sejak Bung Karno meletakkan Indonesia di bawah “demokrasi terpimpin”,  bahasa  didominasi kata-kata yang diringkas, diulang bersama-sama, tanpa difikirkan.  Slogan dan singkatan bergemuruh:  “Manipol”, “Usdek”, “nekolim”, “kontrev”, dan seterusnya.  Makna kata-kata tak lagi diuraikan. Orang tak lagi diberi kesempatan menelaah, bahwa “Manipol” berasal dari  “manifesto politik”, dan kita tak dirangsang untuk menilai  isi manifesto itu.  Kata “Usdek” sebenarnya ringkasan serangkaian kebijakan Negara, (melaksanakan Undang-undang Dasar 1945, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, kebudayaan nsional),  tapi kemudian ia jadi  kata  tersendiri yang diucapkan secara otomatis. Orang   dihimpun untuk dijejali doktrin Negara, yang dirumuskan dalam “Tubapi” —“Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”.

Indoktrinasi adalah alat yang efektif untuk mengendalikan pikiran. Ia disampaikan dengan sejumlah slogan yang bertubi-tubi — dan membuat orang gentar, atau merasa bersalah, untuk membantah.  Hitler dan Stalin mengukuhkan kekuasaan mereka dengan mengedarkan  sebuah bahasa dengan kata yang  diringkas jadi akronim dan dikumandangkan: “Gestapo” dan “Stalag”,  “Politbiro” dan “Proletkult”.

Ketika “demokrasi terpimpin” diganti dengan kekerasan  oleh “Orde Baru”, sifat “terpimpin”-nya dilanjutkan dengan lebih brutal. Slogan dan akronim ala Bung Karno (dan PKI) ditiadakan, tapi bahasa berubah jadi bahasa kekuasaan yang otoriter dan birokratik.  Akronim yang baru beredar:  “kopkamtib”, “Gestapu”, “dikbud”, “rapim” — umumnya melanjutkan akronimisasi yang dipakai dokumen militer.

Saya melihat bedanya dari akronim “demokrasi terpimpin.” Bahasa “demokrasi terpimpin” dibuat untuk mobiliasi massa. Sebagai bagian  propaganda, ia sangat komunikatif: kata-kata kuncinya mudah dihafal dan punya efek emotif.

Sebaliknya akronim birokratik “Orde Baru”. Seperti  komunikasi militer,  fungsinya membuat pesan yang efien dan efektif — dan tak untuk difahami  massa.

Tapi  kedua-duanya adalah bahasa-kekuasaan yang memiskinkan pikiran.  Ketika kata diringkas untuk hanya diulang — dan  tak pernah diproses dalam pikiran kita dengan pelbagai alternatif — pikiran tak punya banyak lorong buat menjelajah.   Ketika kata “Manifes Kebudayaan” disingkat jadi “manikebu” dan disebar berkali-kali, orang lupa bahwa di situ ada kata “manifes” dan “kebudayaan”— dua pengertian yang memerlukan pemikiran. Demikian juga kata “Gestapu”:  kita  tak peduli lagi bahwa dalam akronim itu ada kata “gerakan”, dan kita tak berfikir lagi bagaimana  “gerakan” terjadi dan mengapa. Yang disasar:  efek psikologis. “Gestapu” dipakai agar mengerikan, seperti kata “Gestapo”— polisi rahasia — dalam kosa kota Nazi Jerman.  Bahasa diperkeras dengan dibekukan.

Tempo terbit dengan memilih bahasa yang melawan  pembekuan itu.  Kami memproduksi berita-sebagai-cerita.

Di koran harian dan buletin, berita adalah berita-lugas, straight news. Di sana fakta — nama, waktu, tempat, bagaimana terjadi, mengapa — disebutkan dengan urutan  yang pasti. Sebaliknya dalam  Tempo, meskipun fakta tetap dimuliakan, mereka  tak disusun dengan formula.

Tiap kali dikemukakan  secara baru. Pendapat klise disingkirkan, kata klise dibuang.  Tempo meniadakan frase, “dalam rangka…”, yang selalu dipakai dalam laporan pejabat. Bahasa pun dikembangkan variasinya.  Kami mengoptimalkan sinonim.  Kata “santai” diperkenalkan buat mendampingi “rileks”; saya mendapatkannya dari bahasa Komering, usulan Bur Rasuanto, waktu itu wakil pemimpin redaksi.  Putu Wijaya, redaktur musik dan teater, menyebarkan istilah “dangdut”. Ada juga kata cas-cis-cus:  pemakaian bahasa Inggris  dalam percakapan sehari-hari.

