Lentera di Punggung Senja
Ia hanyalah sehelai ranting muda
yang dipaksa menyangga pohon tua,
daunnya gugur lebih cepat dari musim,
batangnya retak namun tetap tegak,
karena di bawahnya ada akar yang harus tetap bernapas.
Ia adalah matahari kecil
yang menunda terbenam,
agar malam tidak menelan rumahnya terlalu cepat.
Cahayanya tak pernah cukup untuk dirinya,
tapi selalu ia sisakan bagi mereka yang menunggu hangat.
Di telapak tangannya,
bunga-bunga mimpi layu sebelum sempat mekar.
Ia menanam benih,
namun bukan di ladangnya sendiri—
melainkan di tanah keluarga
yang haus air matanya setiap hari.
Ia berjalan di jalan batu
dengan kaki telanjang,
menyembunyikan luka di bawah senyum
seperti rembulan yang tampak penuh
padahal separuhnya gelap.
Dia hanyalah seorang anak perempuan
Yang punggungnya lebih renta dari usianya.
Bahu kecil itu dijejali sejuta tanggung jawab,
Seolah ia terlahir bukan untuk bermain,
Melainkan untuk menjadi penopang rumah yang rapuh.
Setiap pagi ia berangkat dengan senyum dipaksakan,
Menyembunyikan letih di balik mata yang masih haus tidur.
Tangannya bekerja, kakinya berlari,
Sementara hatinya terjebak antara mimpi dan kewajiban.
Orang-orang menyebutnya kuat,
Padahal ia hanya tidak punya pilihan selain bertahan.
Orang-orang memujinya sebagai anak berbakti,
Padahal ia sekadar menanggung nasib
Yang dituliskan terlalu dini di atas namanya.
Malam hari ia menatap langit,
Ingin berdoa untuk dirinya sendiri,
Namun bibirnya selalu mendahulukan nama keluarganya.
Ia menukar masa mudanya dengan roti di meja,
Menukar mimpinya dengan senyum orang yang ia sayangi.
Dan ketika orang lain seusianya
Sibuk merangkai cinta, merajut masa depan,
Ia sibuk menghitung sisa uang,
Sibuk menguatkan dinding rumah
Agar tak runtuh bersama keluarganya.
Ia adalah tulang punggung
Yang nyaris patah namun tak boleh retak,
Karena bila ia jatuh,
Seluruh hidup di belakangnya akan ikut roboh.
——————-
Jejak Luka di Mata Kecil
Ia lahir dari sunyi yang tak dipilih,
dari rumah yang seharusnya menjadi teduh,
namun berubah menjadi panggung retak,
tempat kata-kata menusuk lebih tajam
dari pisau yang tak pernah ia sentuh.
Sejak dini, ia belajar membaca nada suara,
membedakan mana langkah yang mendekat dengan cinta,
mana langkah yang tiba dengan gemuruh amarah.
Kedua matanya merekam,
menyimpan setiap pecahan ingatan
yang tak sempat dihapuskan waktu.
Ketika teman-temannya berlari bebas di halaman,
ia duduk menunduk di sudut kamar,
menghitung retakan di dinding,
seakan tiap garis adalah jalan keluar
yang tak pernah benar-benar terbuka.
Pelukan baginya bukan rumah,
melainkan jerat yang menyesakkan.
Setiap belaian terasa asing,
karena kulitnya sudah hafal jejak luka,
yang lebih sering hadir
daripada hangat kasih sayang.
Malam baginya bukan waktu istirahat,
melainkan panggung kegelapan
yang memunculkan wajah-wajah menakutkan
dari masa silam.
Mimpi buruk adalah tamu tetap
yang tak pernah bosan singgah,
mengguncang tidurnya,
menariknya kembali ke ruang penuh jeritan.
Namun di tengah reruntuhan batin,
ada secuil cahaya yang tak padam.
Ia berusaha merajut pecahan dirinya,
mencari arti dari kata “pulih”
yang sering terdengar,
namun jarang benar-benar dirasakan.
Ia menulis dalam diam,
mencoretkan rasa di kertas-kertas lusuh,
agar luka punya bahasa,
dan hatinya punya ruang bernapas.
Mata kecil itu, meski redup,
masih menyimpan api yang tak mati.
Api yang berharap,
suatu hari akan ada tangan lembut
yang tak datang membawa derita,
melainkan menuntunnya keluar
dari lorong panjang bernama trauma.
Di balik semua luka yang bersemayam,
ia tetaplah seorang anak
yang berhak belajar tertawa tanpa takut,
berlari tanpa cemas,
dan mencintai dunia
tanpa harus menyembunyikan
jejak luka di matanya.
Dan bila suatu hari,
mata kecil itu menatap dunia dengan berani,
biarlah orang-orang melihat bukan hanya luka,
tetapi kekuatan yang lahir darinya.
Sebab setiap trauma,
meski menggores dalam,
dapat berubah menjadi jalan sunyi
yang menuntun jiwa
menuju cahaya pemulihan.
Ia bukan sekadar anak yang terluka,
ia adalah tunas yang bertahan
meski badai berulang kali datang.
Dan kelak, ketika waktunya tiba,
ia akan mekar—
membuktikan bahwa cinta
lebih kuat daripada luka.
——————
Tentang Penyair
Wilhelmina Mariana Ema atau lebih akrab dikenal dengan nama Emil Bidomaking. Dara kelahiran Malaysia, 01 September 1991 ini adalah pegiat literasi sekaligus guru di SMK Strada Daan Mogot Tangerang. Kecintaannya pada puisi melahirkan karya-karya reflektif yang layak untuk dicecap.