Bahasa yang miskin dalam sinonim adalah bahasa yang menghilangkan pilihan untuk berbeda dan beragam dalam berpikir  — seperti ketika kini

orang hanya  memakai kata “milad” dan tak boleh “hari lahir”, “shalat” dan tak boleh memakai kata “sembahyang”.

 

****

 

Dalam berita-sebagai-cerita, membosankan adalah dosa seorang penulis.

Seperti dongeng 1001 malam, tiap cerita harus memikat. Akan sempurna jika frase yang cerdas dan kocak muncul dari awal sampai akhir. Kisah  dibangun dengan membuka  saat-saat bercanda.

Tentu saja isi cerita harus unik dan penting diketahaui. Tempo menyusun  seperangkat kriteria untuk itu. Pembuka cerita, lead, harus memancing,  bukan itu-lagi-itu-lagi.  Penutup cerita tak berpetuah.  Mengikuti gaya  novel yang baik, berita-sebagai-cerita harus mengandung suspens dan konflik.

Untuk itu, dibutuhkan bukan hanya ketrampilan menulis, tapi juga sikap kreatif, terbuka,  merdeka, kritis— dan dengan rasa humor.  Salah satu semboyan Tempo yang jarang diketahui adalah  “Jujur, Jelas, Jernih — Jenaka pun bisa”.  Kita tahu, kejujuran, kejelasan, dan kejernihan sangat penting dalam komunikasi, tapi orang sering lupa  “jenaka”.

“Jenaka”, disengaja atau tidak,  sebuah penangkal. Ia bisa melucuti fanatisme, mengendurkan permusuhan, menjangkau hati orang lain. Ia anti memuliakan hierarki.

Ini bukan sekedar persoalan teknik. Dalam berita-sebagai-cerita, seperti sudah saya sebut di atas,  ada  undangan buat pembaca— yang tak diperlakukan sebagai kantong plastik — untuk ikut masuk dalam proses narasi.

Maka tokoh cerita hadir:  ia diperkenalkan  bukan cuma sebagai nama dan asal-usul.  Tinggi atau pendek tubuhnya, cara duduk dan jalannya, pilihan pakaiannya — semua perlu digambarkan.  Bahkan juga suasana ruang dan waktu selama kejadian.  Sosok itu kongkrit. Manusia yang jadi berita bukan sekedar kasus, juga bukan cuma penyampai pendapat.  Ia punya sejarah, ia bisa merasakan nikmat dan sakit.

Ada yang mengatakan jurnalisme Tempo  “jurnalisme sastra”.  Saya kira label itu tak ada gunanya.  Ada lagi yang mengatakan, jurnalisme itu jurnalisme “interpretative”, jurnalisme dengan tafsir. Saya lebih suka tak menamainya.

Yang penting, Tempo ingin menampilkan manusia dan peristiwa dalam konteks dan proses, dalam multi segi dan perubahan. Tak ada kisah yang final.  Kemungkinan selalu dibuka untuk versi yang berbeda dari apa yang kita ketahui. Maka bukan kebenaran obyektif yang hendak dicapai (dan akan sia-sia), melainkan kesediaan mendengar kebenaran dari orang yang berbeda. Jurnalisme ini jurnalisme dengan empati.

Tempo mengupayakannya sejak setengah abad yang lalu.  Tak selalu berhasil, tapi rasanya tak bisa dihentikan.

 

———————————————————

Sumber:  Majalah Tempo Edisi 8-14 Maret 2021

ShareTweetSend
Next Post
Sulaeman L. Hamzah:  Membaca Sejarah – Meluhurkan Kehidupan

Sulaeman L. Hamzah: Membaca Sejarah - Meluhurkan Kehidupan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

“Aliran Kepercayaan” Apakah Ia Sebuah Agama?  Tinjaun Perspektif Budaya Luhur Bangsa

Papua dan Impian Mencapai Kesejahteraan yang Berkeadilan

3 bulan ago
Memahami Hati Papua

Memahami Hati Papua

6 tahun ago

Popular News

  • “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Musibah Tiga “Peledang” Lamalera, Semana Santa dan Tuhan yang Menggetarkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Beranda Negeri

Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
SUBSCRIBE

Category

  • BERITA
  • BIOGRAFI
  • BUMI MANUSIA
  • Featured
  • JADWAL
  • JELAJAH
  • KOLOM KHUSUS
  • LENSA
  • OPINI
  • PAPALELE ONLINE
  • PUISI
  • PUSTAKA
  • SASTRA
  • TEROPONG
  • UMUM

Site Links

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

About Us

Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

  • Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In